Kondisi sosial bertetangga dengan pola-pola “saling mengintip” dengan istilah rumput tetangga lebih hijau hampir begitu menghiasi pengalaman dari beberapa teman. Tanpa disadari relasi dan koneksi berikut respon yang salah terhadap perilaku orang lain. Bahkan senyum, cara berpakaian, dan terutama gaya hidup tetangga dengan seluruh keunikannya yang membuat sebagian kita uring-uringan.
Senyum dibilang genit, tanpa tegur sapa dibilang sombong, dan lain sebagainya. Tak jarang hal ini semakin mengesahkan istilah "siapa lu, siapa guwe". Urus aja diri masing-masing dan masuk dalam eksklusifitas bertetangga.
Punya imajinasi dan fantasi tersendiri apalagi kehidupan sosial yang semakin menuju ketidakwarasan ditandai tingkat krimininalitas tinggi menyebabkan fobia terhadap orang asing, mobilisasi dan migrasi yang cepat, akulturasi budaya yang tersendat, tingkat tekanan tinggi di pekerjaan dan banyak faktor lainnya yang menyebabkan hubungan pasang surut dalam sebuah interaksi sosial.
Hal ini semakin diperparah dengan timbulnya beberapa penyakit mental psikologis yang hari-hari ini menyerang kaum urban kebanyakan, seperti tingkat kecemasan yang tinggi, manajemen kemarahan, skizofrenia dan paranoia.
Namun lagi-lagi bertetangga adalah sebuah interaksi sosial.
Sebuah interaksi atau relasi yang kecenderungannya akan lebih rentan terjadi miskomunikasi dengan orang-orang yang secara jarak maupun emosional yang dekat dengan kita. Karena lebih mudah dan dekat berinteraksi karena bisa langsung mendengarkan, melihat, berbicara sebagaimana aktivitas manusia maka diperlukan sebuah kedewasaan dalam bertetangga. Sebuah hal yang lumrah dan lazim.
Kesiapan mental bahkan diperlukan karena fenomena penyakit psikologis seperti di atas menyebabkan manusia terjerat dalam sebuah dunia kompetisi atau perlombaan status sosial. Masih berkutat siapa yang merasa “wah” yaitu lebih hebat dari sisi kekayaan, jabatan, dan kemewahan rumah.
Ini yang membuat bertetangga menjadi semakin jauh dari sesungguhnya sebagai sebuah interaksi sosial yang sehat, hormat-menghormati dan saling bergotong royong yang dulu adalah sejatinya menggambarkan ciri khas masyarakat Indonesia.
Pengalaman Bertetangga di Zaman Old
Istilah tetangga adalah sebagai keluarga terdekat, jiran, atau orang dekat. Para perantau dari desa ke perkotaan dan kemudian bertetangga tanpa melihat suku, agama atau ras adalah sebagai teman atau sahabat bahkan saudara.