Di ladang adalah tempat beristirahat yang mumpuni dengan menikmati makan siang ternikmat meski hanya di gubuk bambu, semakin asyik meski hanya ditemani lauk-pauk seadanya, plus rasa lapar dan dahaga alamiah yang timbul setelah bercucuran keringat dan tenaga fisik yang telah keluar sebelumnya.
Kondisi yang akan sangat sulit dijumpai menurut pendapat saya bila dibandingkan dengan tempat bekerja secara formal yang terkadang penuh lika-liku dan bumbu intrik yang menyayat hati, menguras emosi, jauh dari logika dan akal sehat.
Petani Karo berkeyakinan dan memandang bahwa linearitas antara upaya yang baik (pembibitan, pemupukan, dan proses bertani lainnya) akan berbanding lurus dengan hasil panen yang baik (melimpah). Sebuah paham klasik yang tidak sesederhana bila bekerja di dunia formal baik di organisasi pemerintahan maupun swasta.
Kembali ke awal tulisan ini, saya berkeyakinan inilah diplomasi khas kalak (arti: orang) Karo yang mehamat (arti : santun/sopan/elegan) dan tidak cengeng. Petani Karo yang kesusahan karena sekian lama telah meminta untuk diperhatikan jalan desanya, bukan modal usahanya. Hanya menuntut terhadap situasi yang tidak dapat dikendalikannya yaitu jalan untuk membawa hasil pertaniannya, jeruk!
Memohon juga sekaligus memberi. Bila dikalkulasikan 3 ton atau 3.000 kg jeruk pilihan dari hasil panen yang diberikan kepada Presiden Jokowi dengan harga rata-rata Rp.10.000/kg maka nilai prangko permohonan itu setara Rp. 30.000.000,-. Belum lagi mendatangkan langsung ke ibukota adalah sebuah pengorbanan dan upaya yang tidak bisa dianggap sebelah mata.
Protes sosial dari beberapa desa dengan misi menyuarakan aspirasi buat orang banyak hanya dengan perwakilan enam orang saja karena menghormati masa pandemi, tetap melaksanakan prokes, dan bawa oleh-oleh. Sesuatu yang kurang masuk akal, kala orang yang sedang dalam kondisi "marah" dan mau protes atau berdemonstrasi namun justru datang dengan santun, menghormati penguasa yang dijumpai, dan bawa oleh-oleh ditengah-tengah kesusahannya sendiri.
Tidak ada huru-hara, tidak ada penutupan jalan, bawa buah tangan khas sendiri dan bagi saya itulah orang Karo dan Indonesia yang sesungguhnya! Diplomasi khas dan berdampak! Damai dan mejile!
Tidak memaksakan diri untuk membawa buah tangan yang lagi-lagi di luar dari kemampuannya. Hasil dari upaya yang terbaik dimilikinya adalah jeruk maka yang dibawa adalah jeruk bukan apel, anggur atau barang lain yang bukan dihasilkannya sendiri. Santun dengan menghormati penguasa dalam hal ini Presiden dengan memakai uis (arti: kain) ciri khas adat Karo yaitu beka buluh atau kain adat tenunan berwarna merah emas yang berbentuk segi tiga dipakai di bahu.
Beka buluh dipakai bagi kaum pria Karo yang bersimbolkan sebagai sebuah keberanian membela kebenaran, kehormatan, kegembiraan, ketegasan dan elegan. Beka buluh adalah tanda kewibawaan yang juga biasa dipakai menjadi penutup kepala (mahkota) di perayaan atau acara adat istimewa bagi orang Karo.
Tanah Karo berikut truk pengangkutnya yang biasa terlihat parkir di gudang petani pernah masuk ke Istana Negara. Diterima dan direspon oleh Presiden langsung. Bahkan respon ini sesungguhnya telah ditindaklanjuti sebelum aksi damai ini berlangsung. Misi permohonan perbaikan jalan desa berdasarkan pernyataan Presiden Jokowi telah ditindaklanjuti oleh pihak kementerian PUPR.Â
Sejarah akan mencatat jeruk manis dariBagi saya terlepas pendapat lain, sudah cukup membuktikan bahwa istana dan penguasa dekat dengan rakyat di saat semua pintu tertutup dan menemui jalan buntu. Rakyat tidak sungkan untuk menyuarakan aspirasinya yang berdasar dan demi kebutuhan untuk semua orang pula.