Tidak hanya sebagai petani padi, bahkan sistem tumpang sari pada lokasi sawah yang sama sangat dimungkinkan menanam jenis tanaman lain sebagai upaya diversifikasi dan tentunya sharing risiko terhadap pembentukan harga.Â
Sebut saja pisang kepok, talas, jagung dan ubi jalar yang saat ini harganya juga terbilang seksi bisa disisip di pinggiran sawah. Masalah sering terjadi tanaman ini tidak dikelola dengan baik sehingga hanya sampingan dan hasilnya juga tidak maksimal.
Sampai hari ini anggapan bahwa bila hanya memiliki lahan pertanian yang terbatas tidak akan menjamin kehidupan dan masa depan oleh angkatan kerja khususnya para anak muda. Sehingga menjadi petani bukanlah sebuah pilihan pekerjaan yang menggiurkan.
Pada satu sisi pemahaman ini benar adanya namun pada sisi lain sepertinya hanyalah menjadi alasan kurang berdasar. Bicara pertanian maka seyogyanya adalah terkait dengan produktivitas, efisiensi dan tata kelola yang baik. Sudah banyak contoh pemanfaatan lahan minimalis justru menghasilkan produksi yang maksimal.Â
Di lain pihak, coba saja lihat kasus yang dialami salah satu badan usaha milik pemerintah yang hampir menguasai lebih 1,19 juta hektar lahan pertanian dan perkebunan justru mewarisi hutang sampai dengan puluhan triliunan rupiah.Â
Kurang masuk akal dan justru menjadi dilematis bagi gerakan pertanian oleh anak bangsa yang ingin kembali menjadikan negeri ini sebagai lumbung pangan dunia dengan keterbatasan lahan yang sering menjadi isu yang hangat untuk selalu dibahas.
Apakah hanya beras? Maaf, dengan segala keterbatasan pengetahuan saya rehat sejenak untuk menikmati hidangan makan malam yang telah tersedia dengan ditemani jagung, pisang kepok, ubi jalar dan sebutir telur rebus. Terima kasih buat Pak Tani yang sudah bersusah payah menghadirkan makanan ini di meja makan saya. Salam sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H