Suatu waktu saat saya menemani anak-anak bermain tepatnya mewarnai buku gambarnya, saya terkenang kala saya seperti mereka sekarang. Dulu saya adalah termasuk siswa yang paling tidak suka menggambar atau mewarnai. Mungkin karena saya adalah termasuk kategori orang yang lebih mengandalkan otak kiri, yaitu orang yang lebih mengandalkan logika, kemampuan verbal, analitis, dan teratur. Bagian otak kiri saya lebih baik dalam hal-hal seperti membaca, menulis, dan berhitung. Sesuatu yang menjadi rigid ketika membantu anak-anak dalam menyelesaikan pekerjaan rumah seni lukis/menggambar dan kreatifitas lainnya.Tugas mewarnai dengan menggabungkan berbagai warna memaksa saya untuk mengasah otak kanan saya sehingga bisa lebih kreatif, intuitif, futuristik, dan imajinatif. Mencoba memahami warna-warni krayon di meja belajar anak saya agar gambar yang diperoleh nantinya lebih mendekati ke bentuk yang ideal bahkan mendekati sesuai dengan aslinya.
Setelah mencoba membantu penyelesaian menggambar anak, saya cukup penasaran tentang pengertian akan warna. Dari beberapa referensi didefeniskan bahwa warna merupakan salah satu spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (berwarna putih). Identitas suatu warna ditentukan oleh panjang gelombang dari cahaya tersebut.
Dari beberapa sumber dan artikel yang saya baca adalah terfokus terhadap perdebatan apakah “hitam” dan “putih” bagian dari warna.
Sebagaimana bahwa syarat mutlak dari defenisi warna diatas, setidaknya faktor utama yaitu adanya gelombang cahaya. Sehingga oleh pendapat beberapa ahli menyebutkan warna hitam tidak dikategorikan sebagai sebuah warna karena apabila tidak tersedianya cahaya seperti saat kita hendak tidur dan mematikan lampu kamar maka yang terjadi adalah sebuah kegelapan atau semua jadi hitam.
Sedangkan putih dapat dikategorikan sebagai sebuah warna, tepatnya dikategorikan sebagai gabungan dari seluruh perpaduan warna. Warna putih dianggap sebagai cahaya sempurna. Dalam spektrum warna, cahaya putih yang dihasilkan oleh matahari adalah perpaduan seluruh warna dan bila menggunakan prisma cahaya maka dapat terurai berbagai warna.
Salah satu alasan memilih warna abu-abu ini adalah karena faktor ekonomis dibandingkan faktor lainnya. Warna abu-abu tidak mudah kelihatan kotor, karena sifatnya yang tidak gelap juga tidak terang.
Bila terjadi sedikit kotoran atau percikan saat makan atau terpapar debu ke pakaian saat beraktivitas dampaknya masih bisa tersamarkan dan noda bisa terlindungi. Berbeda apabila saya menggunakan warna lain, sedikit saja ada noda kotoran maka akan sangat terlihat sehingga merusak keindahan baju. Alhasil baju saya tinggal kenangan dan paling akhirnya dipakai buat kain pel.
Tanpa sengaja saat menulis artikel ini, ternyata peristiwa kehidupan ini adalah kurang lebih sebagai sebuah pembelajaran tentang ‘warna”. Bahkan khusus (warna) “hitam” dan “putih” plus “abu-abu” dalam banyak kiasan kata memberikan banyak arti dan terjemahan. Dua hal yang kontras atau bertolak belakang antara hitam dan putih.
Hitam atau gelap adalah dapat diartikan sebagai suatu kondisi tanpa cahaya, gelap, tidak tampak, mati dan tak mampu berbuat apa-apa. Bisakah kita beraktivitas di malam hari tanpa ada cahaya? Tentu tidak. Bulan atau mliaran bintang dilangit meski dari jutaan kilometer tapi tetap memberikan secercah cahaya untuk menerangi kita ditambah dengan cahaya lampu yang dihasilkan dari tenaga listrik. Kita dapat beraktivitas, dan tidak terpenjara dalam kegelapan.
Hitam bukanlah warna, lebih dari itu melambangkan sebuah keabadian, misteri keagungan ruang dan waktu dari Sang pemilik kehidupan.
Sering kita berkias kata “sampai akhir menutup mata”, suatu keadaan menjadi gelap dan tertidur tanpa bangun kembali, bukankah mengartikan sebuah kematian? Dan kematian fisik adalah sebuah keabadian akan berakhirnya kehadiran seseorang di dunia. Menjadi mati, gelap dan hilang.
Kontras dengan hitam, maka warna putih adalah sebagai warna kesempurnaan, memiliki cahaya, sebuah keterpaduan dari seluruh warna yang menandakan akan kehidupan. Ditengah terang benderangnya Sang Surya menyinari manusia secara gratis, sebuah kondisi kehadiran cahaya menjadikan segala sesuatu tampak, menihilkan kebingungan saat menempuh arah atau jalan tanpa rasah bersalah. Warna putih, gabungan dari seluruh warna memberikan petunjuk dan pengertian bahwa selama “membuka mata” berikutnya menjadi terang, sebuah kondisi yang sarat keterbatasan.
Warna putih seolah-olah menunjukkan bahwa kehidupan masih akan ada apabila keterpaduan dan kehadiran kebaikan dan keburukan hadir secara beruntun. Dan terimalah fakta ini tanpa berdebat.
Kebingungan menjadi ketika gelap (hitam) dan terang (putih) berpadu menjadi warna baru, si abu-abu. Tidak hitam juga tidak putih, juga tidak gelap atau tidak terang, bukan laki-laki juga juga bukan perempuan. Sebuah ambiguitas, keragu-raguan, dan kebingungan. Suatu kondisi tidak tertidur juga tidak siaga, antara mati dan hidup. Perpadauan ini secara alami adalah peralihan antar sore dan malam, seperti sebuah temaram kala senja menjemput.
Saya melihatnya adalah kondisi kehidupan nyata saat ini sangat mendekati akan warna atau kondisi ini, realita dunia yang abu-abu. Penuh kompromistis, sebuah pertaruhan atau perjudian, dibutuhkan siasat dan bahkan debat.
Siapa kuat akan bertahan hidup, yang lemah mundur menuju maut. Tetap berjalan meski dalam misteri kegelapan, namun justru keliru dalam kesempurnaan terang.
“Keabu-abuan” menunjukkan sebuah kefanaan akan pemaknaan dari manusia yang penuh dengan emosi dan ambisi. Mencoba menjebatani antara naluri alami dengan titah ilahi yang hakiki.
Meminta belas kasihan dari pencipta gelap dan terang supaya tetap bertahan hidup ditengah-tengah ancaman kematiannya kelak. Pada titik akhir yang paling afkir, manusia abu-abu akhirnya menjadi debu, lenyap dalam dekapan keabadian gelap dan kesempurnaan terang.
Medan, suatu waktu di kala Libur.
Jesayas Budiman Surbakti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H