Peristiwa itu terjadi tepat di depan saya ada seorang ibu bersama anak kecil yang umurnya 6 tahunan menangis karena kehausan dan ingin minum (sepertinya baru pulang sekolah karena memakai seragam sekolah) namun si ibu tidak memberikan botol minuman yang dia pegang. Iseng-iseng saya bertanya mengapa tidak diberikan.
Si ibu menjawab bahwa selain wajib menaati aturan/larangan itu, dia menjelaskan bahwa kemungkinan dampak akibat pemberian minuman itu bisa saja tumpah ke lantai.
Dia mengatakan negeri itu tidak punya pelayan publik di MRT untuk membersihkannya (bila terjadi), bagi mereka hal itu bisa menjadi “ongkos” dan bisa membuat repot penumpang yang lain. Dampak sosial terganggu sehingga berdampak secara ekonomis.
Tanggung jawab bersama menjaga ketertiban dan kebersihan fasilitas publik adalah menjadi solidaritas masyarakat dan dipatuhi bersama. Mencengangkan dan tidak ada pembelaan diri meski demi kepentingan anak sendiri.
Berkaca dari pengalaman di atas betapa memberikan tamparan keras bagi saya. Dari sekelas seorang ibu rumah tangga memiliki standar paradigma bahwa masyarakat adalah pelayan publik itu sendiri.
Tidak dibutuhkan tambahan tenaga pekerja (formal atau informal) untuk mengurusi diri sendiri, pemahaman bahwa budaya tertib dengan tingkat kedisiplinan tinggi lewat perilaku, dan dilaksanakan sehingga bukan sekadar basa-basi. Pekerjaan yang kelihatan sepele dan menjadi bagian dari tanggung jawab kolektif.
Jauh berbeda dengan budaya dan perilaku saya, yang terkadang dimanjakan dengan selalu beranggapan bahwa ada tukang sapu atau petugas kebersihan/ketertiban di fasilitas publik untuk mengurusi masalah ini. Tepok jidat sendiri.
Apa yang mau saya utarakan selanjutnya mungkin akan mudah ditebak ke arah mana pembahasan berikutnya. Bagaimana pengalaman berbicara kala pelayanan publik tidak bisa maksimal hanya karena keterbatasan anggaran, petugas yang kurang, dan macam ragam dalih lainnya. Sebuah kondisi serba salah dan serba benar di antara rasionalitas, logika permisif, dan saling menyalahkan.
Acapkali kurangnya kesadaran terhadap budaya dan tanggung jawab khususnya terkait kedisiplinan dan keteraturan diri saat menggunakan fasilitas publik atau privat sekalipun, menimbulkan potensi bisnis atau bidang pekerjaan baru.
Keterbatasan anggaran terhadap layanan publik melahirkan pekerja informal sebagai petugas cleaning service dadakan, tukang parkir dadakan, pengatur lalu lintas dadakan, pengutip sampah dadakan dan serba serbi pekerja dadakan atau musiman lainnya.
Dan terakhir sering pula menjadi sebuah keluhan bahkan berujung kericuhan pada sebagian orang akibat dikenakan cost atau ongkos dadakan atas balada ini.
Sementara di lain pihak, kondisi ini dianggap sharing rezeki atau sedekah karena sama-sama bersifat mutualan. Masing-masing opini adalah serba benar, dan sisi lain juga serba salah.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!