Mohon tunggu...
JBS_surbakti
JBS_surbakti Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Menulis Adalah Sebuah Esensi Dan Level Tertinggi Dari Sebuah Kompetensi - Untuk Segala Sesuatu Ada Masanya, Untuk Apapun Di Bawah Langit Ada Waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mereka yang Berbahagia

8 Juni 2021   13:25 Diperbarui: 8 Juni 2021   21:56 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bila masih bisa dibeli dengan uang, maka sesuatu itu belumlah berharga" -JBS-

Pagi tadi sedikit bingung untuk mencari inspirasi mau menulis apa hari ini. Coba membaca beberapa topik hangat di media online namun juga belum ketemu "feel" yang menginspirasi. Sampai akhirnya terlihat di handphone beberapa hasil jepretan saat sedang hot-hotnya menggeluti hobi memotret sana-sini sebagai juru foto keliling di kampung kala itu. 

Masih tergambar jelas kenangan atau histori foto-foto yang terpampang di Google Foto. Yaitu beberapa aktivitas anak-anak di seputaran kehidupan masyarakat pedesaan di Danau Toba. Tepatnya di Pulau Samosir dan seputaran kabupaten Simalungun yang merupakan bagian dari propinsi Sumatera Utara.

Memutuskan membuat edisi "hunting" foto dilakoni berempat pada suatu hari libur kejepit. Karena terlalu membosankan bila hanya menghabiskan waktu di rumah saja. 

Pelajaran berharga dari sisi lain tentang kehidupan masa anak-anak yang berinteraksi dengan alam berikut aktivitasnya menjadi oleh-oleh hunting edisi ini. Sesuatu pengalaman yang memberikan pelajaran bermakna untuk merenungkan arti sebuah kebahagiaan dan realita hidup yang tak selamanya adalah berdasarkan hitung-hitungan manusia.

Bermain di Pekarangan Rumah

Kehidupan anak-anak di desa (maaf lupa nama desanya) dengan deretan rumah panggung khas adat Batak masih berdiri di daerah tersebut. Beberapa berkumpul dan sebagian malu-malu melihat kedatangan kami yang lagak dan gaya seperti wartawan atau reporter senior ternama. 

Menenteng kamera seperti senjata membuat mereka sedikit takut atau mungkin wajah kriminal kami yang sangar menambah suasana menjadi sedikit mencekam. Namun hanya sebentar saja dengan mengajak berbicara tak lupa menawarkan beberapa bekal jajanan yang kami bawa sehingga kemudian suasana menjadi "cair".

Hari itu suasana lengang bukan karena semua pada libur, atau semua pada istirahat (tidur). Tetapi karena memasuki masa panen dan kebanyakan orang tua sedang berada di ladang untuk memanen padi. Menyisakan anak-anak perempuan kecil yang menunggui rumah sembari bermain di pekarangan, dan juga menjaga adik-adiknya yang masih balita serta "opung" atau nenek yang sudah lanjut di rumah. 

Tak ada rasa beban dari pancaran wajah mereka. Sesekali juga terlihat mereka tertawa kecil, bernyanyi dan bermain lompat karet. Terlihat pula sang kakak yang lebih besar membawa piring-piring kotor untuk dicuci di kamar mandi umum yang menyediakan air bersih di desa itu. 

Dan satu yang paling membedakan adalah tidak ada yang memegang gadget! Sesuatu yang tidak lazim bila anda atau saya yang biasa nge-mall bahkan di meja makan bersama keluarga yang terkadang saat berkumpul semua sibuk dengan gadget dan aktivitas medsos lainnya. Tubuh memang bersama tapi jiwa dan pikiran melayang entah kemana-mana.

Pekarangan atau beranda rumah masihlah tempat istimewa, menyatukan untuk berkumpul, membahas pelajaran atau PR sekolah, tak lupa juga tertawa, menjaga adik dan nenek serta masih bahagia. Sederhana dan tidak muluk-muluk untuk dipertontonkan kepada kami.

Karena ternyata di rumah kebahagiaan juga masih ada, dan semangat untuk betah di rumah juga tetap menggelora dan merupakan pilihan terbaik bagi anak-anak dan seluruh anggota keluarga.

Bermain di Ladang

Beranjak kemudian untuk melihat aktivitas perladangan yang masuk musim panen. Dari jauh sudah terlihat jelas dengan hamparan sawah yang telah dipanen dan padi yang siap untuk dijemur. Tumpukan jerami yang menggunung adalah sebuah tempat yang asyik untuk sekedar menyandarkan badan dan kemudian beristirahat. Empuk dan nyaman. 

Si anak yang dari tadi kelihatan mondar-mandir menggeserkan beberapa karung gabah padi yang kemudian dibentangkan untuk dijemur di tengah terik matahari di desa itu. Lelah dan saatnya membuka bekal makanan dan bersantap siang. 

Suasana dan aroma bakaran jerami semakin menggairahkan tubuh untuk mengatakan ini adalah pengalaman tak ternilai. Dan belum tentu semua orang pernah merasakan pengalaman yang sama seperti kami.

sumber : dokpri JBS
sumber : dokpri JBS
Di ladang yang memberikan kehidupan, tempat peluh tertumpah, berharap akan rejeki panen memberikan bekal untuk anak dan keluarga. Para orang tua dan juga tak ketinggalan anak-anak yang melihat dan sekedar membantu kecil-kecilan sebagai sebuah pengajaran betapa sesungguhnya sebuah upaya dan daya untuk menghasilkan dan mencari rejeki bukanlah perkara gampang. 

Perlu waktu hingga 4 bulanan dengan proses yang telah dilewati untuk kemudian juga dipanen. Dan tidak bisa dibiarkan hasil yang ada begitu saja. Kemudian menikmati jerih lelah meski hanya dengan makanan apa adanya. Tapi penuh dengan sukacita dan gelak tawa. Mantap jiwa dan benar-benar sebuah kehidupan yang legowo untuk selalu disyukuri dan diajalani dengan lapang dada.

Ladang adalah sumber rejeki dari Yang Maha Kuasa. Ladang juga adalah tempat bermain, kampus kehidupan kepada anak-anak, dan juga tempat yang nyaman untuk beristirahat.

Pukulan telak bagi sebagian kami yang dengan latar belakang profesi atau institusi yang berbeda. Apakah suasana batin di ladang juga dirasakan sama oleh para buruh kantoran seperti kami saat bekerja? Apakah "ladang" itu juga sejatinya adalah media Tuhan menunjukkan berkah rejeki kepada setiap pekerjanya? Tempat yang nyaman untuk "bekerja" dan "memanen" penuh interaksi dengan canda tawa pula? Apakah di "ladang" merupakan tempat terbaik untuk memanusiakan juga memberikan legacy dan pelajaran berharga dalam rangka persiapan regenerasi? Atau sekedar mengingatkan betapa diperlukan kesiapan mental yang baik untuk nantinya menyerahkan "ladang" ini kepada generasi selanjutnya? Setiap kami hanya terdiam dan menjawab dalam hati untuk direnungkan bersama.

Menari di Tengah Alam

Sebelum mengakhiri petualangan hunting yang telah memberikan pelajaran bertubi-tubi, kami berpapasan dengan beberapa anak yang baru pulang dari diskusi kelompok di salah satu rumah ibadah yang menyediakan kursus gratis. Mereka bersiap pulang dan sebagian memutuskan untuk bermain kejar-kejaran "sambar elang", menari-nari di tengah lapangan dan yang lain memutuskan mandi ke sungai atau danau.

Alam yang menyediakan udara yang sejuk, pepohonan yang berdiri rindang dan air yang bening untuk melepaskan penat.

Semua gratis dan bebas digunakan. Tersedia di alam yang merupakan ciptaan dan bagaikan lukisan terindah dari tangan-tangan ajaib. Tetap bahagia dan penuh kehangatan, seakan tiada pernah tahu apakah bekal pendidikan diperoleh sekarang akan memberikan masa depan yang lebih baik. "Belajar dengan keras aja, Bang" dengan logat yang khas saat kami bertanya apakah cita-cita mereka nanti dan cara menggapainya.

sumber : dokpri JBS
sumber : dokpri JBS
Benar dan sepakat, karena tak selamanya juga upaya yang mumpuni akan selalu berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh. 

Keberuntungan juga sejatinya adalah milik dari tangan-tangan yang tak kentara yang terkadang jauh dari apa yang manusia pikirkan. Coba saja lihat begitu banyak orang hebat terlahir dari daerah ini, dan menjadi orang-orang yang berpengaruh. Berasal dari desa dengan segala keterbatasan namun berhasil dengan modal sebuah keikhlasan untuk belajar, berpikir, dan bekerja lebih baik. 

Semoga adik-adik ini juga mendapatkan keberuntungan yang sama di masa depan sebagaimana kebahagiaan juga dapat dirasakan dengan cara sederhana dan mensyukuri apa yang disediakan oleh Pencipta. Semoga

Medan, 8 Juni 2021

-Jesayas Budiman Surbakti-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun