bagi yang tidak mengenal fasis secara baik bisa ke http://laelyarmy.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-konsep-dasar-fasisme.html#mce_temp_url#
bagi yang belum familiar dengan oligarkhi bisa ke http://fatmasusanti-civiceducation.blogspot.com/2012/09/sistem-politik-di-indonesia.html #mce_temp_url#
Setelah membaca sedikit rujukan itu anda bisa lanjutkan membaca tulisan yang tidak seberapa ini..agar sementara membaca alur dan pijakan berpikirnya sama dengan penulis pemula ini.
Sebagaimana seperti yang diduga sebelumnya, hasil pilpres menyisakan dua 'faksi' yang berbeda.. secara ke tata negaraan ini bagus, namun secara pemerintahan ini akan menjadi batu sandungan luar biasa bagi pemerintah mengingat pemerintah minoritas di parlemen. terlepas dari kegagalan membangun koalisi yang memadai, rupanya arah politik Indonesia sekarang sudah mengarah pada politik 'pokoknya' . barisan sakit hati megeraskan dirinya dalam koalisi merah putih, barisan 'ngerasa' menang mengeraskan dirinya dalam koalisi Indonesia Hebat.., 2 kubu ini seolah menulari masyarakat untuk membelah diri menjadi 2 kubu pula, khususnya nitezen yang secara masif memberikan komentar diberbagai media online dan jejaring sosial.
Kemenangan Jokowi yang berbasis relawan rupanya harus dibayar mahal dengan sikap' apriori' partai non pendukung , alhasil dalam 'pemanasan' persaingan pun sudah nampak sikap saling 'bermusuhan' ,coba liat sidang paripurna RUU Pilkada lalu, sebuah pemandangan 'warna-warni' terjadi. itulah realita parlemen kita kedepan.. dengan mengatasnamakan penghematan, konstitusi dsb kedua belah pihak terus menabuh retorika nya. padahal kalo kita mau jujur , mereka yang di senayan 'awam' menjadikan hemat sebagai alasan. secara matematis koalisi non pemerintah akan menguasai lebih banyak kepala daerah. dan bagi koalisi pemerintah jelas kepentingan mereka menyangkut kepentingan dimasa akan datang juga , karena apabila pemerintah sukses (Jokowi) akan terpilih lagi.
Dalam dunia politik yang penuh dinamika trik dan tipuan berkemas komunikasi demi kepentingan, apapun bisa terjadi. ambil contoh malam sidang paripurna perdana DPR periode 2014-2019, nampak jelas koalisi non pemerintah menikmati hasil UU MD3 yang telah disah kan sebelumnya oleh mereka dan kolega mereka. dan secara 'tidak tak kebetulan' Tatib yang dipermasalahkan bagi anggota baru pun (Nasdem) di jadikan aturan main 'beracara' di sidang dewan.ini semakin mempertegas seolah mereka menikmati apa yg telah mereka siapkan.
Yang menarik untuk dicermati adalah betapa pemenang pemilu seolah tak mendapatkan mahkotanya, mungkin ini sudah menjadi prediksi oleh para politisi sebelumnya ketika membahas UU MD3 dan itu pasti. maka design sesungguhnya sangat berbeda dengan awal 2004 dan 2009. seolah-olah memang sudah dipersiapkan oleh 'seseorang atau sekumpulan orang' . bahwa andaikata kalah dalam perhitungan maka kirta harus menang dalam pemerintahan. sebuah pikiran yang logis jika benar demikian, namun sebuah sikap yang kurang elegan. apakah elegan ikut dihitung dalam politik??
Politik adalah soal bagaimana kepentingan tercapai. jika koalisi non pemerintah berkepentingan untuk 'mengagalkan' segala upaya pemerintah dalam melaksanakan pemerintahan, maka negara ini berjalan ke aarah yang sesat dan tak tentu arah. Â jika 'kekompakkan' koalisi non pemerintah terus berupaya demikian maka tidak mungkin jika arahnya akan segala macam cara, bukan lagi pilpres di tahun 2019 tapi pemerintah digagalkan ditengah jalan (pemakzulan). hal itu niscaya karena koalisi non pemerintah sekarang sedang diatas angin, ditandai dengan paket pimpinan DPR periode 2014-2019. Â dengan trek rekord para pimpinan yang 'anti' terhadap pemerintah maka tidak salah kemudian publik menilai ada nya upaya balas dendam. bahkan ada selentingan kalo UUD NRI 1945 akan dikembalikan sebelum amandemen ( melalui pintu masuk usulan DPD amandemen ke 5 ) oleh koalisi non pemerintah. tapi secara pribadi saya bertaruh mereka tidak akan berani,karena mayoritas diparlemen tidak cukup alasan untuk mereduksi pohon reformasi.
Ketika kumpulan orang ini menjadi pimpinan maka secara sah akan tercipta oligarkhi ala fasis baru, mengapa saya katakan fasis? karena dengan basis "bukan koalisi kami maka kami tidak setuuju" , bukan kah fasis demikian?? mereka tidak akan lagi objektif terhadap hal apapun diluar lingkarannya termasuk kepatutan dan konstitusi. sebagai contoh, istilah perwakilan dalam Pancasila  pun diartikan berdasarkan kepentingan mereka. inilah politik. demikian lah politik berjalan, kalo cepat ada kemauan, kalo lamban pasti ada keinginan. tak ada benar dan tak ada salah. selalu demikian.
menjadi ironis ketika kita hadapkan pada makna demokrasi atau makna republik, bahkan jauh panggang dari api bila kita hadapkan dengan semboyan 'bhinneka tunggal ika' ,  mereka diruang parlemen  itu seolah lupa untuk siapa mereka berdiri,duduk dan berbicara. dengan mata telanjang kita liat tirani mayoritas yang berteriak 'huuuuu' ketika yang minoritas protes hak nya di rampas oleh tatib yang tidak sepakatinya. dan ini seolah linier dengan pergerakan propaganda beberapa pihak di media sosial dan media online terhadap satu kelomnpok tertentu. seolah-olah yang sempurna hanya golongannya saja. seolah-olah yang dilakukan kubu lain selalu salah. bahkan ada yang secara teratur sejak pilpres mengeluarkan propaganda-propaganda yang menghasut. sampai sekarang saya tidak mengerti orang orang demikian, apakah sepanjang hidupnya hanya untuk itu?? atau memang sudah profesi? ,, perbedaan harusnya saling melengkapi bukan saling menghancurkan.
Publik hanya bisa melihat, mengenang , mancaci dan pada gilirannya nanti menghukum. seberapa besar mereka mewakili rakyat, se negarawan apa mereka nanti. dan publik bisa murka , kemurkaan publik bisa 'meruntuhkan' apapun  yang dibangun oleh orde apapun. kita sudah mengalaminya dan membuktikannya. semoga tidak lagi meski siap untuk itu.
wallahu alam bis shawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H