Bank secara utuh dan terintegrasi melihat ancaman digitalisasi dengan dasar terpenting adalah berdasarkan tingkat produktivitas sumber daya manusia.Â
Kata kunci adalah tetap mengindentifikasi, mengukur dan mengevaluasi sejauh mana produktivitas bila migrasi layanan manual ke layanan berbasis otomatisasi/digitalisasi.
Bukan maksud mengesampingkan ancaman nyata di jurang bencana digitalisasi namun tetap fokus kepada bisnis inti Bank tersebut. Upaya keras dengan skala prioritas adalah bagaimana mengamankan bisnis inti baik dari sisi funding maupun lending yang tentunya akan berbeda-beda antara Bank sesuai dengan permodalannya (sesuai dengan kategori Buku Bank).
Sebelum ancaman digitalisasi,  konsep umum pendekatan bisnis Bank ini sangatlah sederhana. Sampai hari ini pun bagi saya konsep itu hanyalah berdasarkan pendekatan emosional (intuitive approach) dan pendekatan rasional (rational approach/quality approach) baik dari sisi bisnis pendanaan maupun perkreditan bahkan jasa layanan pembayaran (payment) lainnya.
Bank sebagai industri jasa (estimasi 10 tahun kedepan) tetap memutar otak bagaimana membangun relationship dan networking dengan pelayanan prima kepada nasabahnya.Â
Nasabah masih identik dengan manusia, dan selama masih manusia maka diyakini pendekatan efektif yang bisa menggugurkan kehandalan ataupun kecanggihan teknologi Bank berbasis IT adalah membangun dan terpeliharanya hubungan emosional. Sentuhan emosional secara genetik akan membuat koneksi DNA antara Bank dengan nasabahnya semakin erat.Â
Di Asia dan khususnya di Indonesia relevansi hubungan genetik dengan pendekatan layanan DNA oleh Bank hampir di semua level Bank Buku manapun masih diamini ampuh menjaga eksistensi bisnis Bank. Hingga saat ini ditengah ancaman perubahan bisnis. Sentuhan, kehadiran secara fisik dan komunikasi langung secara nyata dengan petugas Bank untuk generasi baby boomer maupun generasi X masih menjadi faktor dominan dalam pemenuhan kebutuhan dari generasi tersebut, bahkan diluar pemenuhan layanan keuangannya.Â
Namun seperti diawal apakah ini bisa kita pastikan akan terjaga bila ancaman serius adalah jiwa nasabah karena krisis pandemi? Dan apakah pasca ditemukan vaksin akan mengakhiri era pandemi ini?Â
Saya tidak bisa berspekulasi. Istilah siapkan payung sebelum hujan adalah hal sederhana sejauh mana mitigasi risiko terhadap risiko faktor external dengan low frequency high impact wajib diperhitungkan oleh Bank. Dan pendekatan rasional yang poin terpentingnya adalah mempersiapkan migrasi layanan manual/tradisonal ke budaya digital dengan menyediakan layanan berikut produk digital yang low cost dan high benefit. Hal ini adalah menjadi sebuah keharusan. Bank tidak bisa terlena hanya mengandalkan pendekatan secara emosional diatas. Apabila akhirnya pandemi belum berakhir, bahkan analisa saya isu sentral 10 tahun kedepan masih tetap masalah kesehatan dan lingkungan yang mengancam keberlangsungan hidup manusia.
Setali tiga uang, isu digitalisasi bila diukur dengan upaya menekan biaya operasional tinggi telah menjadi fokus regulator dengan konsep inklusi keuangan. Percepatan dan akses ke lembaga keuangan yang simple dan berikut kemudahannya menjadi hal urgent dalam upaya mempercepat pemerataan dan peningkatan ekonomi masyarakat hingga menyasar jauh ke daerah-daerah terpencil sekalipun. Sungguh semua masalah ini menyatu bahkan sangat menguras energi dan pikiran oleh seluruh stakeholder industri jasa keuangan dan  perbankan.
Finally, sebagai Bankir, saya melihat efek pandemi ini adalah ibarat pisau bermata dua dan sangat tergantung kepada kesiapan sumber daya manusia insan perbankan. Dan seyogyanya tetap melihatnya sebagai sebuah tantangan dan kesempatan sempit di menit akhir terhadap keberlangsungan hidup dunia perbankan.