Lina Si Penjual Manisan ManggaÂ
Tidak jauh berbeda dengan kakaknya Ani dan Rika, sebagai anak kelima Lina juga kerap memabantu berjualan manisan mangga, kedondong atau buah rukam. Dia yang masih duduk di bangku kelas I SMP di sebuah sekolah swasta yang bisa terbilang sekolah swasta yang tidak bonafid bila dibandingkan dengan sekolah yang pernah diduduki oleh kakak, abang dan adiknya. Mungkin sedikit kurang beruntung di tengah keluarga karena hampir saudara perempuan atau laki-lakinya adalah berasal dari sekolah negeri.Â
Saat itu anggapan bila bersekolah lanjutan di sekolah negeri adalah sebuah prestasi. Namun bagi Lina itu adalah bukan masalah yang terpenting adalah bagaimana "titipan" bungkusan manisan yang telah disiapkan dalam tas besarnya bisa menambah pemasukan atau sekedar ongkos pulang angkot dari sekolah kembali ke rumah. Untung-untung juga bisa ada uang lebih untuk membeli buku sekolah.
Perjuangan yang mulanya adalah sebuah iseng belaka saja, dan dia tidak berniat sama sekali berjualan meski dari rumah telah dibekali oleh ayah dan ibunya yang sejak malam sebelumnya telah mempersiapkan bungkusan-bungkusan manisan dalam kantong plastik untuk dijual. Dimasukkan dalam tasnya. Sampai di sekolah Lina bingung mau diapakan manisan itu semua.Â
Beruntung bel istirahat sore (sekolah SMP Lina adalah sekolah siang) salah seorang temannya hendak meminjam buku catatan dari tasnya. Betapa terkejut temannya itu karena di tas Lina penuh dengan manisan. Dan spontan berteriak di lapangan bahwa Lina membawa jajanan manisan.Â
Seketika itu pula Lina dikerumuni oleh teman-temannya di tengah lapangan untuk membeli manisan. Ajaib semua manisan yang dia bawa dari rumah : Habis! Bingung dan setengah pasrah karena Lina berencana membawa kembali semua manisan itu dan siap untuk dimarahi namun ternyata membawa uang tambahan. Manisan semuanya habis. Semenjak hari itu pula Lina bukan hanya ditunggu buku catatannya tapi juga jajanan manisannya.
Kini kisah 40 tahunan yang lalu itu adalah menjadi kenangan hidup bagi Ani, Rika dan Lina.Â
Mereka tidak pernah menyangka sebagai perempuan tumpuan keluarga bisa melalui itu semua. Tidak ada pernah bayangan apa yang terjadi ke depan khususnya nasib akan berubah atau memang itulah takdir mereka.Â
Keihlasan mereka tdak melanjutkan ke perguruan tinggi juga bukan bagian dari takdir karena tidak lulus Sipenmaru (SNMPTN). Bukan pula protes kepada ayah dan ibu mereka untuk menuntut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ya realita memang bahwa anak laki-laki tepatnya abang atau adik mereka memang bisa lulus di sekolah negeri juga lanjut ke akademi militer/universitas negeri.
Tercatat pada akhirnya mereka juga mengenyam gelar sarjana, sesuatu yang dulu mereka ikhlaskan dan tidak bermimpi untuk terjadi. Sebuah realita keihklasan dari seorang kakak beradik yang mengutamakan iman dari pada hanya bersandar pada egonya semata. Tak pernah pamrih namun Tuhan pemberi selalu memberi yang terbaik hari ini, besok dan selamanya. Amin