Mohon tunggu...
JBS_surbakti
JBS_surbakti Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Menulis Adalah Sebuah Esensi Dan Level Tertinggi Dari Sebuah Kompetensi - Untuk Segala Sesuatu Ada Masanya, Untuk Apapun Di Bawah Langit Ada Waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

No Tip!

29 April 2021   12:13 Diperbarui: 2 Mei 2021   17:39 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membicarakan dunia kerja dan karir di era disrupsi saat ini menjadi sebuah trending topic dan penuh lika-liku. Era disrupsi sebagai era munculnya inovasi dan perubahan besar-besaran yang secara fundamental yang mengubah semua sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara baru. Suatu era yang sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital dan telekomunikasi yang penuh dengan serba serbi dengan kebiasaan baru di tengah-tengah masa pandemi yang belum berakhir hingga kini.

Pertanyaan yang sering muncul apakah kebiasaan lama belum pudar atau masih juga merajai sebuah organisasi? Lantas teladan yang manakah yang masih relevan atau kemudian telah usang? Mungkin jawaban dari masing-masing kita akan berbeda menanggapinya sesuai dengan pengalaman yang dihadapi di dunia kerja nyata.

sumber: gentlemansbox.com
sumber: gentlemansbox.com

No Threat“Saya bukanlah ancaman kepada (jabatan) atasan saya, dan Saya juga tidak akan mengancam kamu (bawahan saya) untuk mencapai tujuan bersama”

Meski era telah berganti ternyata fakta berbicara dalam organisasi atau perusahaan terkait isu pemberdayaan karyawan atau modal manusia masihlah menjadi isu serius yang wajib diberdayakan dan dikelola dengan baik. Memitigasi risiko manusia dengan menciptakan iklim atau budaya perusahaan yang sehat dan sesuai dengan perkembangan era terkini menjadi hal yang mutlak. Namun manusia dengan motivasi dan nilai-nilai yang berbeda satu sama lain menyebabkan respon terhadap perubahan era ini akan berbeda satu dengan yang lain.

Pernahkan anda pada dunia kerja nyata menghadapi situasi bahwa posisi dan karir anda menjadi sebuah ancaman terhadap atasan atau setidaknya dengan rekan kerja di level yang sama? Saat bersamaan pula untuk mencapai tujuan maka perlukah mengancam anggota tim?

Sebagaimana organisasi yang hidup dan diharapkan akan terus berkembang dengan baik akan memerlukan orang-orang yang tepat dan di posisi yang tepat pula. Suatu jargon “The right man on the right place” ternyata hingga kini adalah sebuah isu yang menjadi perdebatan. Masing-masing akan memiliki argumentasi dan menuntut keadilan yang sama menurut logikanya masing-masing pula apalagi terkait dengan promosi atau “naik pangkat”.

Dan bila berbicara posisi atau jabatan adalah terkait dengan pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri atau juga sebuah magnet tersendiri kala seseorang berkecimpung sebagai seorang pekerja pada umumnya. Masalah yang timbul adalah ternyata semua orang tidak siap berkompetisi dengan sehat dan jabatan yang menjadi tujuan akhir tanpa berupaya memutahirkan kompetensi diri dan juga membangun komunikasi yang baik. Pada praktiknya ternyata masih banyak seorang pemimpin merasa tersaingi dengan bawahannya dan menganggap serius bawahannya adalah ancaman untuk menggeser posisi atau jabatan yang didudukinya. Terlepas adanya sebuah mekanisme dari sebuah proses mutasi dan promosi pada sebuah perusahaan dengan standar tertentu.

Namun hingga kini fakta berbicara terkadang terjadinya konflik adalah sebuah pandangan yang keliru tentang sebuah persaingan yang sehat. Bahwa menganggap keberadaan orang lain yang memang memiliki kemampuan yang semakin meningkat buat perusahaan adalah menjadi ancaman dan satu sisi lain untuk mencapai tujuan atau memberdayakan tim seorang pemimpin juga lewat mengancam pula.

Sejatinya di masa yang terus berubah dimana tujuan akhir adalah tujuan bersama maka motivasi dengan hanya mengejar jabatan atau naik pangkat adalah sebuah hal yang keliru adanya. Bahkan ada banyak manager di sebuah organisasi tidak menganggap bahwa posisi atau jabatan itu adalah sebuah tanggung jawab dan risiko. Semakin naik level sewajibnya pula risiko berikut tanggung jawab yang semakin besar pula. Jabatan bukan hanya titel namun dipandang sebagai sebuah pertanggung jawaban moral kepada organisasi dan seluruh Tim. Siapkan diri terus untuk tantangan berikutnya dengan juga mempersiapkan mental dan kompetensi, komunikasi dan relasi dengan prinsip profesionalisme. Bukan sebuah retorika karena pada akhirnya juga akan dipertanggung jawabkan lahir dan batin.

Setali tiga uang, seorang pemimpin di level manapun seyogyanya pula bukan mengembangkan iklim budaya tirani atau otoriter. Ini bukan zaman kolonialisme dengan menggunakan alat “jabatan” untuk memperdaya dan mengintimidasi apalagi mengeksplorasi tanpa apresiasi terhadap seluruh anggota tim (bawahan) dengan sebuah kata “mengancam”.

“Bila kamu tidak dapat target penjualan bulan ini sebesar 10 Milyar, kamu akan saya pindahkan ke luar kota”, perintah salah seorang manager kepada bawahannya tanpa menjelaskan strategi yang tepat untuk meraihnya. Dan yang lain berkata, “Kamu jangan membantah, turuti aja apa perintah saya” sebuah perintah kepada seorang sekretaris perusahaan yang wajib ikut ke luar kota yang bukan urusan kantor atau bisnis. Dan banyak lain pengalaman yang isinya ancaman-ancaman kepada bawahan dengan menggunakan kekuasaan jabatan untuk memperbudak orang lain.

Merespon orang yang kemudian semakin di depan kita dengan kata “ancaman”, dan juga “mengancam” anggota adalah praktik kerja yang mungkin diantara kita pernah mengalaminya. Derajat atau modus yang tentunya berbeda. Tanggapan dan mentalitas berikut motivasi akhir dari setiap pekerja akan akhirnya menjadi penentu apakah kita bagian dari mereka-mereka diatas, atau sebaliknya di era disrupsi ini bukan menjadi sebuah kebiasaan apalagi budaya. Sesuatu hal yang sangat memalukan di kala tuntutan kemajuan zaman dan dinamika organisasi yang masif dan cepat.

No Interest“Tak ada kepentingan lain, selain mencapai tujuan organisasi”

Adanya konflik kepentingan berikut memprioritaskan tugas utama sebagai seseorang yang makan gaji atau pekerja di sebuah perusahaan, menuntut kita untuk fokus terhadap ruang lingkup pekerjaan dan kewenangan. Konflik kepentingan di beberapa perusahaan banyak terjadi dan membuat diantaranya jatuh pada upaya sebagai seorang “penjilat” atau “mencari muka”. Tanpa menguraikan panjang lebar saya berkeyakinan masing-masing pembaca paham dan pernah mengalami langsung berhadapan dengan tipikal seperti mereka.

sumber : edexec.co.uk
sumber : edexec.co.uk
Tak ada satu hal pun hari-hari ini tanpa adanya kepentingan. Ya saya juga sepakat, namun bila diartikan untuk kepentingan kantong sendiri atau pribadi dengan mengorbankan kepentingan orang banyak adalah sebuah hal konyol meski akhirnya menjadi korban. Kehilangan jabatan atau posisi atau bahkan masuk dalam sebuah konspirasi kotor dari para penjilat dan para pencari muka adalah sebuah pertaruhan hidup. 

Lagi-lagi hidup adalah pilihan. Dan setiap pilihan memiliki konsekuensi logis.

Dalam praktiknya terkadang konflik kepentingan yang tujuan akhirnya adalah untuk pemuasan diri pribadi terbungkus dengan sebuah pola pengambilan keputusan yang “samar”. Samar dalam artian demi kepentingan organisasi namun bukanlah demikian adanya. Pola-pola seperti ini oleh para penegak hukum khususnya di organisasi atau perusahaan bukanlah hal yang baru. Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dengan pola baru yang semakin canggih dan terencana menjadi sebuah pembuktian apakah akhirnya kepentingan dan keputusan yang dibuat demi orang banyak atau hanya sekedar basa-basi. Sama seperti menggunakan kata “mengancam” diatas maka pola-pola konflik kepentingan akan semakin mengarahkan pencapaian kepentingan pribadi daripada kepentingan organisasi. 

Sederhananya saja terjadinya konflik kepentingan adalah di kala mekanisme atau Standar Prosedur Operasi tidak berjalan dengan semestinya maka indikasi terhadap keputusan yang diambil mengarah kepada kepentingan pribadi atau kelompok semakin menjadi nyata dan sinyal yang kuat.

Lantas apakah semua orang dituntut suci? Seyogyanya iya, namun karakter sekuat apapun akan pudar dan akan kelelahan bila akhirnya berjalan sendirian di tengah-tengah keramaian. Upaya dengan memfasilitasi setiap pekerja dan juga kompensasi yang mencukupi berikut “duit” extra dengan insentip sebagai bonus bekerja lebih dari target adalah sesuatu yang hari-hari ini diharapkan untuk mencegah kerja untuk kepentingan pribadi. Meski tidak akan menjadi sebuah jaminan. Tergantung kembali motivasi dan sikap mental sejak awal masuk bekerja.

No Popularity“Maaf Saya bukan pemuas semua orang”

Sadar atau tidak keberadaan seorang pemimpin yang baik, cekatan, lugas dan tegas di sebuah organisasi yang bebas dari kepentingan adalah menjadi sosok yang tidak disukai. Bahkan dihindari dan dibenci. Terlalu banyak persepsi bahwa orang-orang bekerja terlalu mengejar misi atau tujuan jangka pendek. Demi apa? Uang dan uang, tok!. Ya siapa yang tidak butuh uang apalagi di kondisi pandemi saat ini. Kondisi pandemi dengan isu kesejahteraan yang menjadi tuntutan utama di tengah ancaman “mati mendadak” sebuah organisasi.

Demi memuaskan semua orang dan kemudian mengorbankan perusahaan untuk “sustain” di tengah pandemi seakan-akan menjadi omong kosong bagi orang-orang di dalamnya. Pilihan untuk tetap populer dan ramah bagi setiap orang yang kemudian tidak berpikir panjang demi keberlangsungan perusahaan adalah sebuah upaya memasukkan perusahaan ke lembah kelam. Hancur dan lenyap.

dokpri JBS
dokpri JBS
Diperlukan interaksi dan komunikasi yang efektif untuk kemudian bisa menjelaskan kepada semua pihak dalam organisasi apa sesungguhnya terjadi. Sehingga keputusan berikut kebijakan yang tidak populer khususnya terkait kesejahteraan karyawan dengan pertimbangan demi keberlangsungan jangka panjang. Adanya serikat pekerja sebagai organisasi formal yang menjadi penghubung visi dan misi Top Management mungkin menjadi salah satu upaya terhindar dari kata tidak populer.

Tidak populer bukan pula tidak punya hati. Kepopuleran tidak disangkutkan di ujung tiang yang namanya ingin memuaskan semua pihak. Tangan yang berdarah-darah demi tujuan baik membersihkan manusia yang tidak siap secara mental dan kompetensi yang diinginkan, adalah harga yang harus dibayar seorang pemimpin di era ini. Buat apa memelihara generasi yang tidak siap persaingan. Dimana kondisi hari ini yang penuh ketidakpastian dan ancaman “blackout” terhadap seluruh organisasi yang berjuang tetap eksis dan tetap berupaya meningkatkan kesejahteraan pekerjanya. Prestasi setiap pekerja adalah menjadi tolak ukur apakah anda akan disenangi atau tidak, bukan hanya demi sebuah eksebisi semata saja. 

Salam NO TIP!

Medan, 29 April 2021

-Jesayas Budiman Surbakti-

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun