“High Risk, High Return – Low Risk, Low Return - No Risk, No Return”
Sebagai seorang upahan di dunia perbankan istilah diatas sangat familiar dan menjadi motto bagi para Bankir. Bank yang seutuhnya adalah dipandang sebagai bisnis risiko. Sejatinya pula para Bankir adalah mereka yang cakap mengelola risiko. Dalam praktiknya sebuah Bank setidaknya mengelola 8 risiko (risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko kepatuhan dan risiko stratejik) yang dimitgasi untuk tetap bertahan dari kompetisi penuh dalam bisnis keuangan saat ini.
Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu
Dari dahulu hingga sekarang secara sederhana bisnis bank adalah tetap dari sisi funding (pendanaan) dan lending (pembiayaan/penyaluran kredit). Orang-orang yang cakap dan terpercaya dipekerjakan untuk bisa mendapatkan dana pihak ketiga baik secara perseorangan maupun kelembagaan, dan sebaliknya kemudian mampu menyalurkannya kembali kepada masyarakat ataupun lembaga dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Pendanaan yang terkumpul dan tercatat sebagai hutang dan menjadi beban bunga yang ditanggung oleh bank sehingga diharapkan kembali menjadi keuntungan dengan pendapatan bunga atas kredit yang disalurkan.
Bisnis model yang sederhana yaitu bagaimana mendapatkan pendapatan bunga kredit yang terakumulasi wajib lebih besar daripada beban bunga dana yang dibayarkan. Dan kalaupun di masa pandemi bahkan jauh sebelumnya bisnis bank yang semakin dituntut untuk bervariasi dalam diferensiasi produk dan turunannya khususnya dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Yang kesemua itu akan tetap menuntut bank memenuhi permodalannya sesuai dengan peraturan dari Otoritas Jasa Keuangan. Sehingga apapun yang dilakukan dalam pengembangan dan upaya tetap survive.
Setiap insan perbankan akan selalu melabelkan dirinya sebagai pengambil risiko, orang yang suka atau tidak suka dalam setiap tindakannya mampu mengukur risiko yang timbul. Setiap risiko adalah tergantung selera, apakah mengambil risiko tinggi atau rendah. Rumusannya adalah risiko yang tinggi juga akan diharapkan menerima imbal hasil yang tinggi, dan sebaliknya risiko yang rendah akan hanya mendapatkan imbal hasil yang rendah pula. Sesederhana itu kah? Ya, namun dalam pelaksanaannya adalah tergantung mengukur mengapa terbuka risiko yang tinggi ataupun rendah.
Pada banyak kesempatan beberapa ahli memaparkan bahwa klasifikasi terhadap tingkat risiko adalah seberapa besar pengalaman atau rekam jejak dari suatu bank berikut perangkat, sumber daya manusia, budaya perusahaan dan tujuan bank sesuai klasifikasi bank berdasarkan buku permodalan. Karena kembali di formula awal bahwa ujung atau muara dari kegagalan sebuah bisnis perbankan dalam memitigasi risiko adalah pada tergerusnya modal dan tingkat kesehatan bank.
Delapan risiko perbankan acapkali dari sisi pengalaman saya fokus kepada Bank dalam mengelola risiko operasional. Sebagai risiko tertua yang acapkali pula menyebabkan bank mengalami kerugian baik dalam aktivitas pendanaan maupun dalam upaya penyaluran kredit. Risiko operasional yang menyangkut ketersediaannya proses internal (SOP), manusia, sistem, faktor eksternal dan legal. Khusus yang hingga hari ini di era pandemi dengan tantangan era digitalisasi yang selalu disoroti sebagai faktor kunci keberhasilan atau ketahanan bank dalam melewati krisis adalah tetap bagaimana bank mengelola risiko oparionalnya dengan baik. Bukan mengabaikan risiko lainnya namun hampir semua risiko yang lain muncul adalah dikarenakan kegagalan bank mengidentifikasi, mengukur dan mengawasi sumber daya manusia yang dimiliki.
Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan sebagai fungsi manajemen khususnya terhadap sumber daya manusia yang telah berganti menjadi modal manusia bank adalah menjadi syarat mutlak ketahanan bisnis bank.
Catatan buruk dengan irisan model bisnis bank yang masih merupakan bisnis tradisional menghimpun dana dan menyalurkan kredit sering terjebak bahwa modal manusia yang pendekatannya pada kekerabatan atau hubungan emosional belaka. Jargon KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) tetap isu yang hangat terhadap terjadinya fraud atau kecurangan bisnis bank. Tak jarang bila berkaca dari 2 dekade terakhir bahkan sampai sekarang para pekerja atau karyawan bank itu identik dengan mereka-mereka yang cakap dan istimewa karena memiliki hubungan kedekatan dengan nasabahnya baik kreditur maupun debitur. Meskipun pada sisi yang lain hal ini adalah juga kekuatan dan modal bagi seseorang karyawan dengan target yang selalu dibebani oleh perusahaan terhadap angka closing target baik bagi seorang Account Officer dana maupun kredit.
Sebut saja beberapa pembobolan bank yang terjadi oleh karyawannya sendiri seperti kasus Malinda Dee merupakan seorang mantan Senior Relationship Manager melakukan pembobolan dana nasabah private bank. Yang bila dirunut adalah kegagalan bank terhadap risiko operasional dari sisi karakter manusia, kesempatan dan kewenangan berikut kepercayaan yang berlebihan, penyalah gunaan sistem prosedur operasional, hingga faktor lainnya. Bahkan beberapa kasus hampir semua pelaku adalah para staff atau karyawan terpercaya dan memiliki hubungan emosional yang kadang jauh dari kata rasional. Diyakini pula bahwa dari kasus krisis kredit moneter berikut kredit macet yang berjibun saat itu adalah dari para bankir yang secara hubungan emosional sangat dekat dengan para debitur nakal dan orang-orang tertentu. Terpercaya, pembiaran dan irasional kemudian bank merugi.
Akankah digitalisasi dapat menggantikan manusia dengan segala plus minusnya? Saya telah mengulas sebelumnya pada artikel “Digitalisasi Perbankan : "Kegagalan Manusia dan atau Keikhlasan Robot?" Sebuah essai apakah sesungguhnya terjadi diantara kegagalan-kegagalan humanis berikut peluang yang masih terbuka bagi bank dalam mengelola risiko operasionalnya yaitu insan perbankan itu sendiri. Apakah kemudian dengan adanya mesin-mesin pengganti yang memitigasi risiko akan memuluskan pencapaian terhadap tujuan bank? Semuanya akan juga tergantung dari pendekatan rasional tanpa pula menghilangkan atau “zero risk” terhadap sebuah pendekatan secara emosional.
Bagaimana selanjutnya? Merencanakan kurikulum pelatihan dan membekali para karyawan “titipan” dengan segudang aturan main dan menambah pengetahuan terkait risiko bank adalah sesuatu yang melelahkan namun satu faktor memitigasi risiko operasional. Atau pilihan dengan merekrut manusia super “pintar” secara kompetensi dan kemudian terbuka kehilangan mereka-mereka yang mewakili para pihak-pihak berkepentingan dan terkait adalah juga menjadi risiko baru bagi bank. Semua selera risiko adalah menjadi faktor penting dari para pejabat dan pemilik bank.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah tidak didapati seseorang yang memiliki relasi dan terkoneksi dengan bekal “kedekatan” namun juga memiliki kompetensi yang memadai? Silahkan para pengurus dan pejabat bank yang menjawabnya masing-masing. Toh, pilihan reward atau punishment terhadap kegagalan risiko manusia ini akan menjadi kunci keberhasilan atau juga bencana yang akan terus menjadi momok bagi dunia perbankan. Salam Profesionalisme
Medan, 28 April 2021
--JBS--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H