Penampilannya nyentrik, dengan hanya berkaos oblong putih polos. Kadang juga pakai polo-shirt yang sedikit body-fit. Tatanan rambut sudah pasti ala masa kini dan kadang di-kerukup dengan topi gaul ala Mao Zedong. Celananya? Celana jeans tiga perempat sepertinya rutin ia pakai untuk hang-out, kecuali pas kuliah. Ia adalah Eko saputra.
Beberapa hari lalu saya sedikit terlibat diskusi dengannya. Mahasiswa Jurusan informasi dan teknologi (IT) di Universitas Paramadina ini secara umum, dari kenampakannya, sudahlah jelas kalau bisa dibilang: anak gaul masa kini. Ia aku bahwa berbusana yang up-date itu wajib. “Biar ngga ketinggalan jaman-lah gua ni,” ungkapnya lengkap dengan logat Jakarta yang kental dengan elo-gua-nya.
Ia juga teman saya sendiri di kampus yang sama. Namun, kami berbeda jurusan. Tentu anda bertanya-tanya, sebenanrnya saya ini mau nulis apa sih? Baiklah, yang jelas apa yang ingin saya sampaikan saya yakini ada manfaatnya.
Nabung kemana?
Dari diskusi yang serampangan itu, sampailah kami pada satu topik: menabung. Kami sadar bahwa menabung adalah aksi penting dalam hidup ini, apalagi di masa kami yang muda ini. Pertanyaan pun bergeser: kemana menabungnya? Itu pertanyaan saya pada Eko.
“Bank Syariah Mandiri. Elo?” saya tidak segera jawab. Melihat tampilannya, saya kira tak ada potongannya anak ini menabung di bank syariah. Tebakan saya sebelumnya adalah Bank Mandiri, atau BCA, atau BNI dan mungkin bank konvensional lainnya.
Tapi memang demikian kenyataannya. Ia tunjukkan pula buku tabungan dan kartu ATM-nya. “Nih, kalau ngga percaya…” tegasnya. Rupa-rupanya ia menangkap keraguan saya.
Keraguan saya tentu bukan tidak punya pijakan. Bahasa ilmiahnya, saya tentu punya referensi untuk meragu. Bank syariah selama ini adalah bank “percil” yang muncul untuk golongan tertentu. Mereka yang masuk bank syariah adalah yang berjenggot tebal, pakai kopyah yang laki-laki, dan berjilbab panjang, atau perlu pakai cadar sekalian bagi yang wanita. Ini adalah bank eksklusif dan untuk orang-orang tertentu saja. Tak ada tempat untuk orang-orang kantoran, pejabat, pengusaha, sampai anak gaul untuk ikut-ikutan bank syariah.
“Gua juga pake e-banking ama mobile-banking-nya… gimana-gimana?” tambah Eko lagi.
Setelah berjumpa dengan Eko, setidaknya saya mulai sedikit menggeser pandangan saya pada bank syariah ini. Penelusuran saya pun saya lanjutkan dan memang kenyataan persepsi saya bukanlah salah, tetapi itu tidak representatif.
Tengok sejarah
Di dunia perekonomian, sepak terjang bank syariah, menurut Hartono Sudiro—dosen mata kuliah bank dan lembaga keuangan di Universitas Paramadina—bermula di Mesir yang digawangi oleh Ahmad El Najjar pada 1963. Sampai 1967 bank syariah di dunia telah ada 9 unit. Perkembangan bank syariah terus bergulir hingga berdiri bank-bank lain di tempat lain pula seperti Islamic Development Bank (1974) oleh OKI, Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic bank of Egypt (1977), dan Faisal Islamic Bank of Sudan (1977).