Pada akhirnya saya mendapat beasiswa untuk menghabiskan setahun masa akhir kuliah saya untuk belajar di Amerika Serikat. Ketika sampai di sana, saya mencoba untuk berbincang dengan warga lokal. Dalam sering kali kesempatan, mereka tidak memahami apa yang saya katakan, padahal saya sudah berusaha sekuat tenaga berbahasa Inggris. Di situ kadang saya merasa sedih…
Momen inilah yang kemudian menyadarkan saya bahwa ada masalah dalam pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Banyak pelafalan kata yang saya temui berbeda sekali. Selain itu, di Indonesia, saya tidak pernah mendengar bahwa Bahasa Inggris punya aksen yang berbeda-beda.
Begini, karena pelafalan yang kurang benar, banyak orang Amerika yang saya temui tidak memahami Bahasa Inggris saya. Salah satu yang paling membuat saya malu adalah ketika saya ingin katakan kata ‘fog’ tapi berakhir dengan ‘f#ck’ karena di Indonesia kita tidak punya kata dengan akhiran 'g'. Saya sampai diperingatkan teman karena berulang-ulang mengatakan kata jorok itu.
Saya lakukan itu sebab ketika belajar Bahasa Inggris di Indonesia, tidak juga ada yang membetulkannya. Tidak guru Bahasa Inggris sekalipun. Di sinilah masalahnya. Meski belajar Bahasa Inggris seribu tahun kalau cara pengajarannya aka kurikulum dan juga kualitas guru nya kurang baik, maka waktu yang lama itu terbuang sia-sia saja.
Kualitas Guru Bahasa Inggris
Di Amerika, saya baru tahu kalau Bahasa ini punya berbagai aksen. Dulu saya melihat film Hollywood yang beraksen Amerika sama saja dengan bahasa Inggris dari radio BBC. Setelah beberapa bulan di Amerika, saya baru sadar, oh beda ya ternyata. Hal ini juga tak pernah saya pelajari pun diberi tahu selama 9 tahun belajar Bahasa Inggris di Indonesia.
Bayangkan, 9 tahun lamanya (dalam kasus saya dan kawan-kawan saya seangkatan, plus 1 tahun di universitas), Bahasa Inggris kami seperti tak bertaji, tak berarti, tak berguna. Tentu ada gunanya, tapi buat apa juga kalau ketika dipakai berkomunikasi tidak bisa.
Ketika belajar di Amerika inilah saya seperti belajar dari awal lagi. Saya tentu harus seringkali menahan malu ketika sudah capek-capek bicara, kawan saya hanya bilang, “Rosyid, I don’t understand… Sorry…, would you say that again…” Saya mulai belajar pelafalan kata-kata lagi. Saya beruntung ada seseorang yang mau mengajari saya 2 kali seminggu. Saya diminta membaca artikel dan ia membetulkan banyak sekali pelafalan saya.
Yang paling saya ingat adalah ‘laboratory’ yang ternyata harus dibaca ‘labratri’, bukan ‘laboratori’.
Karena itu, penting untuk melihat sebenarnya bagaimana kurikulum pendidikan bahasa asing kita, sekali lagi khususnya bahasa Inggris. Bahasa tentu bukan hanya soal mengisi titik-titik pada soal-soal di LKS, tapi juga bagaimana berbicara dan lebih penting menyampaikan ide baik dengan berbicara dan menulis yang baik.
Kualitas guru pengajar bahasa Inggris juga menjadi perhatian saya. Banyak guru pengajar Bahasa Inggris yang kurang mengerti bahasa ini khususnya soal pelafalan. Tentu bukan salah mereka sebab mereka mungkin juga lulusan universitas jurusan bahasa Inggris di dalam negeri yang juga dosennya kurang bisa berbahasa Inggris.