Ketika sebuah narasi hanya menjadi sebuah basa-basi
Pelajaran pertama yang diterima oleh setiap orang saat masuk sekolah adalah pelajaran baca-tulis. Pelajaran mendasar yang menjadi titik awal untuk kemudian memahami setiap simbol tanda baca dan aksara yang ada sehingga akhirnya berkembang ke setiap jenjang pendidikan selanjutnya.Â
Membaca dan menulis sebagai bagian literasi dari sebuah proses edukasi yang wajib dilalui dan sejatinya adalah berkelanjutan sampai manusia mati.
Proses belajar-mengajar tanpa kegiatan membaca dan menulis adalah sesuatu yang mustahil. Banyak membaca dan kemudian mampu berbagi lewat tulisan. Sulit diterima dengan akal sehat bila aktivitas menulis tanpa modal membaca.Â
Membaca berguna bagi diri sendiri, dan menulis adalah sebuah kepedulian untuk berbagi. Pada titik inilah, seseorang akan bergeser dari seorang pembelajar menjadi seorang pengajar.
 Ya, menulis menurut saya adalah sebuah tingkat tertinggi dari kompetensi dan juga kepedulian untuk selalu berbagi.
Bagi para anak milenial, menulis di era ini adalah suatu kemudahan karena difasilitasi oleh kemajuan teknologi. Menulis atau tepatnya memposting status pada medsos tentang kegalauan hati lewat mengupdate status sudah menjadi tren bagi setiap orang.Â
Dengan begitu, banyak media sosial sebagai tempat mencurahkan ekspresi maupun inspirasi sebenarnya adalah sesuatu kegiatan positip dari kemajuan zaman. Setidaknya keberanian dalam berekspresi lewat sebuah postingan status.
Berangkat dari penjelasan di atas, pertanyaan berikutnya adalah mengapa perlu menulis dan apa sih sebenarnya tulisan itu?Â
Menurut saya ada 3 hal terkait kegiatan menulis dengan buah karya sebuah tulisan.
Tulisan adalah pesan atau informasiÂ
Lewat membaca ataupun berdasarkan pengalaman yang dilalui oleh setiap orang akan terkumpul database informasi untuk dibagikan kepada orang lain. Tidak berhenti pada dirinya sendiri namun berbagi informasi yang bermanfaat. Menulis adalah mentransfer ide/gagasan/pesan atau buah pemikiran diri sendiri atau dari orang lain.