Mohon tunggu...
Zayyan TA
Zayyan TA Mohon Tunggu... Lainnya - kuliah

jeee

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mehami Aliran Konservatif dan Fundamentalisme

9 Juli 2023   19:20 Diperbarui: 9 Juli 2023   19:47 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

MEMAHAMI ALIRAN KONSERVATIF DAN FUNDAMENTALISME

Zayyan Tastaftiyan Adikara 

Definisi Dan Ciri-Ciri Aliran Konservatif dan Fundamentalisme Istilah konservatif secara etimologis berasal dari bahasa Latin conservare yang artinya menjaga, melestarikan, dan memelihara. konservatif adalah paham yang berpegang teguh pada kitab suci atau ajaran, ortodoksi dan tradisi yang dianggap paling benar.. Sikap konservatif seringkali dianggap keras karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan zaman atau hanya menyesuaikan dengan tradisi yang ada, menurut KBBI.(Syatar, 2020) Konservatif adalah sebuah konsep di mana seseorang selalu menjaga tradisi lama/ hal-hal tradisional & menentang modernitas.

Istilah "konservatif" yang digunakan menunjukkan pemahaman yang diyakini oleh seseorang atau kelompok yang tidak hanya berhenti pada ranah pemahaman literalis dan enggan menerima perbedaan penafsiran, tetapi juga mendorong seseorang atau kelompok untuk menunjukkan pemahaman konservatif tersebut ke dalam perilaku atau tindakan. 

Keberadaan kelompok Islam konservatif mengalami perkembangan yang signifikan sejak lengsernya Soeharto. Gerak-geriknya yang tidak begitu jelas terlihat oleh banyak orang menjadi strategi jitu hingga kemudian mereka memiliki massa yang cukup besar dan mulai terang-terangan membeberkan keberadaannya di depan umum. Realitas itu semakin lama semakin terungkap kebenarannya.

Konsep konservatisme sebenarnya mengacu pada paradigma berpikir yang menitikberatkan pada tradisionalisme, bedanya istilah ini lebih merujuk pada cara agama kemudian ditransformasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun bertindak. Beberapa literatur mendefinisikan konservatisme agama sebagai keinginan untuk mempertahankan doktrin 'murni'. Sementara itu, di kalangan akademisi, konservatisme agama populer dengan sebutan "konservatisme agama". 

Azyumardi Azra memberikan definisi sebagai paradigma pemikiran dan perilaku keagamaan yang selalu berpegang teguh pada ajaran kitab suci yang diklaim kaum konservatif sebagai rujukan yang paling benar. Tekstual, historis, dan resisten terhadap isuisu keagamaan kontemporer modernis. Kelompok ini meyakini bahwa tidak ada cara dan sarana lain untuk memperoleh ketenangan dan kenyamanan sejati kecuali dengan kembali kepada ajaran dan praktik agama terdahulu, serta menghindari segala bentuk pembaharuan seperti saat ini.

Ciri ciri Aliran Konservatif

1. Penekanan pada literalisme: Aliran Islam konservatif cenderung menekankan pada pemahaman harfiah atau literal terhadap teks-teks suci, seperti Al-Quran dan Hadis. Mereka cenderung berpegang pada tafsiran yang tradisional dan menolak tafsiran kontekstual atau modern yang dianggap meliberalisasi ajaran Islam.

2. Ketegasan terhadap bid'ah: Aliran ini cenderung memiliki sikap yang tegas terhadap praktik-praktik bid'ah (inovasi agama yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam) dan berpegang pada praktek-praktek yang telah ada sejak zaman Nabi Muhammad.

3. Pemisahan antara kaum pria dan wanita: Aliran Islam konservatif cenderung mendorong pemisahan antara kaum pria dan wanita dalam beberapa konteks, seperti di dalam masjid atau dalam interaksi sosial tertentu, untuk menjaga kehormatan dan menjalankan prinsip-prinsip kesucian dalam agama Islam.

Sedangkan Aliran Fundamentalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berasal dari kata "Fundamental" sebagai kata sifat yang memberikan pengertian "bersifat dasar (pokok); mendasar", diambil dari kata "fundament" yang berarti "dasar, asas, alas, fondasi".Dengan demikian, fundamentalisme dapat diartikan dengan paham yang berusaha untuk memperjuangkan atau menerapkan sesuatu yang dianggap mendasar. Adapun menurut Mahmud Amin al-Alim, istilah fundamentalisme secara etimologi berasal dari kata "fundamen", yang berarti dasar. 

Secara terminologi, berarti aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (tekstual). Menurutnya, pemikiran fundamentalisme telah kehilangan relevansinya karena zaman selalu berubah dan problematika semakin kompleks. Perlu dilakukannya penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan dengan mengedepankan ijtihad, membongkar teks-teks yang kaku, dan mengutamakan maslahah serta maqashid al-Syari'ah.

Dalam tulisan ini, fundamentalisme Islam diartikan sebagai gerakan-gerakan Islam yang secara politik menjadikan Islam sebagai ideologi dan secara budaya menjadikan Barat sebagai The Others. Faktor yang melatarbelakangi lahirnya gerakan fundamentalis adalah situasi politik, baik di tingkat domestik, maupun di tingkat internasional. Ini dapat dibuktikan dengan munculnya gerakan fundamentalis pada masa akhir khalifah Ali bin Abi Thalib, di mana situasi dan kondisi sosial politik tidak kondusif. 

Pada masa khalifah Ali, perang saudara sedang berkecamuk hebat antara kelompok Ali dan Muawiyyah. Kedua 8 belah pihak bersengketa pendapat tentang masalah pembunuh Usman dan masalah khilafah. Kelompok Ali bersikeras mengangkat khalifah terlebih dahulu lalu menyelesaikan masalah pembunuhan. Kelompok Muawiyyah menuntut penyelesaian masalah pembunuhan terlebih dahulu sebelum khalifah dipilih. Karena masing-masing kelompok sudah seperti air dengan minyak, maka rekonsiliasi-perdamaian tak berarti lagi. Sesama muslim itu saling bunuh, lalu damai dengan sistem tahkim (arbitrase).

Ciri ciri Aliran Fundamentalisme

1. Cenderung melakukan interpretasi literal (tekstual) terhadap teks-teks suci agama, dan menolak pemahaman kontekstual atas teks agama karena pemahaman seperti ini dianggap akan mereduksi kesucian agama. Dari segi metodologi, pemahaman, dan penafsiran teks-teks keagamaan, kaum fundamentalis mengklaim kebenaran tunggal. Menurut mereka, kebenaran hanya ada di dalam teks dan tidakada kebenaran di luar teks, bahkan sebetulnya yang dimaksud adalah kebenaran hanya ada pada pemahaman mereka terhadap hal yang dianggap sebagai prinsip-prinsip 9 agama.

Mereka tidak memberi ruang (space) kepada pemahaman dan penafsiran selain mereka. Tidak ada kebenaran di luar itu, baik pada agama lain, maupun dalam aliran lain atau denominasi lain dari agama yang sama. 2. Memonopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalis cenderung menganggap dirinya sebagai penafsir yang paling absah atau paling benar sehingga memandang sesat kepada aliran yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka juga tidak bisa membedakan antara din(agama) dan dini(pemikiran keagamaan) yang berbentuk tafsir. 

Adapun yang lebih parah adalah adanya klaim hanya tafsir dan pendapat mereka sendiri yang paling benar, sementara tafsir dan pendapat orang lain/kelompok lain salah. Padahal, dalam khazanah Islam perbedaan tafsir merupakan sesuatu yang biasa sehingga dikenal banyak mazhab. Sikap keagamaan yang seperti ini berpotensi untuk melahirkan kekerasan. Dengan dalih atas nama agama, atas nama membela Islam, atas nama Tuhan, mereka melakukan tindakan kekerasan, pengrusakan, penganiayaan, bahkan sampai pembunuhan.

3. Setiap gerakan fundamentalisme hampir selalu dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme, dan militanisme. Kaum fundamentalisme selalu mengambil bentuk perlawanan yang sering bersifat radikalterhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama dalam bentuk modernitas atau modernisme, sekularisasi atau tata nilai Barat pada umumnya. Kaum fundamentalisme sebenarnya tidak serta-merta mesti memilih jalan kekerasan, namun banyaknya fundamentalis yang tidak sabar melihat penyimpangan dalam masyarakat dan melakukan tindak kekerasan.

Selanjutnya, kekerasan dan fundamentalisme dalam kesadaran banyak orang- sangat sulit untuk dipisahkan. Sikap militan dan intoleran tidak jarang terlihat dengan jelas dalam gerakan fundamentalisme. Orang-orang fundamentalis merasa terpanggil, bahkan terpilih untuk meluruskan penyimpangan dalam bentuk pembelaan terhadap agama. 

Hal ini tampaknya sangat wajar. Menurut mereka,pesan-pesan dasar agama sudah sangat jelas, yang harus dilakukan adalah melakukannya dengan konsekuen, termasuk meluruskan orang-orang yang dianggap berusaha memikirkan kembali pesan-pesan keagamaan. Orang-orang semacam itu menurut kaum fundamentalis sangat membahayakan agama dan harus dihadapi dengan sikap tegas tanpa toleransi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun