Mohon tunggu...
JBS_surbakti
JBS_surbakti Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Menulis Adalah Sebuah Esensi Dan Level Tertinggi Dari Sebuah Kompetensi - Untuk Segala Sesuatu Ada Masanya, Untuk Apapun Di Bawah Langit Ada Waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mr. Profesor

27 Juni 2021   10:47 Diperbarui: 18 Juli 2022   19:01 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Profesor adalah pakar, benar gak ya?"

Kata profesor (bahasa Inggris : Professor) berasal dari bahasa Latin yang bermakna "seseorang yang dikenal oleh publik berprofesi sebagai pakar." 

Di Indonesia gelar profesor adalah jabatan fungsional, dan bukan gelar akademisi. Dari pengertian ini bisa dikatakan bahwa seorang profesor adalah gelar yang dilekatkan karena fungsi atau kepakaran. Bertendensi kepada seorang pencipta karya nyata. 

Contoh sebutan yang terkenal di dunia olahraga khususnya sepak bola adalah sebutan Profesor bagi mantan pelatih Arsenal, Arsene Wenger. Dijuluki profesor karena terkenal sebagai pelatih yang memiliki kemampuan dan terbukti untuk mengorbitkan pemain baru. 

Sejatinya sebutan profesor ini adalah orang yang paham baik di atas kertas maupun di luar kertas, berkreasi dan menghasilkan karya.

sumber : twitter
sumber : twitter
"Pernah gak mengenal seorang yang diakui ahli namun kemudian gagal dalam sebuah aksi?" Pertanyaan yang mungkin juga adalah pengalaman beberapa di antara kita yang begitu terkadang kesal atau kecewa ternyata seorang yang dikenal ahli atau expert di bidang tertentu namun justru terlihat konyol menghadapi sebuah permasalahan dan membuat keputusan salah.

Dari begitu banyak kata untuk mengatakan seseorang yang ahli atau paham secara keilmuan sering kita menyebutnya sebagai seorang profesor. Dulu saat kuliah sebuah pameo bagi seorang mahasiswa yang begitu serius belajar, beraktivitas di perpusatakaan dan berdiskusi dipanggil Pak Profesor. "Jangan diganggu Pak Profesor sedang belajar" begitu ledekan teman-teman kepada salah seorang teman yang terkenal dengan kutu buku dan jarang mau diajak kegiatan kemahasiswaan di luar perkuliahaan. 

Saya sendiri juga merasakan bahwa hal ini adalah salah apabila hanya karena seorang teman tidak mau diajak sesuai dengan keinginan sebagian besar teman-teman untuk berorganisasi dan kemudian mengejek dengan sebutan Pak Profesor tadi. 

Tidak ada alasan juga bagi setiap mahasiswa untuk kemudian dikucilkan hanya karena pilihan untuk diam belajar daripada lasak tak menentu dengan urusan kegiatan di organisasi kemahasiswaan seperti saya dulu. Setiap orang bebas memilih dan berhak dengan pilihannya.

Lalu yang kemudian menggelitik adalah gelar professor tadi begitu banyak menjadi sebuah guyonan. Apakah karena ternyata tidak selamanya mahasiswa yang menghabiskan begitu banyak waktu dengan buku bacaan dan kemudian belajar dengan sepenuh hati dan waktu sehingga menjadi paling cepat lulus namun justru menjadi yang paling lama mendapatkan rejeki bekerja sesuai dengan yang dicita-citakan? 

Pintar denga nilai yang sangat memuaskan justru menjadi hanya sekelas karyawan sedangkan mahasiswa yang urakan dan modal selembar buku tulis dan "bersandal jepit" mengikuti perkuliahan bernasib lebih mujur dengan posisi yang lebih "heboh". 

Atau di lain pihak saat menjadi pekerja kantoran ada karyawan yang begitu paham seluruh proses kerja berikut seluruh ketentuan dari A sampai Z ternyata begitu menduduki posisi tertentu dan menjadi seorang pengambil keputusan justru menjadi orang yang "menyalah." 

Fenomena ini tidak sedikit pula terangkat ke permukaan dengan beberapa kasus pejabat publik yang terkenal idealis dan ahli dalam bidangnya sewaktu di dunia akademisi namun justru berurusan dengan hukum. 

Sehingga banyak pendapat dari sebagian orang mengatakan bahwa tidak perlu pandai namun "pandai-pandailah." Bahasa pandai-pandailah yang tidak punya definisi kemudian mengalahkan sebuah gelar keilmuan atau kesarjanaan. Yang bagi saya hal ini bukanlah sebuah pembenaran atau formula yang benar adanya.

"Lalu mengapa hal ini bisa terjadi?." Menurut pengamatan saya, setidaknya ada 3 kondisi yang menjadi penyebabnya yakni kalah karena adanya kepentingan (materi dan jabatan), kalah karena adanya sebuah ancaman, dan terakhir kalah karena keinginan untuk membahagiakan semua orang.

Keahlian vs Kepentingan 

Begitu banyak pakar atau sebutan ahli dijumpai di dunia ini. Mungkin juga di perusahaan atau organisasi anda dan saya, sebutan ahli ini juga sering dilekatkan pada seseorang tertentu. 

Ahli atau pakar dilabelkan padanya karena menjadi maha guru yang mampu menjelaskan seluruh proses atau ketentuan maupun peraturan. Setidaknya pemahaman itu menjadi parameter untuk mengkategorikan seseorang itu ahli. Namun pertanyaan yang sering muncul adalah "Sebatas itukah?" Tentu saja tidak.

Pada banyak organisasi sering sekali faktor kemampuan administrasi (sebatas kertas mengertas) yang terlalu melekat dibuat kepada sebutan ahli, bukan pengalaman lapangan yang pernah dilalui. 

Dalam hal ini saya sangat setuju seharusnya yang dilihat adalah kemampuan teritorial atau pengalaman lapangan. Padahal tuntutan era saat ini adalah bagaimana seluruh rangkaian proses dan rentetan proses produksi termasuk di dalamnya pengambilan keputusan yang cepat, tepat dan memitgasi risiko adalah ahli yang sejati. 

Tidak peduli apapun organisasi maupun jenisnya. Kemampuan menghasilkan produk baik berupa barang maupun jasa yang bisa menjadi pemenuhan kebutuhan orang lain adalah menjadi fokus utama dan bukan hanya rangkaian proses tanpa ujung. Maaf apalagi cuman pengalaman cuap-cuap.

Pada banyak pengalaman seharusnya sebuah proses tidaklah selamanya menjadi penghambat untuk berkreasi. Ini adalah catatan serius dan penting namun sang profesor kertas akan begitu bodoh ketika terbentur atau punya kepentingan secara pribadi. 

Hidden agenda atau agenda terselubung menjadi lebih diutamakan dan biasanya vokal dan kritis ternyata melempem oleh karena ada agenda pribadi tersembunyi dengan latar belakang dan tujuan apapun. Namun yang pasti bukan untuk kepentingan organisasi atau orang banyak.

Di sisi lain yang kadang tidak masuk akal adalah penyakit mental masa lalu dan hipotesa yang pernah muncul adalah penyakit iri, dengki dan benci. Beberapa dari kita mungkin pernah mengalami bahwa konflik yang tidak sehat antara subyek di organisasi menyasar kepada urusan pribadi. 

Bisa saja sebuah keputusan bersama tidak didukung atau bahkan dihambat oleh salah seorang pakar atau pemutus kebijakan hanya karena tidak suka dengan seorang pemutus yang lain. 

Istilah sekarang adalah kepentingan politis tapi bagi saya sekali lagi ini adalah penyakit mental dan kejiwaan. Bahkan hanya karena hal ini kepentingan secara umum bagi khalayak ramai menjadi tergadai. Gajah yang berantam menyebabkan semut-semut dibawahnya pada lari kocar-kacir. 

Secara tidak sengaja pula bahkan sulit sekarang membedakan kemurnian atau keikhlasan dari sebuah kebijakan yang terlepas dari kepentingan politis dan yang bukan sama sekali. Sehingga menjadi jamak terjadi sedikit-sedikit menyalahkan orang lain karena dikucilkan dan mengambinghitamkan orang lain pula.

Keahlian adalah sebuah keagungan, anugerah, seharusnya pula bebas dari pada ego pribadi dan dipergunakan bagi kepentingan orang banyak.

 Keahlian vs Ancaman

Pada banyak kasus hukum yang terjadi sering menjadi isu utama mengapa seseorang yang begitu diakui keahliannya terbentur dengan masalah hukum karena adanya ancaman. Di ujung drama pemeriksaan istilah "bernyanyi" pun muncul dengan menyeret pihak lain. Tidak bisa mempertahankan keahliannya dalam bekerja karena adanya ancaman serius bagi kelangsungan hidup dan jiwanya.

Bila ditilik dari masa ke masa hal ini akan selalu terjadi. Sifatnya alamiah karena terkait nyawa dan hidup. Yang menjadi pekerjaan rumah adalah sampai kapan sebuah sistem hukum dan budaya ini bisa berubah dan dilindungi dengan baik oleh organisasi bahkan negara. 

Cara-cara barbar yang seiring dengan perjalanan waktu dan perjuangan bersama sebagai sebuah bangsa yang harusnya segera diakhiri dan tidak relevan bagi sebuah peradaban dan kehidupan lebih baik. Bila tidak keahlian dan orang-orang yang berlabel profesor akan segera meninggalkan organisasi tersebut.

"Karena bila seorang terpeleset maka tidak tertutup kemungkinan yang lain bisa terseret."

Sama seperti pengalaman dari beberapa anak bangsa yang sampai hari ini tidak kembali ke tanah air dan lebih memilih berkarya di negara lain karena masalah ini. 

Sedangkan mereka yang tidak siap akhirnya menggadaikan keahliannya akibat ancaman. Produk keputusan yang dihasilkan menjadi ngawur dan semua orang menjadi bertanya-tanya mengapa sekelas ahli mengambil kebijakan di luar akal sehat.

Keahlian vs Popularitas

Tidak bisa untuk berkata "Tidak" atau julukan "Yes Man" sering didengar bagi orang -orang yang selalu mengiyakan dan tidak bisa konsisten dengan konsekuensi setiap kebijakan atau keputusan yang pastinya akan selalu plus dan minus bagi organisasi dan pekerjanya. 

Menjadi popular dan mengorbankan keahlian yang dimiliki agar bisa menyenangkan semua pihak adalah suatu kekonyolan. Menunggu waktu dan akhirnya menjadi orang yang akan memikul seluruh risiko dan konsekuensi di kemudian hari.

Di hampir sejarah kehidupan seorang pemimpin elegan dan terkenal adalah mereka yang terkadang tidak populis namun menjadi penerobos.

Tidak lama berkuasa bahkan dibenci karena hanya ingin meletakkan fondasi yang baru dari sistem yang telah jauh melenceng. Ini adalah suatu yang tidak mudah dikerjakan. Sebuah pilihan antara tetap dikenal dengan pakar yang konsisten atau menjadi entertainer bagi semua pihak. Setiap orang bebas memilihnya.

Menjadi pakar dengan segudang penelitian ilmiah yang pastinya bisa dipertanggungjawabkan terhadap karya yang dihasilkan adalah sebuah pekerjaan mulia. Gelar Profesor di bidangnya adalah pekerjaan yang membutuhkan konsistensi, nilai luhur dan jauh dari sekedar mengejar riuh tepuk tangan dari semua orang. Setiap organisasi yang baik adalah menjaga para pakar ini dan merupakan aset yang tak ternilai. Menciptakan budaya organisasi yang baik dan tujuan yang berpihak pada kepentingan banyak akan membuat setiap pakar bukan hanya profesor di atas kertas tapi adalah para eksekutor handal dan elegan demi sebuah kesinambungan di masa depan. Salam

 Medan, 27 Juni 2021

Jesayas Budiman Surbakti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun