Menurutnya, penekanan bank syariah selama ini masih berkutat pada hal-hal fikih saja, sementara konsentrasi pada konsep pengembangannya sebagai jalur alternatif terkesan parsial dan akhirnya jalannya, meski menarik, tetap saja tertatih-tatih bila dibanding bank konvensional.
Pengenalan bank syariah pun terkesan hanya menyasar pasar orang muslim, sementara orang di luar muslim, yang seharusnya potensial sekali, diabaikan begitu saja. “Lihat saja iklannya, eksklusif kan? Konsepnya Islam itukan sebenarnya rahmatal lilalamin, seharusnya ya buat semua orang” kata Handi.
Menurut Handi, masyarakat muslim pengguna bank syariah ikut andil dalam peng-eksklusif-an bank yang potensial ini. Kebanyakan malas mengenalkan bank syariah kepada mereka yang dianggap 'orang lain'. "Saya sebagai pengguna, tak akan segan-segan kenalkan ini ke semua orang." tegasnya.
Namun akhir-akhir ini perkembangan bagus ditunjukkan, yakni masuknya bank-bank yang terkenal begitu konvensional dalam konstelasi perbankan syariah seperti bank BCA. Tentu ini pragmatis sekali pertimbangannya, tetap itulahyang dibutuhkan. Inklusivisme harus dibangun dengan tetap menegaskan posisinya sebagai perbankan yang ‘islami’ dan islami itu soal keterbukaan.
Jangan picik
Senada dengan Handi, Hartono menyatakan bahwa perkembangan perbankan syariah di Indonesia akan makin sulit berkembang bila eksklusivitas ini dipertahankan. Sebagai pengamat, dosen, dan mantan praktisi perbankan, ia menjelaskan bahwa salah satu kunci sukses bangunnya sebuah bank adalah memiliki afiliasi dan jejaring yang kuat dengan bank-bank lain.
“Pada dasarnya, anda harus tahu bahwa bank itu meletakkan idle money-nya, selain di SBI (sertifikat bank Indonesia), juga di bank-bank lain,” jelasnya.
Stereotyping eksklusif tidak bisa dihindarkan karena kebanyakan orang muslim masih memaknainya dalam kacamata halal-haram, riba – tidak riba. Bukannya itu tidak penting, tetapi ada sisi lain yang lebih perlu ditonjolkan yakni sifatnya yang alternatif dan tahan krisis.
Jarang terbentuk dialog terbuka tentang perbankan syariah dengan potensinya yang mengagumkan kepada orang yang non muslim, atau lebih ekstrem pada mereka yang tak berpenampilan islami, macam Eko tak masuk kategori islami ini tentunya. Alasannya klasik, bahwa mereka tidak islami sehingga tidak perlu bank syariah.
“Wooo, salah besar (kalau bank syariah hanya tertutup untuk yang ‘islami’)! Kalau mau yang benar-benar halal, nunggu saja duit dari langit, yang nyetak biar Tuhan sendiri. Kita jangan picik donk. Ekonomi itu sudah terintegrasi dan sistemnya saling silang sengkarut kemana-mana…” tegas Hartono dalam satu sesi kuliah yang saya ikuti.
Perbankan syariah memang telah terbuka di mata para pemangku kebijakan, misal BI sendiri, tetapi belum di kalangan grass-root.
Buat yang gaul dan tak gaul
Kembali ke Eko. Setelah saya tanya lebih dalam, ternyata alasannya juga menarik.
“Ya ini kan fair, dengan bagi hasil, ngga ada yang dirugikan. Makanya gua pake yang syariah,“ ungkapnya, “ya itung-itung ‘kan gua juga muslim, so ngga ada masalah-lah. Toh juga ini salah satu tuntunan agama kan?”