Mohon tunggu...
Jean Aipassa
Jean Aipassa Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Selalu pengen nulis...nulis... n nulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangan Lembut Mbok Asih

6 Februari 2014   09:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:06 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kutatap air yang begitu banyaknya turun dari langit, membuat suasana dingin menyelimuti pagi yang sepi. Tak lagi kudapati sosok wanita yang selalu membangunkanku di pagi hari. Membawakanku secangkir kopi susu dan goreng pisang buatannya. Air yang berlimpah ruah turun tiada henti, dari semalam tak dapat kupejamkan mata ini, hanya mendengar gemuruh langit yang bersahutan tiada henti seakan-akan dengan sombongnya berkata, “Aku yang berkuasa saat ini, tidak ada satupun yang dapat menghalangiku.” Gemuruh yang tiada henti itu, membuatku tak dapat memejamkan mata, tat kala kuingat, sosok perempuan nan lembut, membelai rambutku saat aku merasa begitu ketakutan mendengar gemuruh di langit. Kuberlari, kusembunyi, namun gemuruh itu terasa terus mengikutiku, sampai tangan lentik nan lembut itu meraih dan membelai tubuh kecilku. Ada damai disana, tak ingin rasanya tangan itu berhenti membelaiku, sampai akhirnya pagi menyambutku.Itulah ingatanku kala ku kecil.

----------

“Raniii ... bangun!! Sudah jam 8 sekarang, katanya kau mau pergi ke rumah sakit, ayo cepat, anak-anakmu sudah berangkat sekolah tadi” suara Mama mambangunkanku dari balik pintu. Berteriak, tanpa ingin membuka pintu yang tidak ku kunci. Rasa rindu lagi-lagi menyerbuku, tangan lembut yang selalu membangunkanku dengan membelai rambutku, tidak lagi kudapati.

Bergegas aku bersiap, hari ini aku akan pergi ke Surabaya. Bos ku meminta aku untuk melakukan presentasi disana, namun terlebih dahulu aku akan menemui sosok perempuan nan lembut di rumah sakit pagi ini.

“Pagi Mbok ... bagaimana kondisi Mbok pagi ini?”

“Eh ... Non Rani, Mbok baik-baik saja Non, alhamdulillah kondisi Mbok semakin baik” suara lembutnya begitu kuat tanpa mempedulikan rasa sakit yang dideritanya. Kondisinya yang kian melemah, batuknya yang tak kunjung berhenti, namun wajahnya masih menyimpan sejuta kasih untukku. Tetap memperhatikanku tanpa peduli dengan rasa sakit yang dideritanya.

“Sudah sarapan Non? Koq belum berangkat ke kantor, nanti Non terlambat loh...”

“Tadi hanya minum kopi saja, Mbok. Ini kopinya masih ada, Rani bawa dari rumah untuk diminum di jalan. Kebetulan, hari ini Rani akan pergi ke Surabaya, ada kerjaan disana. Makanya, Rani datang dulu kesini, nemuin Mbok...” aku menjelaskan, sekedar membuat hati Mbok merasa tenang sambil kuperlihatkan termos kecil berisi kopi.

“Jadi, Non Rani belum sarapan? Nanti sakit loh Non. Ini, Mbok masih ada makanan dari rumah sakit yang belum Mbok makan. Itu juga kalau Non Rani, mau.” Sambil menunjuk piring kecil, diatasnya bertengger roti isi keju dan segelas teh manis yang diletakkan di sebelah piring itu. Terbungkus cling wrap - plastik makanan yang begitu rapih, melindungi roti itu dari debu yang nakal mengganggunya. Belum tersentuh.

Aku meraih piring itu, membuka plastik yang begitu rapihnya menyelimuti sepotong roti yang terasa nyaman berada di dalamnya, serasa enggan untuk dikeluarkan. Ku potong roti isi keju yang begitu menggugah seleraku, walau ini makanan rumah sakit, namun perutku seakan tidak peduli, berteriak menyuruhku untuk segera memasukannya ke mulutku. Namun, aku tak dapat memenuhi permintaan sang perut yang terus saja berteriak. Ku potong sedikit, ku berikan potongan itu ke mulut si Mbok yang masih terbaring, matanya yang memancarkan kasih,memandangku. Tersenyum.

“Ga usah Non, buat Non saja!” agak memaksa, si Mbok memintaku untuk memakan roti isi keju itu. Begitu pedulinya.

“Ya ... oke deh, Rani makan ya ...” akhirnya aku dapat juga membuat sang perut berhenti berteriak.

“Mbok, Rani berangkat sekarang ya, kebetulan sudah di jemput teman di luar rumah sakit. Nantinya kami akan sama-sama berangkat ke Surabaya. Mbok, baik-baik ya. Pokoknya Mbok harus segera sembuh!! Rani ingin Mbok ada di rumah lagi. Nemenin Rani, Mbok.” Aku merajuk, memohon kesembuhannya. Rasa rindu akan kehadirannya, selalu menghantuiku.

“Iya, Non ... insya allah, Mbok akan cepet pulang ke rumah Non Rani. Hati-hati di jalan ya Non?” perlahan si Mbok meraih tanganku, menggenggamnya kuat seperti tidak ingin melepaskanku. Aku pun memeluknya, aku menyayangi layaknya, Ibuku.

Si Mbok, memang sudah puluhan tahun ikut dengan keluargaku. Usia si Mbok tidak jauh dengan Mama, hanya beda 2 tahun. Saat pertama kali si Mbok datang ke rumah kami, Mama sedang mengandung. Usia kandungannya yang sudah berusai 9 bulan, sangat membutuhkan seseorang yang dapat membantunya, menemani hari-harinya. Saat itulah, seorang perempuan muda datang atas rekomendasi rekan kerja Mama, karena Mama memang meminta bantuannya untuk mencarikan pembantu di rumah.

Mama seorang wanita karir, yang sangat sIbuk. Papa ... aku tidak pernah melihat sosok Papa dari aku lahir. Saat aku bertanya pada Mama, hanya sebuah cerita semu yang selalu dilontarkan Mama, hanya untuk membuatku, diam. Saat aku kecil, Mama selalu berkata, “Papa sedang bekerja sayang ... tapi, kantornya Papa, jauuuh, di luar negeri. Rani ga usah banyak tanya, ya. Nanti, Papa pasti pulang.” Begitu Mama selalu menjawab pertanyaanku tentang Papa. Namun, jawaban itu kian lama, berubah.

“Sudahlah Ran!! Tidak usah kau tanyakan Papamu, dia sudah mati!! Percuma kau tanyakan dia terus, dia tidak akan hidup lagi!!” jawabannya telah berubah ketika aku beranjak dewasa, membuatku semakin bertanya-tanya. Namun, enggan kutanyakan lagi kepada Mama, yang selalu terlihat begitu tertekan, dan meluapkan emosinya, saat kata ‘Papa’ terlontar dari bibirku.

Hanya sosok si Mbok, yang selalu menemani hari-hariku. Menjagaku saat aku sakit, menemaniku bermain, berusaha dengan segala kemampuan yang dimilikinya mengajarkanku saat guru-guru di sekolah membebaniku dengan pekerjaan rumah, si Mbok begitu sabar merawatku. Tat kala, Mama begitu sIbuk dengan hari-harinya yang jarang di rumah, hanya si Mbok, ya ... hanya si Mbok yang selalu ada.

“Ma ... Raka dan Rika, kangen deh sama si Mbok. Kapan bisa ketemu si Mbok, Ma” si kembar merengek. Tidak hanya aku, mereka pun begitu rindu kehadiran sosok perempuan yang selalu siap memberikan sejuta kasih sayang yang kami butuhkan.

“Nanti biar Oma yang antar kalian ya ...” Mamaku berusaha untuk dekat dengancucu-cucunya. Namun tidak dapat kupungkiri, si kembar lebih dekat dengn si Mbok dari pada Omanya sendiri. Begitu pun dengan aku.

Saat kepergian suamiku karena penyakit jantungnya yang telah di deritanya sekian tahun, aku tetap tinggal bersama Mama, namun tetap kurasakan jarangnya kehadiran Mama di rumah. Hidup ini begitu kontras, memberikan kesamaan kehidupan untukku dan Mama. Sama-sama tidak memiliki suami ketika kehamilan yang begitu berat kami rasakan sendiri. Sering aku berteriak, mencengkram gelapnya malam yang selalu menemani kesendirianku, memegangi betapa besarnya perutku, begitu berat sampai sulitnya aku berjalan, dan tangan lembut itu selalu memapahku tat kala kaki ini benar-benar terasa begitu lemas, tak ada tenaga. Dan ketika, si kembar berusaha untuk kuhadirkan ke dunia ini, hanya tangan lembut itu yang selalu ada di sisiku, terus dengan sabar membelaiku, berusaha menenangkanku.

Saat anak-anak manusia itu telah dapat kuhadirkan di muka bumi ini. Mama memutuskan untuk menikah lagi dan tinggal bersama suami barunya, meninggalkan rumahnya untukku. Ketika itu, aku benar-benar membutuhkan sosok perempuan yang lebih mengerti akan kehidupan yang harus kujalani. Saat tangisan bayi yang selalu bersahutan di rumah ini, membuat segala yang sepi terasa begitu ramai. Namun tetap kurasakan, hatiku begitu sepi.Hanya sosok perempuan yang tidak pernah ingin meninggalkanku, selalu menemaniku, menjagaku. “Si Mbok ... kau benar-benar satu-satunya orang yang selalu dapat memberikan kekuatan untukku, jangan pernah tinggalkan aku, Mbok ...” begitu aku selalu memohon kepada Tuhan, setiap kali aku selesai sholat. Tak dapat kubayangkan, apa yang akan kulakukan tanpanya.

Sampai akhirnya, semua yang kutakutkan benar-benar terjadi ...

----------

“Ma ... cepat pulang maaa ... si Mbok sakit, jatuh dari kamar mandi” salah satu si kembar yang kini telah berusia 10 tahun menghubungiku melalui handphone-nya, yang aku belikan untuk mereka, sebagai hadiah ulang tahun mereka beberapa bulan lalu.

“Iya, sayang ... Mama pulang sekarang, coba hubungi Oma dulu ya, sambil menunggu Mama pulang.” Bergegas aku meminta ijin pada bos ku, yang mengetahui perihal si Mbok, bagi kehidupanku.

“Oma ga bisa dihubungi Maaa ... handphone-nya ga aktif. Raka sudah sms, tapi belum dibalas” sang kakak Raka, berusaha menjelaskan perihal Mamaku, yang sulit untuk dihubungi. Yah ... itulah yang aku alami dalam hidupku. Kadang aku bertanya dalam hati, “siapakah sebenarnya Ibuku? Mama ... atau si Mbok?”

Semenjak si Mbok masuk rumah sakit, Mama menawarkan diri tinggal bersamaku. Menjaga si kembar, cucu-cucunya, karena aku harus bekerja, demi menafkahi anak-anakku, untuk bertahan dan melanjutkan hidup.

Terkadang, rasa lelah begitu menggerogoti sekujur tubuh, bahkan sampai terasa di otakku. Tadinya aku berpikir, saat suamiku meninggalkanku, untuk hidup tenang di sana, Mama yang selalu ada, bersamaku. Menjalani hari-hari penuh kebersamaan dan merasakan kebahagiaan bersama. Berkumpul layaknya sebuah keluarga. Namun tidak dalam hidupku. Mama begitu dendam dengan kehidupannya. Ingin berusaha meraih impian yang pernah terhempas dari genggamannya. Akhirnya, ku ketahui ... Papaku masih hidup dan tinggal di Australia, telah menikah lagi dan tidak mengakui, aku, sebagai anaknya. Itulah yang membuat Mama, tidak dapat mengendalikan luapan emosinya, tiap kali kusebut kata, ‘Papa.’ Dan seakan-akan ingin menunjukkan pada dunia, pada ‘Papa,’ bahwa dirinya juga bisa merasakan ‘bahagia,’ sesuai dengan persepsinya. Seringkali aku bertanya, dalam hatiku, “Tidakkah Mama bahagia dengan kehadiran bocah-bocah lucu nan menggemaskan, begitu pintar, begitu membanggakan, dan tanpa paksaan menerima untuk menjadi, cucunya?”

Masing-masing manusia, memang memiliki persepsi sendiri untuk sebuah ungkapan ‘bahagia,’ aku tak ingin menyalahkan impian Mama. Namun, hanya ingin merasaka utuhnya sebuah keluarga yang normal, dalam kehidupanku. Layaknya keluarga yang dimiliki teman-temanku, begitu harmonis, bahagia. Hanya bersama si Mbok, dan si kembar, aku merasakan sebuah keluarga, walau tidak kurasakan utuh. Cibiran dan sinisan yang kudapati dari beberapa temanku. Kuhadapi dengan rasa bahagia, kusyukuri kehidupan yang Tuhan peruntukkan untukku.

----------

Mama menghubungiku saat aku masih berkutat dengan pekerjaanku di Surabaya, baru 2 hari aku disana. Rencananya aku akan pulang esok harinya. Aku bayangkan wajah si Mbok yang memancarkan cahaya kasih untukku. Melihat si kembar yang begitu menyayangi si Mbok, karena selalu menjaga mereka dengan sejuta rasa sayang. Namun yang kudapati tidak sesuai dengan apa yang ku bayangkan...

“Tidaaaakkkk!!! Bangun Mbok, bangun!! Mbok janji akan segera sembuh, Mbok janji akan pulang, menemani Rani dan anak-anak di rumah. Mana janjimu, Mbok ... Rani mohon, bangun Mbok, kasihani Rani, kasihani anak-anak Rani. Raka dan Rika pasti akan sedih, Mbok. Apa yang harus Rani katakan pada mereka? Bangun Mbok ...” bagaikan terhantam sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi, membuat tubuhku terasa berserakan, membuat jantungku seketika berhenti, gelap kurasakan. Kemana tangan ini kucoba untuk memegang, mencekram dengan kuat apapun yang dapat membuatku tetap berdiri. Aku tak mau terkulai lemah, aku tak mau membiarkan mata ini terpejam, ku pakasakan diri ini untuk tetap berdiri, memandangi si Mbok, yang sudah tidak dapat berucap lagi. Tak lagi dapat mengeluarkan kata-kata lebut nan halus untukku, membelai rambutku dengan tangannya yang begitu lembut. Aku harus tetap terjaga, takkan kubiarkan sedetikpun mata ini berpaling dari wajahnya yang kian menua. Menghabiskan hidupnya, bersamaku.

Walau pernah si Mbok menikah, dia kembali untukku dan berjanji, tidak akan meninggalkanku walau sedetik saja. Saat itu aku masih berusia 10 tahun, sama dengan usia si kembar sekarang. Suami yang diimpikan dan dibanggakannya, merajut kasih dengan teman kecilnya di kampung. Namun ... kini, si Mbok benar-benar pergi...

Selamat jalan Mbok Asih, walau kau bukan Ibuku, namun hatiku begitu terpaut dan merasakan rasa sayang yang begitu dalam padamu, melebihi rasa sayangku pada Mamaku sendiri. Selamat jalan Mbok Asih, takkan lagi kutemui, tangan yang begitu lembut, yang selalu memberi ketenangan pada hidupku. Itulah tangan lembutmu, Mbok Asih...

***Tangan Lembut Mbok Asih...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun