Ilmu intelijen dengan asas cepat dan akurat yang wajib dimiliki oleh sang agen bila dibandingkan dengan bankir sebagai aktornya pada kompetisi bisnis perbankan adalah sebuah perumpamaan yang hampir linear dan kongruen. Kecepatan dan keakuratan dalam mengambil keputusan dalam bisnis perbankan adalah sebuah keniscayaan bila hendak tetap bertahan dan berkembang di tengah-tengah persaingan.
Dalam banyak pengalaman dan bila dibandingkan dengan penerapan pendekatan teori ekonomi berikut prilaku masyarakat akan mengalami pergeseran. Keyakinan pergeseran bisnis bank dalam beberapa tahun kedepan di Indonesia sebagai negara kategori yang hendak keluar dari negara berkembang (transisi menuju negara maju) dengan mayoritas jumlah kaum berpendapatan menengah akan masuk dalam prilaku konsumtif dengan kegiatan-kegiatan “full payment oriented”.
Sebuah teori pendapatan nasional (pendekatan pengeluaran) dengan mengutamakan konsumsi atau pemenuhan kebutuhan pokoknya tanpa musti pusing memikirkan tabungan apalagi investasi (sebuah kondisi “middle income trap”).
Tersedianya kolaborasi Big Data (khususnya media sosial dan perangkat mobile) yang terintegrasi dengan sistem pembayaran diprediksikan akan menjadi bank itu sendiri bahkan menggeser keberadaan bank konvensional. Bahkan bukan tidak mungkin meniadakan bank sentral sebuah negara karena keberadaan mata uang saat ini, akan dan sudah bergeser dengan mata uang baru yang bernama “byte, megabyte, gigabyte”. Eksistensi facebook, instagram, whatsapp, google dan perusahaan unicorn lainnya akan semakin mendorong angan-angan dan prediksi ini semakin menjadi nyata.
Dengan sistem canggih yang sudah dan akan terus “memata-matai” targetnya, maka bukanlah hal yang sulit untuk menyediakan informasi dan kemudian memberikan keputusan bagi Bankir untuk menyediakan apa yang menjadi kebutuhan dari nasabahnya. Hal ini diibaratkan sebagai upaya untuk berburu rusa, dan berburunya di kebun binatang sendiri.
Cepat, tepat dan akurat.
Bagaimana dengan Bankir Tradisional?
Sebuah pertanyaan yang saya saja sudah skeptis untuk membahasnya. Karena ibarat harimau yang akan bertarung dengan kancil di dalam sebuah kandang. Sudah tentu harimau akan dengan mudah memakan sang kancil.
Namun hal ini bukanlah sebuah keputusasaan bagi Bankir atau Bank yang sedang mengupdate dan mengupgrade infrastruktur teknologi informasi dan telekomunikasi termutakhir saat ini. Dengan sebuah asumsi bahwa kemampuan sang intelijen atau Bankir itu sendiri sesuai dengan prinsip dan asas dasar intelijen yakni ketersediaan “orang-orang” yang mempunyai pikiran atau akal yang tajam.
Dengan bahasa pasaran tentunya orang-orang lugu atau bodoh apalagi tidak memiliki kecerdasan yang tinggi sewajibnya pada level pengambilan keputusan di Bank sudah tidak memiliki tempat.
Sebuah hal yang wajib tersedia antara kecerdasan intelijensia dengan kemampuan berkawasan atau kemampuan bermasyarakat bagi Bankir pada level persiapan kearah Bank berbasis Big Data. Ini adalah jawaban atas segala keterbatasan dan upaya mengalahkan kecanggihan dan mesin. Bila hal yang mandatori ini diabaikan bisa dipastikan Bankir tersebut bukanlah masuk kategori Bankir Sang Agen Intelijen.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!