Mohon tunggu...
Jean Aipassa
Jean Aipassa Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Selalu pengen nulis...nulis... n nulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta itu Sederhana -part 2-

5 Maret 2014   17:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:13 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Part-1

Malam ini serasa begitu lama kurasakan, jarum jam terasa tidak bergerak, diam ditempatnya. Kuraih novel yang kuletakkan di atas bantal, sengaja kuletakkan disana, berharap dapat menemaniku tidur dan memberi ketenangan. Kembali kubuka dan kubaca ... sampai tak terasa, habis sudah kubaca hanya dalam waktu satu malam saja. Padahal, masih ada beberapa lembar tersisa dari kemarin.

Malam begitu sunyi, begitu hampa kurasakan. Mendadak, hanya bayangan wajah Sakti yang menari-nari di atas kepalaku, senyumannya yang tak dapat kulupakan. Kata-katanya yang sanggup membuatku terus berpikir akan arti cinta yang sesungguhnya. Apakah aku mencintai Riko, selamanya ini? Kenapa aku tidak pernah membayangkan senyuman Riko menemani malamku. Kenapa malam ini, selalu wajah dan senyuman Sakti yang selalu menari-nari dimataku, menemani malamku... Apakah aku mulai mencintai Sakti? Bagaimana dengan Riko?

Bersambung...

--------------------------

“Sandra, udahan yuk … laper nih! Betah amat sih disini!” Hani merajuk mengajakku keluar dari perpustakaan untuk mencari makanan di kantin.

“Kalau mau duluan, ga apa deh, aku masih ingin disini. Ada yang ingin aku kerjakan, Han.” Aku tetap serius dengan apa yang aku kerjakan.

“Yah, udah deh kalau begitu, aku duluan ya. Eh, nanti kalau ketemu Riko, aku jawab apa? Bilang kalau kamu disini?” tiba-tiba Hani mengingatkanku pada sosok Riko. Aku lupa memberitahu Riko tentang keberadaanku di perpus, jujur aku tidak ingin Riko datang menemuiku di perpus, tapi … aku tidak ingin Riko kembali marah-marah padaku.

“Oiya, aku lupa kasih tahu Riko, hp-ku di locker, gimana nih, Han?” tanyaku pada Hani. Takut akan kemarahan Riko, menyergapku. Ooooh … baru kali ini kurasakan ketidaknyamanan bersama Riko. Aku harus memberi laporan, segala hal yang aku lakukan, tidak ada alasan untuk lupa.

Selama ini, tidak pernah ada masalah, karena aku sama sekali tidak pernah punya kegiatan lain selain bersama Riko. Tidak ada waktu luang untuk aku dapat pergi bersama teman-temanku yang lain. Untuk pergi bersama Hani, harus pada saat Riko berada di kelas atau pada saat Riko sedang pergi bersama keluarga atau teman-temannya. Tidak adil!!! Namun, baru kurasakan saat ini…

“Bilang aja, kalau hp-ku batrenya habis, belum sempat nge-charge dan tidak bisa kirim sms apalagi telepon. Tapi tolong bilang sama Riko juga, kalau nanti siang, ketemuan di kantin. Ok! Tolong ya, Han…” pintaku pada Hani, sambil menggenggam tangannya. Hani pun tersenyum dan mengangguk tanda setuju. Hani memang sahabatku yang setia.

“Wow!!! Rajin juga kamu, Sandra. Lagi kerjakan apa? Ada yang bisa aku bantu?” tiba-tiba terdengar suara yang aku kenal dan kutunggu … Sakti. Dadaku berdegup kencang dan terasa hawa dingin menyusup ke tubuhku seakan membuatku menggigil. Aku hanya menoleh dan tersenyum tanpa berkata apapun.

Sakti menghampiri dan duduk di sampingku. Meletakkan laptop yang dibawanya di atas meja. Mulai sibuk dengan membuka file yang ada di dalam laptop-nya. Dan akhirnya, Sakti kembali bertanya padaku.

“Perlu bantuan ga? Keliatan serius tapi bingung, hehehe.”

Haduh! malu rasanya, karena aku memang tidak tahu ingin melakukan apa di perpustakaan ini, hanya ingin bertemu dengan Sakti, adalah tujuan utamaku. Sedari tadi aku hanya menyalin tulisan yang ada di buku, sok sibuk saat Hani bersamaku. Sebenarnya aku ingin Hani cepat-cepat pergi meninggalkanku, agar aku dapat berdua saja dengan Sakti. Aku tersenyum sendiri.

Sakti berusaha melongok ke arah laptop-ku, berusaha melihat apa yang sedang aku kerjakan. Cepat aku tutup laptop-ku, dan memarahi atas kelancangannya yang berusaha ingin tahu.

“Eh, mau tahu aja deh … Sudah, ga usah liat-liat, ini rahasia” jawabku sambil mengomelinya. Sakti hanya tersenyum dan kembali sibuk dengan laptop-nya.

Aku mencoba membuka pembicaraan kembali, karena cukup lama juga kami saling berdiam diri.

“Malam nanti, kamu ada acara ga? Kalau boleh, aku ingin mengajak kamu pergi makan malam, sambil … kita bahas novel kamu ya. Sekalian, ajari aku menulis novel. Bisa?” Aku mencoba mengajak Sakti makan malam, banyak hal yang ingin aku ketahui tentangnya, terutama tentang isi novel yang aku baca. Apakah novel itu terinspirasi dari kisah hidupnya? Aku ingin tahu?

Malam yang aku tunggu akhirnya tiba. Jarum jam rumahku menunjukkan pukul 8 malam, waktunya Sakti menjemputku. Namun, sudah lewat 10 menit, belum ada sosok Sakti kutemui di rumahku, bahkan kabar darinya pun tak ada.

Teringat pagi tadi di perpus, Sakti sedikit kaget mendengar ajakan makan malamku, namun akhirnya dia menggangguk dan berjanji akan menjemputku pukul 8 malam. Kembali Riko menumpahkan kemarahannya padaku, karena aku tidak memberitahukannya saat berada di perpus, walau Hani telah memberitahukannya, Riko tetap menumpahkan emosinya padaku, didepan umum. Tak tahu kenapa, aku tidak peduli dengan amarahnya, aku tidak menjawab satu patah katapun, hanya diam dan tertunduk. Namun hatiku senang, karena malamnya aku akan bersama dengan Sakti.

Saat jam pelajaran usai di kampus, Riko mengantarku pulang. Tidak ada kata-kata yang terucap dari mulut kami berdua, kami hanya saling terdiam. Sampai pada saat aku tiba di halaman rumahku, aku hanya berkata, ingin istirahat malam ini dan tidak ingin kemana-mana. Riko menunjukkan sikap tidak peduli, dia berlalu begitu saja dengan mobil kebanggaannya, bahkan tidak menyapa ibuku yang sejak tadi memperhatikan kami dari teras rumah.

“Sandra, aku minta maaf. Aku tidak bisa menemuimu malam ini, ada hal penting yang harus aku lakukan.” Terdengar dari sebrang sana, Sakti mengabarkan ketidakhadirannya melalui hp-nya, padaku. Belum sempat aku bertanya, apa alasannya, namun nada putus terdengar begitu tiba-tiba, saat Sakti selesai bicara. Aku terdiam, rasa sedih kurasakan, sampai air mataku pun jatuh berderaian. Aku mengunci pintu kamarku, aku tak ingin Ibu melihatku.

Aku berusaha mencari sosok Sakti, aku datangi perpustakaan, aku pun bertanya kepada Sandro, namun aku tidak melihat sosok Sakti berada di kampus hari ini. Aku pun bertanya-tanya … ada apa? Kucoba menghubungi Sakti lewat hp-ku, tidak ada jawaban.

Riko mengajakku pergi ke sebuah mall, aku menurutinya walau dengan rasa malas. Saat kami sedang makan di food cord, terlihat sosok yang aku kenal sedang bersama dengan seorang perempuan cantik memasuki sebuah toko perhiasan. Rasa penasaran menggangguku, ingin rasanya aku meyakinkan hatiku, kalau laki-laki yang bersama perempuan cantik itu adalah, Sakti.

Ku ikuti mereka, dengan ijin terlebih dahulu kepada Riko, dengan alasan pergi ke toilet. Ternyata apa yang kupikirkan, benar adanya. Sakti begitu mesra bersama perempuan itu, mereka bergandengan tangan, memilih perhiasan yang ada di toko. Apakah karena ini Sakti membatalkan pertemuannya denganku, semalam?

“Hey … apa khabar? Kamu sakit, Sandra? Wajahmu agak pucat…” Sakti menegurku di kantin, keesokan harinya. Aku hanya menoleh sesaat dan Hani hanya diam saja, karena dia merasa bukan dia yang ditegur. Aku menikmati sarapan bersama Hani, kebetulan kelas pertama, jam 8 pagi, kosong, karena dosen berhalangan hadir.

“Han, udah selesai belum, udahan yuk…” aku menarik tangan Hani, pergi meninggalkan kantin. Sekilas kulihat, Sakti kebingungan dengan sikapku, namun dia tidak berusaha mengejarku, hanya menatapku.

“Ada apa sih, San? Kamu ribut sama Sakti?” Hani bertanya penuh selidik.

“Ga, koq. Ga ada apa-apa” jawabku malas.

“Kamu ga naksir sama Sakti, khan?” tiba-tiba ucapan Hani membuatku salah tingkah.

“Apaan sih! … ya, ga lah. Riko mau dikemanakan…?!” kujawab sambil mataku melotot kearah Hani.

“Oke-oke, sorry … kamu kelihatan beda deh, San! Kelihatan seperti orang yang salah tingkah, setiap ada Sakti. Sorry, loh, kalau salah. Tapi memangnya, kamu ini ada apa dengan Sakti?” Hani memberondongi pertanyaan kepadaku, membuatku semakin salah tingkah. Bingung, apakah harus kuceritakan tentang perasaanku pada Hani?

“Wow …! Serius kamu, San?! Jangan sampai Riko tahu, bisa perang dunia nanti…” Hani membelalakan matanya, ketika akhirnya kuceritakan semuanya.

“Iya, makanya, kamu bantu aku, jangan sampai Riko tahu … ok!”

“Menurut pendapatku, labih baik kamu selesaikan masalahmu dengan Sakti, Tanya baik-baik, mumpung Riko sedang tidak ada…” Hani memberikan masukan yang baik padaku. Aku senang sekali. Hani benar-benar sahabat baikku.

“Sakti, aku ingin bicara denganmu. Nanti sepulang dari kampus, temui aku di perpustakaan, ya…” aku memberanikan diri menemui Sakti, yang sedang asik nongkrong bersama teman-temannya di kantin.

“Sudah lama menunggu, ya. Sorry ya … aku harus menemui dosen terlebih dahulu.”

“Ga apa-apa, koq. Yang penting kamu datang. Jangan seperti malam itu, tiba-tiba kamu membatalkan pertemuan kita. Ada apa, Sakti?!” dengan nada ketus, aku bertanya pada Sakti.

“Aku minta maaf, Sandra. Aku benar-benar tidak bisa datang menemuimu, malam itu. Dan aku, belum bisa bercerita apapun padamu.” Sakti menunduk, merasa bersalah.

“Oke … kalau kamu tidak ingin menceritakannya padaku. Tapi boleh dong aku tahu, siapa perempuan yang bersama kamu di toko perhiasan di mall?” tanpa ragu, aku pun langsung menanyakan perihal perempuan yang bersama Sakti. Yang membuatku … cemburu. Ah! benarkah aku cemburu?

“Itu Arnita, Sandra…”

Bagaikan patung yang tak dapat bergerak. Aku terdiam kaku mendengar nama perempuan yang bersama Sakti di toko perhiasan itu. Rasa kering, kurasakan di kerongkonganku, perih, saat kucoba menelan air ludahku sendiri. Kucoba tersenyum, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku. Kucoba tahan, untuk tidak terjatuh…

“Ooo … itu mantan pacarmu, Sakti. Kalian balikan?” kucoba berbasa-basi, walau rasa perih menjalar ke hatiku. Sakti tersenyum, dia tidak menjawab.

“Aku duluan, ya … kebetulan aku ada janji dengan Hani.” Tak kuat rasanya aku menahan rasa perih di hatiku, kuputuskan untuk pergi secepatnya dari pandangan Sakti. Aku tak ingin Sakti melihat, air mata yang mulai tumpah membasahi pipiku.

Sekilas, kulihat Sakti berdiri mematung melihat kepergianku, tanpa berusaha mengejarku…

Seminggu sudah Riko pergi ke luar negeri bersama keluarganya. Pagi ini, kembali Riko menjemputku untuk berangkat ke kampus bersama. Banyak oleh-oleh yang Riko berikan untukku, tapi … tidak ada satu pun, untuk Ibuku. Aaaahhh … kenapa Riko tidak bisa berlaku santun kepada Ibuku? Orang tuaku, satu-satunya yang aku miliki? Riko memang baik, gemar membelikan aku barang-barang mewah, namun Riko tidak pernah membelikan apapun untuk Ibuku. Bahkan sekedar turun dari mobil kebanggaannya untuk menyapa dan mencium tangan Ibuku, tidak pernah dilakukannya.

Pagi ini semuanya terasa berbeda, aku benar-benar tidak dapat konsentrasi dengan apapun yang dosen bicarakan di depan kelas. Aku juga tidak merasa begitu senang dengan semua oleh-oleh yang Riko berikan padaku. Aku juga tidak merasa merindukan kehadiran Riko, namun aku juga mulai tidak peduli dengan sosok Sakti, yang sekilas dapat kutemui di kantin, perpus, atau saat berpapasan. Bahkan terkadang, aku pun mengacuhkan kehadiran Hani, sahabatku… aku hanya ingin sendiri.

Sampai pada suatu ketika, saat Riko bertandang ke rumahku sore hari, di hari Minggu. Saat itu aku sedang tertidur karena lelah, membantu Ibu mengurus bunga-bunganya di halaman samping rumah. Tanpa permisi dengan Ibukku yang berada di halaman samping, Riko langsung masuk ke kamarku, mambangunkanku untuk mengajakku pergi. Aku terkejut dengan kehadiran Riko, yang tiba-tiba telah berada di kamarku. Tapi, Riko tidak peduli…

“Kamu ngapain disini, Riko!!” bentakku.

“Ya … bangunin kamu, aku mau ajak kamu pergi. Sudah cepat mandi, aku tunggu di sini.” Jawab Riko santai, tanpa rasa bersalah sedikit pun.

“Kamu tidak menemui Ibuku terlebih dahulu?”

“Apa…! Ketemu Ibumu?! Untuk apa?! Apa yang bisa Ibumu dengar dan katakan, padaku. Aku malas bicara dengan orang tuli dan bisu…!” Begitu santainya Riko bicara tentang kondisi Ibuku. Tak ada rasa hormat sedikitpun, kepada seseorang yang telah membesarkanku dengan susah payah, dengan kondisi yang tidak normal. Aku sedih mendengarnya, tak terelakan lagi, air mataku pun mengalir membasahi pipi. Dan rasa marah pun, tak dapat kutahan.

“Keluar dari kamarku, Riko!!! Keluar!!!” Aku berteriak, menyuruh Riko untuk pergi. Namun tidak seperti yang aku bayangkan. Riko tidak beranjak dari tempatnya, dengan santainya dia berkata hal-hal yang menyakiti hatiku.

“Kamu mengusirku … siapa kamu?! Berani benar kamu mengusirku. Aku sudah membelikan segala macam barang-barang mewah untukmu, mengajakmu makan di restoran mahal, membiarkanmu duduk di dalam mobil mewahku. Kamu berani mengusirku?! Tidak tau terima kasih … Tidak tahu diri kamu!!!

Bagaikan tertusuk belati yang begitu tajam, bagaikan tersambar petir yang menggelegar, aku menjerit mendengar semua perkataan Riko, padaku. Riko mengungkit semua yang telah diberikannya, padaku. Padahal, selama ini, aku merasa Riko begitu mencintaiku.

“Aku suka padamu, karena aku yakin, kamu akan nurut denganku. Kamu tidak punya apa-apa, Sandra. Heh! Kamu tidak akan pernah merasakan kemewahan, kalau bukan karena aku…” Kembali, Riko menghujamkan kata-katanya bak belati yang tajam ke hatiku, membuatku semakin sakit. Dan teramat sakit, saat tiba-tiba Ibuku datang dan berusaha melindungiku. Riko mendorongnya, sampai terjerambab di lantai. Tidak ada kata-kata yang dapat diucapkannya, Ibuku hanya meringis menahan rasa sakit.

“Keluar kamu, Riko … Keluar!!!” aku benar-benar tidak dapat lagi menahan amarahku. Ku coba mendorong tubuh Riko, keluar dari kamarku. Kutarik tangannya, agar Riko benar-benar keluar dari rumahku. Kulempar semua barang-barang pemberiannya, kututup pintu rumah dengan cara membantingnya.

Ibu menghampiriku, berusaha menenangkanku dan memelukku. Aku pun memeluknya, sambil aku berkata, “Maapkan Sandra, Bu. Selama ini, Sandra membuat hati Ibu sedih, karena berhubungan Riko. Sandra tahu, Ibu tidak suka, Sandra berhubungan dengan Riko, tapi, Ibu membiarkan semua, hanya untuk membuat Sandra bahagia. Maapkan Sandra, Bu.”

Sejak kejadian itu, Riko selalu meng-olok-olokku setiap kali kami bertemu. Menghina Ibuku…

Aku pun tak lagi bertemu dengan Sakti, dan dari informasi yang aku dengar dari Sandro … Sakti telah menjalani sidang dan dinyatakan lulus, tinggal menunggu waktu wisuda saja. Kuhabiskan waktuku bersama Hani, sahabat setiaku. Sulit aku menemukan sahabat sejati seperti Hani, yang selalu sabar menghadapiku, akankah aku kehilangan Hani, jika waktunya aku lulus nanti…?

*****

Acara wisuda telah usai, ada rasa bangga pada diriku, karena telah menyelesaikan kuliahku. Aku dan Hani berpoto bersama. Dan Ibu … aku juga mengundang Ibu untuk hadir di hari terakhirku di kampus. Bersama teman-teman sekelas, kami berpoto bersama. Aku bersyukur, kondisi Ibu, tidak membuat teman-temanku menjauhiku. Mereka cukup santun kepada Ibuku. Mereka mahasiswa yang baik, memang sudah seharusnya begitu … tidak dengan mantanku. Ku ketahui, dirinya tidak lulus, karena terlalu asik menghabiskan waktu dan uang yang diberikan orang tuanya.

“Sandra … ada yang mau ketemu, tuh!” tiba-tiba Sandro menghampiriku. Kulihat sosok yang ditunjuk Sandro. Sakti …

“Hallo, Sandra. Selamat ya, akhirnya semuanya tuntas dengan baik.” Sakti memberiku ucapan dan sebuah bingkisan yang dibungkus kertas kado berwarna pink, warna kesukaanku. Tak lama, Sakti mohon diri padaku, sebelum aku sempat bertanya banyak tentang dirinya, selama ini.

Kubuka perlahan, kertas kado yang membungkus bingkisan dari Sakti. Aku tak ingin kertas kado ini rusak. Aku ingin menyimpannya…

Aku memandangi sebuah novel dengan cover bergambar sepasang muda mudi sedang duduk di sebuah perpustakaan. Novel berwarna pink, warna kesukaanku. Apakah ini hanya sebuah kebetulan? Ataukah memang Sakti sengaja membuat cover layaknya aku dan dirinya saat berada di perpustakaan? Aku tidak peduli itu semua, aku hanya ingin segera membacanya. Dengan judul yang membuatku penasaran. “Ketika Aku Mencintaimu…”

“Aku tidak bisa kembali padamu, ada seseorang yang aku cintai saat ini. Yang telah berlalu, biarlah berlalu. Kau telah menentukan bahagiamu, aku pun ingin menentukan bahagiaku…”

“Ternyata aku seorang yang pengecut, kubiarkan orang-orang yang aku cintai pergi, tanpa bisa aku cegah… laki-laki macam apa aku ini!”

“Ya Tuhan … kenapa saat aku berharap, semuanya harus aku relakan pergi meninggalkanku. Kapankan, harapan itu dapat kuwujudkan…?

Ada beberapa kalimat, dari isi novel yang diberikan Sakti, yang menggelitik hatiku, membuatku bertanya-tanya akan arti dari kalimat-kalimat itu. Namun aku tidak pernah tahu…

Aku pun tidak lagi bertemu dengan Sakti, pasca acara wisudaku, bahkan kabar beritanya pun tak lagi kudengar … hilang, bagaikan terbawa angin …

Hanya satu yang ingin kukatakan, dan semoga angin membawa kata-kataku, menyampaikannya kepada Sakti, entah dimana dia sekarang …

“Sakti, Cinta itu Sederhana. Aku tidak peduli apapun yang terjadi, akan kubalas cintamu, jika kau menyatakan cinta padaku…”

Selesai

***Cinta itu Sederhana -part 2-



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun