Mohon tunggu...
JBS_surbakti
JBS_surbakti Mohon Tunggu... Akuntan - Penulis Ecek-Ecek dan Penikmat Hidup

Menulis Adalah Sebuah Esensi Dan Level Tertinggi Dari Sebuah Kompetensi - Untuk Segala Sesuatu Ada Masanya, Untuk Apapun Di Bawah Langit Ada Waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keikhlasan Tiga Srikandi

6 April 2021   22:15 Diperbarui: 6 April 2021   22:55 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Tiga Wanita Pencuci Botol, Penjual Jagung Bakar, dan Penjual Manisan 

Pagi-pagi benar Ani telah bangun dengan lampu temploknya di tengah kegelapan subuh akibat listrik yang padam semalaman. Bergegas ke sumur untuk merendam baju cuciannya. Sebelumnya dia juga sudah memasak nasi dengan periuk hitamnya serta telah menunggu pula ikan asin yang hendak dia goreng buat sarapan keluarga. 

Sebagai seorang kakak tertua dari tujuh bersaudara, Ani wajib meninggalkan tempat tidurnya yang berbagi tiga di kasur yang sama dengan adik-adik perempuannya Rika, dan Lina. Demikianlah ketiga anak dara ini bersama dengan empat saudara laki-lakinya yang lain tinggal bersama dengan ayah dan ibu mereka di sebuah rumah asrama tentara.

Di era itu tepatnya tahun '80an kehidupan keluarga tentara yang dikenal sebagai ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) terbilang sangat sederhana. 

Apalagi ayah Ani hanyalah seorang prajurit yang kala itu sehabis pulang berjuang dari Kalimantan menderita penyakit yang cukup parah sehingga lebih sering terbaring di kamar karena menderita gangguan paru. Sedangkan pekerjaan rata-rata isteri para prajurit kala itu juga adalah ikut suami atau sebagai Ibu Rumah Tangga termasuk ibunya.

Ani, Rika dan Lina termasuk tahu betul kondisi yang mereka hadapi terhadap kondisi keuangan orang tua mereka.

Pasca menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di sebuah sekolah swasta ternama di kota Medan, harapan Ani untuk melanjutkan ke universitas menjadi pupus saat ayahnya memintanya untuk mencari pekerjaan dan membantu keuangan termasuk buat pendidikan adik laki-lakinya. 

"Nakku Ani, tolonglah mengalah buat adik-adikmu karena Bapak yakin adik-adikmu pasti akan membantumu kelak", demikian ucapan dari sang ayah kepadanya meski dengan napas yang tersengal menahan sakit. 

Sebuah nasehat kepada Ani yang juga didengar oleh keenam adik-adiknya di hadapan ayah dan ibunya. Tidak banyak pilihan buat Ani kecuali antara menerima nasehat atau memaksakan egonya sebagai kakak tertua. Namun dengan lapang dada dia menerima keadaan itu tanpa syarat dengan mengamini perkataan ayahnya sebagai doa.

Ani Si Pencuci Botol 

Semangat untuk berkerja dan harapan untuk menyambung hidup lebih baik juga menjadi tujuan bersama keluarga khususnya buat Ani, Rika dan Lina serta keempat saudara laki-laki mereka. 

Berbekal ijazah SMA, Ani sangat antusias untuk melamar pekerjaan disana-sini. Dari mulai melamar Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad) yang berujung gagal, kemudian melamar sebagai abdi negara atau PNS belum bernasib baik pula, ataupun melamar menjadi pelayan toko di Supermarket juga tidak diterima, dan akhirnya bernasib baik diterima menjadi karyawan pabrik tepatnya pencuci botol minuman jamu!

Pekerjaan ini pun dilakoni Ani dengan cukup antusias, tidak tampak keluhan pada wajahnya selain gambaran kedua adik lai-lakinya yang masih kuliah, Rika yang masih SMA, Lina yang masih SMP dan kedua adik laki-lakinya yang lain masih SD. 

Derita dalam kolam pencucian botol dengan kurang lebih selama 8 jam kaki terendam air tidak dirasakan sebagai penderitaan bahkan juga berjalan kaki pulang ke rumah dari pabrik sejauh 8 km bersama dengan teman-teman seasrama juga membuatnya bahagia. Meski terkadang sesampainya di rumah juga membantu ibunya untuk memasak atau mengerjakan "proyek" lain yang juga dilakoni bersama dengan adik-adiknya yang lain: Menjual Jagung Bakar dan Menjual Manisan Mangga.

Rika Si Penjual Jagung Bakar

Seperti biasa selepas makan siang, ibu Rika pergi berbelanja ke pasar untuk membeli beberapa barang sembako untuk kemudian dijual di kedai atau warung kecil di rumah mereka. Meski terkadang menolak karena masih ngantuk selepas pulang dari sekolah (SMA). Rika mau tidak mau bersama sang ibu menemani ke pasar. 

Sebuah rutinitas yang kadang bergantian dilakukan dia dengan adiknya Lina. Mungkin di masa-masa remaja seperti dirinya adalah masa-masa peralihan yang membuat dia terkadang gengsi atau malu karena sebahagian teman-temannya saat itu masih lebih banyak di rumah belajar atau bermain-main di rumah. Sesuatu yang sulit untuk dilakukannya di keluarga. Berbelanja jagung muda untuk kemudian sore sampai malam hari dijual di depan rumah.

Kira-kira sebuah goni yang besar yang berisikan jagung dengan kisaran 30-50 buah jagung dijatuhkan oleh si abang becak dari belakang becak dayungnya. Pertanda ibu dan Rika telah tiba di rumah sehabis berbelanja. 

Dengan sigap kedua adik laki-lakinya membantu mengupas untuk kemudian dibakar oleh Rika dan ibunya sesuai dengan pesanan orang yang melintas dari depan kedai mereka. 

Tidak terlalu banyak memang yang dijual karena sang ayah juga berharap paling lama pukul 8 malam sudah selesai terlepas laku atau tidak semua, karena waktu tersebut adalah waktu untuk belajar atau menyelesaikan tugas PR dari sekolah Rika. 

Terkadang pula sambil melayani pesanan jagung bakar dari pembeli disempatkan untuk menyelesaikan PR atau sekedar untuk membaca persiapan ujian ulangan di sekolah esok hari.

Lina Si Penjual Manisan Mangga 

Tidak jauh berbeda dengan kakaknya Ani dan Rika, sebagai anak kelima Lina juga kerap memabantu berjualan manisan mangga, kedondong atau buah rukam. Dia yang masih duduk di bangku kelas I SMP di sebuah sekolah swasta yang bisa terbilang sekolah swasta yang tidak bonafid bila dibandingkan dengan sekolah yang pernah diduduki oleh kakak, abang dan adiknya. Mungkin sedikit kurang beruntung di tengah keluarga karena hampir saudara perempuan atau laki-lakinya adalah berasal dari sekolah negeri. 

Saat itu anggapan bila bersekolah lanjutan di sekolah negeri adalah sebuah prestasi. Namun bagi Lina itu adalah bukan masalah yang terpenting adalah bagaimana "titipan" bungkusan manisan yang telah disiapkan dalam tas besarnya bisa menambah pemasukan atau sekedar ongkos pulang angkot dari sekolah kembali ke rumah. Untung-untung juga bisa ada uang lebih untuk membeli buku sekolah.

Perjuangan yang mulanya adalah sebuah iseng belaka saja, dan dia tidak berniat sama sekali berjualan meski dari rumah telah dibekali oleh ayah dan ibunya yang sejak malam sebelumnya telah mempersiapkan bungkusan-bungkusan manisan dalam kantong plastik untuk dijual. Dimasukkan dalam tasnya. Sampai di sekolah Lina bingung mau diapakan manisan itu semua. 

Beruntung bel istirahat sore (sekolah SMP Lina adalah sekolah siang) salah seorang temannya hendak meminjam buku catatan dari tasnya. Betapa terkejut temannya itu karena di tas Lina penuh dengan manisan. Dan spontan berteriak di lapangan bahwa Lina membawa jajanan manisan. 

Seketika itu pula Lina dikerumuni oleh teman-temannya di tengah lapangan untuk membeli manisan. Ajaib semua manisan yang dia bawa dari rumah : Habis! Bingung dan setengah pasrah karena Lina berencana membawa kembali semua manisan itu dan siap untuk dimarahi namun ternyata membawa uang tambahan. Manisan semuanya habis. Semenjak hari itu pula Lina bukan hanya ditunggu buku catatannya tapi juga jajanan manisannya.

Kini kisah 40 tahunan yang lalu itu adalah menjadi kenangan hidup bagi Ani, Rika dan Lina. 

Mereka tidak pernah menyangka sebagai perempuan tumpuan keluarga bisa melalui itu semua. Tidak ada pernah bayangan apa yang terjadi ke depan khususnya nasib akan berubah atau memang itulah takdir mereka. 

Keihlasan mereka tdak melanjutkan ke perguruan tinggi juga bukan bagian dari takdir karena tidak lulus Sipenmaru (SNMPTN). Bukan pula protes kepada ayah dan ibu mereka untuk menuntut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ya realita memang bahwa anak laki-laki tepatnya abang atau adik mereka memang bisa lulus di sekolah negeri juga lanjut ke akademi militer/universitas negeri.

Dok. JBS
Dok. JBS
Waktu terus berganti nasib Ani, Rika dan Lina terjawab dengan pekerjaan lebih baik dibandingkan sejarah panjang sebagai pencuci botol, penjual jagung bakar dan penjual manisan yang penakut. Saat semua jalan tertutup oleh keterbatasan ternyata nasehat orang tua mereka diamini oleh Sang Khalik. 

Tercatat pada akhirnya mereka juga mengenyam gelar sarjana, sesuatu yang dulu mereka ikhlaskan dan tidak bermimpi untuk terjadi. Sebuah realita keihklasan dari seorang kakak beradik yang mengutamakan iman dari pada hanya bersandar pada egonya semata. Tak pernah pamrih namun Tuhan pemberi selalu memberi yang terbaik hari ini, besok dan selamanya. Amin

Terima kasih srikandiku, kakak sekaligus ayah dan ibu bagi diriku semata.

Salam dari adikmu ke "tujuh"

--JBS--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun