Sejak tahun 1913, PBB menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional (International Women's Day/IWD). IWD masih diperingati sampai saat ini, tak lain karena masalah kesetaraan gender di seluruh dunia belum tercapai dan masih terus diperjuangkan oleh kaum perempuan diseluruh balahan dunia termasuk di Indonesia.Â
Tema yang diusung pada IWD tahun ini adalah Balance for Better - yang mengacu pada gender equality (kesetaraan gender) di bidang-bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, ekonomi dan politik maupun pemerintahan.
PBB memiliki Indeks Kesenjangan Gender yang setiap tahun dirilis Badan Program Pembangunan PBB (UNDP). Indeks tersebut menggunakan tiga indikator, yakni kesehatan reproduktif yang diukur berdasarkan tingkat harapan hidup ibu dan angka kelahiran, pemberdayaan yang mengacu pada keterwakilan perempuan di parlemen dan politik, serta status ekonomi yang dihitung berdasarkan partisipasi perempuan pada pasar tenaga kerja.Â
Dalam Indeks Kesetaraan Gender yang dirilis Equal Measures, Indonesia mendapat hasil beragam di berbagai indikator yang dijadikan acuan. Indonesia misalnya dipuji lantaran mencatat tingkat melek aksara yang termasuk paling tinggi di Asia (Perempuan 93,59% dan Laki-laki 97,17%).Â
Selain itu kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional yang mencakup 3/4 populasi dan tercatat sebagai salah satu program kesehatan nasional terbesar di dunia, berhasil mengurangi angka kematian ibu.
Namun pengaruh konservatisme dalam berbagai produk perundang-undangan masih menafikan hak-hak sipil kaum perempuan. Selain itu produk legislasi yang melindungi perempuan dari pelecehan seksual dan kekerasan domestik masih lemah dan tidak ditegakkan. Â Hal ini tentunya tidak terlepas dari keterwakilan perempuan di parlemen yang masih belum balance atau setara dengan keterwakilan laki-laki.Â
Padahal sejak Pemilihan Legislatif 2009 Pemerintah telah menetapkan kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen. B
ahkan dengan besarnya angka populasi penduduk perempuan di Indonesia yang mencapai hampir 50%, seharusnya keterwakilan perempuan di parlemen juga ditingkatkan. Â Sayangnya, kuota 30% tidak pernah terpenuhi. Pada periode 2014-2019, jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR hanya sebanyak 97 orang atau 17,32% dari total anggota DPR RI. Â
Maka tidak heran apabila produk perundang-undangan yang memihak pada kepentingan perempuan belum banyak dihasilkan oleh lembaga DPR RI. Â
Tentunya ini juga akan berpengaruh pada produk legislasi yang dihasilkan oleh DPRD Provinsi dan Kota/Kabupaten, karena produk legislasi yang dihasilkan oleh DPRD harus mengacu / tidak bertentangan dengan produk perundang-undangan diatasnya. Â
Rendahnya keterwakilan perempuan di DPR RI bisa jadi merupakan salah satu penyebab RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum disahkan sampai saat ini. Padahal kasus kekerasan seksual pada wanita tahun 2018 meningkat mencapai 348.446 kasus (Komnas Perempuan, 2018).Â