Sebenarnya menilik keberadaan Teman Ahok disebabkan karena ketidakpastian apakah Ahok akan dicalonkan atau tidak. Dengan adanya partai yang mendukung Ahok seharusnya Temah Ahok tidak perlu ada lagi. Begitu logika mudahnya.
Masalahnya kalau ada partai yang mendukung Ahok sekarang, sepenuhnya karena melihat antusiasme warga Jakarta yang mengumpulkan KTP karena melihat militansinya relawan teman Ahok berjuang yang menggambarkan betapa sosok Ahok itu benar-benar berkarakter dan teruji.
Ahok memang beda dari pejabat umumnya yang meskipun idealis tetapi kemudian luntur dalam kong kalikong transaksional kepentingan partai, kelompok serta atas nama etika balas budi.
Trus bagaimana dengan PDIP
Perhelatan Rakernas PDIP barusan, menunjukkan bahwa Ahok istimewa di kalangan PDIP. Ketua Umumnya juga memiliki hubungan baik dengan Ahok. Komposisi DPRD DKI juga secara proposional, PDIP dapat mengajukan calon tanpa harus koalisi dengan partai lain. Posisi PDIP mengiurkan untuk calon gubernur DKI di banding partai lain.
Jika PDIP mencalonkan Ahok maka Teman Ahok tidak perlu lagi mengumpulkan KTP dan Ahok lebih gampang melenggang mencalonkan diri.
Masalahnya adalah apakah PDIP benar-benar mencalonkan AHOK yang tidak bisa diatur dan terkenal dengan tidak loyal pada partai. Apakah PDIP mau mencalonkan orang yang memiliki tekad lebih loyal pada kepentingan rakyatnya daripada kepentingan partai? Ada beberapa kader PDIP yang kemudian terlempar dan bahkan di depak di akhir karena partai mengutamakan kepentingannya saat itu yang kadang-kadang tidak perduli untuk kepentingan jangka panjangnya. Coba mulai mengingat sejak dari pemilihan siapa calon wapres dan penentuan menteri, Â ada kader PDIP telah memakai baju putih tapi kemudian namanya tidak diumumkan. Demikian juga calon gubernur Jateng yang kemudian dialihkan pada Gubernur Jateng yang menjabat saat ini dan itu terjadi saat-saat akhir. O.ow Ahok akan berada dalam pusaran ketidakpastian apakah akan timbul atau tenggelam. Â Lain cerita bilamana PDIP mengeluarkan pernyataan tanpa syarat mendukung Ahok sama seperti yang dilakukan NASDEM.
Rekaman Riza Chalid pengusaha minyak yang terungkap pada kasus etika ketua DPR Setya Novanto, mengemukakan bagaimana Jokowi mendapatkan desakan kuat dari Ketum PDIP untuk memilih Budi Gunawan sebagai Kapolri. Jika ini benar, maka bisa dibayangkan bagaimana Ahok harus menyesuaikan dengan kepentingan Ibu. Alih-alih mengurus Jakarta, malah mengurus kasak kusuk kepentingan penyesuaian yang diminta.
Kalau itu betul juga, maka kasak-kusuk melemahkan KPK bisa jadi karena KPK berani mengusik kepentingan meloloskan Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri pada waktu itu.
Mungkin Ahok tidak takut PDIP tidak mencalonkan dirinya, tapi apakah Ahok tidak takut melihat bagaaimana lembaga sekaliber KPK dan dipercaya masyarakat bisa diobrak abrik. Selain personil KPK yang terlontar….UU KPK juga hendak direvisi bukan untuk penguatan tapi cenderung membatasi keleluasaan menangkap koruptor.
Wagub Jarot saja tidak berani jadi wagup Ahok jika belum ada restu dari partai. Mungkin Mas Jarot tahu betul bagaimana akibatnya bila tidak dapat menunjukkan loyalitas pada partai (atau mungkin Ketumnya).