Mohon tunggu...
M AlifAdhitya
M AlifAdhitya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama Saya M Alif Adhitya , Palembang saya seorang Mahasiswa Universitas Sriwijaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bencana Kelaparan Semasa Revolusi Kebudayaan

29 November 2024   12:00 Diperbarui: 29 November 2024   11:55 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Krisis Pangan Selama Revolusi Kebudayaan di Tiongkok: Analisis Menggunakan Konstruktivisme dalam Hubungan Internasional

Revolusi Kebudayaan di Tiongkok, dari tahun 1966 hingga 1976, mungkin merupakan masa yang paling dramatis dan penuh tantangan dalam sejarah Tiongkok modern. Dipimpin oleh Mao Zedong, gerakan ini bertujuan untuk mengonsolidasikan ideologi komunis, menghilangkan "Empat Hal Lama," budaya, adat istiadat, tradisi, dan ide lama, serta memperkuat kendali Partai Komunis Tiongkok atas massa. Meskipun ambisi ideologis gerakan ini sangat besar, dampak Revolusi Kebudayaan berarti disfungsi ekonomi total, ketidakstabilan sosial total, dan---yang paling tragis---tingkat krisis pangan yang tinggi. Esai di bawah ini, dari perspektif konstruktivisme dalam hubungan internasional, menganalisis pelajaran yang dapat dipelajari suatu negara untuk pengelolaan krisis pangan yang lebih baik dengan mempertimbangkan pengaruh norma, identitas, dan ideologi dalam membentuk kebijakan nasional yang efektif.

Krisis Pangan Selama Revolusi Kebudayaan

Kelaparan selama Revolusi Kebudayaan dapat secara gamblang dikaitkan dengan kebijakan yang salah arah dan birokrasi yang kacau balau. Seperti yang disebutkan, Mao Zedong memperkenalkan kebijakan pertanian radikal: kebijakan "Pertanian Kolektif" yang terkenal dan "Kampanye Penanaman Padat." Keduanya tidak selaras dengan ilmu agraria, kebijakan ini memberikan tekanan yang lebih besar pada petani untuk secara paksa meningkatkan hasil panen tanpa mempedulikan kapasitas lahan atau faktor lingkungan yang menghalangi. Penanaman berlebihan mengakibatkan pengolahan tanah yang berlebihan, yang menyebabkan kesuburan menurun dengan cepat dan gagal panen yang meluas, memperburuk kondisi yang berkaitan dengan kekurangan pangan.

Krisis ini semakin diperburuk oleh distribusi sumber daya yang tidak seimbang di pihak negara, karena sebagian besar bahan makanan dikirim ke daerah perkotaan dan untuk memamerkan Tiongkok Komunis ke dunia, sementara penduduk pedesaan---yang merupakan mayoritas penduduk Tiongkok---kekurangan pasokan makanan. Hal ini telah menyebabkan kelaparan dan kekurangan gizi yang meluas yang menewaskan jutaan orang dan menghancurkan jaringan sosial ekonomi negara yang sudah rapuh.

Konstruktivisme: Perspektif yang Relevan

Konstruktivisme, dalam konteks hubungan internasional, sangat bergantung pada bagaimana norma, identitas, dan ideologi membentuk perilaku negara. Berbeda dengan teori realis atau liberalis, yang masing-masing berfokus pada faktor material, kekuasaan, atau saling ketergantungan ekonomi, konstruktivisme berasumsi bahwa persepsi tentang diri sendiri dan seperangkat norma yang dianut menentukan jenis kebijakan yang akan ditempuh suatu negara.

Ideologi komunis, selama Revolusi Kebudayaan, merupakan landasan identitas nasional Tiongkok. Sementara purisme ideologis di atas tata kelola pragmatis merupakan landasan "revolusi berkelanjutan" Mao Zedong, ironisnya, kebijakan pangan yang sesuai dengan jenis pendekatan sebelumnya dan bukan yang berlandaskan ideologi menjadi contoh yang menunjukkan betapa buruknya dampak yang dapat terjadi akibat meremehkan aspek material dan manusiawi tata kelola. Dengan demikian, konstruktivisme menjadi sangat penting dalam membatasi kerangka kerja untuk memahami pembentukan krisis tersebut dan melalui kerangka tersebut negara-negara mengarahkan kembali norma-norma mereka demi kesejahteraan masyarakat.

 Manajemen Praktis Keinginan Makan: Pelajaran dari Konstruktivisme

Konstruktivisme mengajarkan bahwa meninjau kembali norma, mengubah orientasi identitas nasional, dan menghadapi nilai-nilai sosial yang mendasari keputusan kebijakan merupakan bagian tak terpisahkan dari manajemen krisis pangan yang efisien. Dari sudut pandang ini, suatu negara dapat terlibat dalam beberapa langkah berikut, yang meliputi:

1. Mengubah orientasi identitas dan norma nasional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun