Di Indonesia, Bank Muamalat hadir sebagai pionir perbankan syariah pada 1991 dengan dukungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Indonesia (ICMI). Sistem perbankan syariah pun segera dilegalisasi dengan dikeluarkannya UU no. 10 / 1998 yang menggantikan UU no. 7 / 1992. Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa bentuk bank di Indonesia ada dua: bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Sistem yang digunakan ada dua pula: konvensional dan syariah. Jadi bank umum bisa syariah atau konvensial, pun demikian pada BPR.
Perkembangan perbankan syariah kian pesat hingga pada 2010 kemarin, jumlahnya cukup banyak. Harian Republika (25/11/2010) memberitakan bahwa bank umum syariah (BUS) di Indonesia telah mencapai 11 bank, di antaranya adalah Bank Muamalat Indonesia, Bank Mandiri Syariah, Bank Mega Syariah, BNI Syariah, Bank Jabar Banten Syariah, Maybank Syariah. Sementara, unit usaha syariah (UUS) mencapai 23 bank. Sebagai contoh UUS adalah BRI Syariah, Bank DKI Syariah, BII Syariah, Bank Danamon Syariah, dll. Dan, jumlah BPR Syariah telah mencapai 146 bank.
Pertambahan asetnya juga kian mengesankan sebuah perkembangan yang menjanjikan. Aset bank syariah berkisar 86 trilliun hingga Oktober 2010 sementara proyeksi Bank Indonesia (BI), aset ini akan mencapai 125 trilliun pada 2011 (tempointeraktif.com, 2011). Jumlah nasabahnya pun pada akhir 2010 telah menapai 6,5 juta jiwa (surabaya.detik.com, 2010)
Slogannya menarik: beyond banking (lebih dari sekedar bank). Bank syariah hadir memberi alternatif sistem perbankan yang ada, yakni konvensional. Dengan sistem bagi hasil-nya, memberi semacam jalan baru untuk perbankan negeri ini. Kecanggihan teknologi pun telah bersentuhan dengan perbankan syariah ini. Seperti diuangkap Eko, fasilitas e-banking, bahkan mobile-banking sudah menjadi layanan bank-bank syariah dewasa ini.
Dengan rata-rata perkembangan mencapai 33 persen selama lima tahun ke belakang, tentu potensi perkembangan sistem alternatif ini menjadi sangat menarik dijadikan bahan diskusi (Republika, 2010).
Rangkuman strategi bertajuk Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah pun disiapkan oleh BI melalui Komite Perbankan Syariah Direktur Direktorat Perbankan Syariah pada 2009 lalu. Strategi ini meliputi beberapa strategi utama yakni pencitraan baru, pengembangan segmen, pengembangan produk, peningkatan pelayanan dan komunikasi yang terbuka dan universal.
Mendangkal
Namun, fakta-fakta perkembangan perbankan syariah yang fantastis tersebut belum bisa menghindarkan perbankan ini dari kesan eksklusif. Seperti yang saya ungkap sebelumnya, kesan eksklusif tersebut, sayangnya terjadi secara umum: bank syariah adalah bank-nya orang muslim, khususnya yang jenggotan, yang pakai jilbab panjang, dan bercelana cingkrang. Untuk Eko? Itu tentu kejutan bagi saya.
Hal ini tentu menjadi hambatan bagi perkembangan bank syariah sendiri. Unsur keterbukaan yang seharusnya menjadi semangat utamanya, tereduksi oleh mekanisme tersembunyi yang mengurungnya menjadi eksklusif.
“Bank Syariah memang menjadi sebuah ekspresi keagamaan terutama Islam, tetapi masyarakat muslim sendiri yang terlalu dangkal memaknai,” ujar Handi Risza, dosen Master Manajemen dan Bisnis Keuangan Islam di Paramadina Graduate School. Dia, yang saya temui sekitar sebulan lalu, menyatakan bahwa ekspresi keislaman pada bank syariah akhirnya mendangkal pada wacana halal-haram dan tertutup.
Perbankan syariah adalah sebuah tunas baru alternatif perbankan yang akan memberi manfaat yang sangat besar bagi siapapun, baik muslim maupun non-muslim, bila sukses dijalankan. Tentu itu semua butuh dukungan. Dan bank konvensional yang memiliki potensi bantuan yang kuat serta-merta ditinggalkan begitu saja eksistensinya. “Mereka bermimpi bangkit sendiri tanpa bantuan orang lain karena dianggap itu haram,” tambahnya kemudian, “masalahnya, ini mau berkembang atau tidak, mau sukses atau tidak”.