“Velox et Exactus”
Kata-kata diatas tentunya bagi seorang awam adalah sesuatu yang sangat asing bahkan tidak pernah didengar sebelumnya, namun bagi mereka-mereka yang menggeluti dunia mata-mata atau sebagai seorang agen intelijen maka kata ini adalah menjadi semboyan. Asas Badan Intelijen Negara (BIN) dengan istilah “Velox et Exactus” yang berarti cepat dan tepat. Sebuah prinsip dasar bagi seorang agen intelijen untuk menekankan pentingnya kecepatan dan keberanian seorang personel dalam mengambil keputusan.
Dari pengertian “Velox et Exactus” sesungguhnya menurut pakar bahkan profesor intelijen di Indonesia yaitu Abdullah Makhmud Hendropriyono (lebih dikenal dengan nama A.M. Hendropriyono) dalam bukunya berjudul “Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia” menyatakan bahwa dalam banyak hal filsafat dan praktik intelijen ini adalah sesuatu yang sangat penting bukan hanya untuk perang maupun non perang. AMH mengutip teori Ludwig Wittgenstein (1885-1951) menyatakan bahwa kata intelijen dalam bahasa Inggris berasal dari kata “Intelligence” yang mengandung arti “intelijensia” atau kecerdasan yang tinggi. Karena itu, agen intelijen mestilah “orang-orang yang mempunyai pikiran atau akal yang tajam”. Yang menjadi fundasi utamanya adalah bagaimana mendapatkan sebanyak mungkin informasi dan pengetahuan. Ilmu intelijen berbasis pada epistemologi sosial yang memandang pengetahuan sebagai produk dari praktik sosial.
Berdasarkan penjelasan diatas maka bagi saya secara pribadi mengamini ilmu intelijen adalah bagian dari seluruh ilmu terapan yang paling mumpuni dan bisa dipraktikkan di bidang perbankan. Dalam praktiknya tanpa disadari kesuksesan untuk menjadi Bankir yang handal tidak terlepas dari pemahaman dan pelaksanaan secara sistematis terhadap asas atau dasar ilmu intelijen.
Bahkan bila yang menjadi faktor utama dari filsafat intelijen ini adalah informasi yang sebanyak-banyaknya maka rasa-rasanya terhadap perkembangan terkini khususnya perkembangan era digitalisasi dengan berbasis “Big Data” maka patut kita menyimpulkan bahwa sesungguhnya kehidupan di era ini telah masuk dalam sebuah produk intelijen. Sederhananya saja kita sedang dimata-matai!
Fenomena Bankir Big Data Vs Bankir Tradisional
“Bankir dengan hanya mengandalkan kemampuan teritorial diprediksi akan tersisih karena kalah cepat dalam mengumpulkan data atau informasi dengan bankir berbasis Big Data”.
Big Data adalah kumpulan proses yang terdiri volume data dalam jumlah besar yang terstruktur maupun tidak terstruktur dan digunakan untuk membantu kegiatan bisnis. Big data sendiri merupakan pengembangan dari sistem database pada umumnya. Dalam praktiknya hampir semua alat komunikasi maupun media sosial adalah sebagai "rumah besar" data dari setiap penggunanya sehingga dengan mudah mengidentifikasi diri individu berikut mempelajari prilakunya yang biasa maupun yang menyimpang berikut pula kebiasan-kebiasannya. Maka tidak heran dengan perkembangan teknolgi telekomunikasi dan informasi sekarang hampir bisa dipastikan sebagai dunia yang telanjang atau “unhidden world” yakni dunia tanpa persembunyian.
Unhidden world yang dulu saat perkembangan teknologi informasi dan komunikasi belum sepesat sekarang adalah sebuah pekerjaan besar dari agen-agen intelijen untuk mendapatkan dan kemudian mengungkapkan semua misteri atau teka-teki masalah di dunia. Sama seperti dalam banyak film action seperti serial epik 007 “James Bond”, Tom Cruise dengan Mission Impossible, dan banyak film lainnya yang menampilkan tema yang hampir mendekati realistis menurut saya meski dikemas dengan sedikit dramatisasi. Namun fakta teraktual adalah ending-ending nya adalah uang dan kekuasan ekonomi.
Ilmu intelijen dengan asas cepat dan akurat yang wajib dimiliki oleh sang agen bila dibandingkan dengan bankir sebagai aktornya pada kompetisi bisnis perbankan adalah sebuah perumpamaan yang hampir linear dan kongruen. Kecepatan dan keakuratan dalam mengambil keputusan dalam bisnis perbankan adalah sebuah keniscayaan bila hendak tetap bertahan dan berkembang di tengah-tengah persaingan.
Dalam banyak pengalaman dan bila dibandingkan dengan penerapan pendekatan teori ekonomi berikut prilaku masyarakat akan mengalami pergeseran. Keyakinan pergeseran bisnis bank dalam beberapa tahun kedepan di Indonesia sebagai negara kategori yang hendak keluar dari negara berkembang (transisi menuju negara maju) dengan mayoritas jumlah kaum berpendapatan menengah akan masuk dalam prilaku konsumtif dengan kegiatan-kegiatan “full payment oriented”.
Sebuah teori pendapatan nasional (pendekatan pengeluaran) dengan mengutamakan konsumsi atau pemenuhan kebutuhan pokoknya tanpa musti pusing memikirkan tabungan apalagi investasi (sebuah kondisi “middle income trap”).
Tersedianya kolaborasi Big Data (khususnya media sosial dan perangkat mobile) yang terintegrasi dengan sistem pembayaran diprediksikan akan menjadi bank itu sendiri bahkan menggeser keberadaan bank konvensional. Bahkan bukan tidak mungkin meniadakan bank sentral sebuah negara karena keberadaan mata uang saat ini, akan dan sudah bergeser dengan mata uang baru yang bernama “byte, megabyte, gigabyte”. Eksistensi facebook, instagram, whatsapp, google dan perusahaan unicorn lainnya akan semakin mendorong angan-angan dan prediksi ini semakin menjadi nyata.
Dengan sistem canggih yang sudah dan akan terus “memata-matai” targetnya, maka bukanlah hal yang sulit untuk menyediakan informasi dan kemudian memberikan keputusan bagi Bankir untuk menyediakan apa yang menjadi kebutuhan dari nasabahnya. Hal ini diibaratkan sebagai upaya untuk berburu rusa, dan berburunya di kebun binatang sendiri.
Cepat, tepat dan akurat.
Bagaimana dengan Bankir Tradisional?
Sebuah pertanyaan yang saya saja sudah skeptis untuk membahasnya. Karena ibarat harimau yang akan bertarung dengan kancil di dalam sebuah kandang. Sudah tentu harimau akan dengan mudah memakan sang kancil.
Namun hal ini bukanlah sebuah keputusasaan bagi Bankir atau Bank yang sedang mengupdate dan mengupgrade infrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi termutakhir saat ini. Dengan sebuah asumsi bahwa kemampuan sang intelijen atau Bankir itu sendiri sesuai dengan prinsip dan asas dasar intelijen yakni ketersediaan “orang-orang” yang mempunyai pikiran atau akal yang tajam.
Dengan bahasa pasaran tentunya orang-orang lugu atau bodoh apalagi tidak memiliki kecerdasan yang tinggi sewajibnya pada level pengambilan keputusan di Bank sudah tidak memiliki tempat.
Sebuah hal yang wajib tersedia antara kecerdasan intelijensia dengan kemampuan berkawasan atau kemampuan bermasyarakat bagi Bankir pada level persiapan kearah Bank berbasis Big Data. Ini adalah jawaban atas segala keterbatasan dan upaya mengalahkan kecanggihan dan mesin. Bila hal yang mandatori ini diabaikan bisa dipastikan Bankir tersebut bukanlah masuk kategori Bankir Sang Agen Intelijen.
Hanya berputar-putar kesana kemari dan gamang mengambil keputusan karena terfokus pada hukum positip. Keburu si rusa lari jauh kehutan belantara, dan pulang bertangan hampa dengan pedih tiada tara.
Selamat Malam & Selamat Beristirahat.
JBS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H