Mohon tunggu...
JBS_surbakti
JBS_surbakti Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Menulis Adalah Sebuah Esensi Dan Level Tertinggi Dari Sebuah Kompetensi - Untuk Segala Sesuatu Ada Masanya, Untuk Apapun Di Bawah Langit Ada Waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Konflik "Yes", Stres "No"

24 Mei 2021   17:53 Diperbarui: 28 Mei 2021   15:37 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya siap diadu sama siapa saja" -"Mengapa harus selalu Saya?" -"Pekerjaan ini sungguh membosankan" 

Membahas tentang dunia pekerjaan dan lingkungannya tak kan pernah habis-habisnya. Dari mulai tersedianya struktur organisasi yang baik sampai dengan mengurus manusia yang ada didalamnya adalah sebuah proses manajemen yang membutuhkan ilmu pengetahuan dan juga seni tersendiri. 

Layaknya perkembangan kebutuhan manusia yang sangat dinamis dari waktu ke waktu sehingga dibutuhkan pemahaman yang memadai pula sebagaimana di era disrupsi sekarang ini untuk difokuskan kepada produktivitas atau pemberdayaan dari talenta yang dimiliki oleh setiap karyawan.

Manusia yang adalah unik dan auntentik sesuai dengan ciri khas masing-masing. Tercipta satu diantara milyaran dan tidak pernah sama baik secara fisik maupun sisi psikologis. Berbeda satu sama lain meski terlahir dari suatu pasangan yang sama, bahkan kembar siam sekalipun. 

Namun dari beberapa literatur terkait tentang ilmu psikologi perusahaan khususnya membahas tentang manusia dengan lingkungan pekerjaan ternyata karakter manusia tidak pernah luput dari sebuah konflik dalam pengertian sempit terciptanya persaingan yang sehat. 

Hal ini diperkuat oleh ilmuwan Charles Darwin yang mengungkapkan bahwa secara naluriah ternyata kemampuan manusia untuk beradaptasi adalah merupakan sebuah warisan tertua terhadap kodrat manusia. Yang membuat manusia hingga hari ini adalah mahluk hidup yang masih bisa bertahan dengan perkembangan dan perubahan zaman. Adaptif dan suka berkonflik menjadi modal manusia tetap mampu menciptakan peradaban.

Konflik Diciptakan

Dari beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perkembangan manusia dalam hal ini dipersempit pada dunia kerja ternyata sangat relevan untuk menciptakan konflik sebagai umpan balik agar perusahaan tetap sehat dan kompetitif. 

Coba anda bertanya pada diri apakah karakter untuk menguasai orang lain yang rentan menyebabkan pertengkaran atau konflik tidak bersemayam dalam diri? Selanjutnya apakah keinginan anda sebagai orang tua tidak menginkan anak anda menjadi juara kelas di sekolah? Lantas apakah tidak pernah berkeinginan untuk yang pertama sekali memiliki mobil baru diantara teman kerja atau lingkungan tempat tinggal? 

Begitu banyak sekali pertanyaan yang membuat hidup dengan ingin menjadi unggul atau melebihi orang lain menjadi salah satu mengapa hingga kini manusia bisa bertahan hidup di planet ini. 

Bahkan peperangan secara ekstrim adalah sebuah konflik yang telah jauh dari batas kemanusiaan yang juga hari ini adalah sebuah karakter naluriah manusia yang adaptif dan unggul untuk terbiasa dalam sebuah perselisihan.

Konflik yang secara sederhana dikenal dengan istilah ribut, cekcok, atau berkelahi. Dimana intinya adalah bagaimana melemahkan yang lain dan di sisi berikutnya menjadi lebih kuat. Konflik menghasilkan kemenangan bagi kelompok yang satu dan yang lain menderita kekalahan. 

Ada superior dan inferior. Ternyata dampak konflik diantara menang dan kalah adalah sebuah yang menarik untuk tetap memicu seorang pribadi juga organisasi untuk bisa berkembang, berinovasi dan tahan banting.

Pernahkah anda pada satu waktu dalam pekerjaan sengaja masuk dalam sebuah konflik yang memang telah dirancang oleh pimpinan saudara? Pernahkah pada sebuah rapat di bagian anda tak jarang seorang pimpinan menyerang anda dengan mencoba membandingkan anda dengan rekan kerja anda yang pencapaian targetnya melebihi pencapaian anda? 

Sadar atau tidak seringkali sebagai seorang pemimpin kita menggunakan konflik atau perang kecil hanya untuk mencoba mencari tahu apakah masih ada semangat kerja di kantor dengan cara "meledakkan" bom persaingan antara setiap karyawan. 

Pada banyak pengalaman hal ini adalah sebuah trik dan cara efektif seolah-olah membuat dan merekayasa hubungan "toxic" antara pekerja yang telah lama berjalan dengan zona yang sangat nyaman dan bahkan sepertinya tertidur.

Tidak ada acara lain adalah dengan membangunkan kembali setiap orang dengan cara menciptakan konflik atau gaduh yang terkontrol untuk bisa kemudian menimbulkan persaingan yang sehat. 

Persaingan yang sehat dan terkontrol ini akan menghasilkan kembali kohesivitas (tingkat keterikatan) atau rasa solidaritas terhadap kepentingan yang sama, ide dan gagasan untuk menciptakan aturan main yang lebih baik, menciptakan harapan dan isu yang belum pernah muncul dan menciptakan mental pekerja yang kompetitif. Dan bila ini terjadi maka sejatinya konflik masih sangat diperlukan dan karenanya tetap diciptakan.

Stres Kerja : Overload atau Underload

Stres kerja atau juga tekanan pekerjaan yang mengharuskan karyawan berusaha untuk menyelesaikan seluruh tugas dan tanggungjawab yang dipikul adalah alamiah terjadi dan yang tak bisa dihindari. Mau dimanapun kondisi tekanan akan dirasakan oleh setiap pekerja yang masih terkategori "buruh" kantoran. 

Dan tekanan pekerjaan ini dampaknya hampir bisa disimpulkan akan berdampak buruk terhadap laju roda pertumbuhan sebuah perusahaan. Dan bila tidak ditangani maka pertanyaan dan pernyataan yang sering muncul adalah seperti diawal artikel ini "Mengapa harus selalu Saya?" atau "Ini sungguh membosankan".

Manusia memiliki batas! Dan batas ini adalah suatu hal yang unik, bila tekanan pekerjaan dengan menumpukan pekerjaan kepada seorang yang unggul bahkan maha mengetahui akan membuat konflik dan berujung terhadap stres yang mematikan. 

Namun dari beberapa pengalaman yang pernah dilewati ternyata kebiasaan sebuah organisasi berikut pemimpin yang "jahat" (mengeksploitasi bukan memberdayakan) di lingkungan pekerjaan sering mengandalkan dan menunjuk kambing hitam kepada satu orang karyawan yang itu-itu saja.

Mungkin kita pernah mengalaminya, tanpa ada yang pernah menggantikan atau terkadang karena ulah karyawan yang maha unggul itu sendiri yang tidak mau berkorban dengan menurunkan keterampilan dan kemampuan kepada yang lain dengan berbagai alasan diantaranya agar selalu menjadi pemain kunci terjebak pada situasi "overload" pekerjaan. 

Alhasil menyebabkan stres yang justru menjadi mati karir karena mentok di bagian itu tanpa pernah promosi atau mutasi ke bagian lain. Pilihan terhadap kebanggaan menjadi pemain kunci atau memberdayakan yang lain dengan melakukan in house training agar beban pekerjaan bisa dibagikan kepada pekerja baru lainnya adalah pilihan apakah bekerja secara cerdas atau menyebabkan kesehatan mental dan fisik menjadi terganggu.

Berbeda dengan kondisi yang lain adalah ketika seorang karyawan yang memiliki segalanya baik secara titel kesarjanaan bahkan keterampilan teknis yang terbaik ditempatkan jauh dari parameter yang dimilikinya dengan dihadapkan pada pekerjaan yang monoton maka ini pun menciptakan stres berkepanjangan. 

Tak jarang merasa tidak dihargai atau tidak diberikan kesempatan yang mengasah kemampuannya menjadi naik level meski antara pendapatan atau gaji yang dia terima terbilang cukup bahkan lebih. 

Bagaimana tidak beban pekerjaan yang diberikan padanya dengan deadline seminggu bisa diselesaikan hanya satu hari, atau sehari menjadi 2 jam dan demikian selanjutnya. Ini membuat tipikal karyawan seperti ini tak jarang akan pergi meninggalkan perusahaan tempat bekerja daripada membuat hubungan yang semakin buruk dengan sesama pekerja juga organisasi tersebut. 

Rasa tidak nyaman dan suasana pekerjaan yang membosankan sungguh menjadi tidak pilihan apalagi bagi para pekerja milenial seperti sekarang ini. Seyogyanya komunikasi antara pemimpin dan sang karyawan adalah dengan melakukan self assessment yang transparan.

Lagi-lagi berbagai kondisi lingkungan pekerjaan dengan dinamikanya adalah sebuah siklus organisasi yang mau tidak mau direspon dengan baik oleh para pemimpin organisasi dan juga umpan balik para pekerjanya. 

Tidak ada titik berhenti yang menjadi acuan apakah hanya puas pada sebuah kondisi terkini. Perubahan dengan begitu cepatnya akan memaksa untuk tetap adaptif dengan harapan bisa berkembang dan berkelanjutan sesuai visi dan misi perusahaan. Semoga berkenan.

Medan, 24 Mei 2021

-Jesayas Budiman Surbakti-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun