Mohon tunggu...
M Rosyid J
M Rosyid J Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti

Researcher di Paramadina Public Policy Institute

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Meretas Kearaban Al-Quran

31 Agustus 2010   03:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_244769" align="alignleft" width="300" caption="(http://www.halaqah-online.com/)"][/caption] Ajaran Islam merupakan ajaran yang universal. Universalitas ini bukan hanya berarti melintas dimensi tempat maupun waktu, tetapi juga berguna (diperuntukkan) bagi semua umat manusia. Mungkin pernyataan ini akan menerima banyak kritik. Namun, perlu dipahami bahwa universalitas ajaran itu adalah esensi dari Islam itu sendiri. Islam mengajarkan sebuah bentuk ketundukan yang sejati pada Yang Berhak Disembah, Allah Swt., Tuhan semesta alam. Islam ajarkan bahwa sandaran hakiki hanyalah satu, yakni Pemilik Kekuatan Mutlak, Allah Swt. Islam mengajarkan ke-tawhid-an yang sejati, yang mengesakan Yang Memang Esa dan menuhankan Yang Memang Tuhan, la ilaha ila-llah. Allah berfirman Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui (QS 34:28). Bila dikaitkan dengan universalitas ajaran Islam, maka sudah selayaknya ajaran Islam tidak boleh dibatasi oleh penggunaan suatu bahasa tertentu. Maka, akan muncul proposisi bahwa penulisan al-Quran dalam bahasa Arab adalah tidak adil dan tidak semestinya. Sekilas, ini adalah sebuah “pengingkaran” terhadap universalitas itu sendiri. Tapi, apa memang demikian? Kalau mau diretas lebih teliti, maka sebenanya ini adalah masalah teknis penyampaian pesan daripada masalah nilai, dan terlalu jauh bila dikaitkan dengan soal “pengingkaran” tadi. Selain itu, hal ini juga merupakan ketentuan umum dan rasional bahwa wahyu diturunkan dalam bahasa kaum nabi yang menerimanya. Dalam hal ini, al-Quran sendiri menyebutkan Dan jikalau Kami jadikan al-Qur'an itu suatu bacaan dalam bahasa selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?". Apakah (patut Al Qur'an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka . Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh" (QS 41:44). Dalam tinjauan rasionalitas, maka adalah sudah pasti terjadi ketimpangan antara semangat universalitas yang dikandung oleh ajaran agama (Islam) dengan teknis pewahyuan yang berlaku padanya. Realitas duniawi adalah keterbatasan. Akomodasi terhadap ke-tidak-berbatas-nya kedalaman lautan nilai Tuhan tentu tak bisa terwujud. Dalam konteks ini, maka pemilihan atas kemasan teknis paling akomodatif pada pewahyuan adalah pilihan terbaik. Ini ditempuh untuk meminimasi keterbatasan-keterbatasan yang kelak bisa mengekang luapan nilai-nilai Tuhan yang akan diturunkan. Maka secara sederhana, kemasan yang dipilih tersebut termanifestasi dalam bahasa. Karena, manusia berkomunikasi dengan bahasa sehingga penerjemahan “Bahasa Tuhan” pun mau tidak mau harus sesuai jangkauan pemikiran manusia, dan sesuai bahasa wakil yang dipilih-Nya (nabi). Bahasa kaya Dalam pandangan Islam, mukjizat al-Quran adalah tidak bisa ditiru oleh siapapun. Ini merupakan doktrin dengan bukti empiris yang jelas. Salah satunya adalah ekspresinya yang unik dan khas. Bahasa Arab, sebagai the chosen language, memiliki ekspresi puitis yang kaya makna untuk mengakomodasi kekayaan nilai al-Quran. Satu kata bisa memiliki banyak makna tergantung konteksnya. Sekedar contoh ekspresi puitis yang khas adalah surah al-‘Alaq Qul a’udzu bi rabb al-falaq Min syarri ma khlaq Wa min syarri ghosiqin idza waqab Wa min syarri al naffatsati fi al ‘uqad Wa min syarri hasidin idza hasad Kekuatan-kekuatan bahasa Arab dalam mengekspresikan sesuatu memiliki keunikan yang khas. Ekspresi puitisnya memiliki semacam kekuatan metafisis pada pendengarnya. Pemilihan bahasa Arab dalam mengemas “wahyu terakhir” tentu bukan main-main. Bahasa Arab adalah bahasa yang kaya. Faktanya, dari semua bahasa di dunia ini, bahasa Arab adalah bahasa yang paling sedikit memiliki serapan. Bahasa Arab adalah bahasa yang selalu punya istilah sendiri. Di dunia ini ada empat bahasa yang memengaruh peradaban manusia: Sansekerta, Latin, Yunani, dan Arab. Semua bahasa tersebut telah lenyap (tidak berpenutur) kecuali Arab. Oleh karena itu, al-Quran sebagai, Kitab Suci, memang harus memiliki ekspresi yang kaya sekaligus dilengkapi apresiasi mistis atau spiritual yang memancar dari keunggulan ekspresi linguistik dari bahasa yang digunakan (Madjid, 2005). Dari sudut pandang inilah, lalu muncul anggapan bahwa al-Quran tidak bisa (tidak boleh) diterjemahkan. Kalaupun ada penerjemahan, semata-mata untuk memahami makna. Nama hasil penerjemahan bukan al-Quran, yakni “terjemahan” atau “tafsir”. Beberapa ulama memperbolehkan penerjemahan al-Quran yang berimplikasi pembolehan penerjemahan bacaan dalam rutual-ritual sembahyang, misalnya pada ritus khotbah. Meskipun demikian, penggunaan bahasa yang satu, yakni Bahasa Arab harus diutamakan. Ini akan memberikan rasa kesatuan dalam dunia Islam itu sendiri. Namun, tentunya pemahaman makna menjadi jauh lebih penting. Karena, substansi ajaran Tuhan tetaplah bukan pada bahasa-nya. Penguasaan terhadap bahasa al-Quran (Arab) adalah penting, tetapi pemahaman atas makna melalui penafsiran-penafsiran adalah jauh lebih diutamakan. Bila tidak, ritus-ritus peribadatan dalam sistem keagamaan ini akan kehilangan nilai penghayatan yang benar. Ibadah hanya menjadi rutualitas kosong yang terlihat simbolik. Dalam hal ini Nurcholish Madjid (2005) menyebutkan, ibadah hanya menjadi kumpulan gerakan penuh mantra yang magis, yang berseberangan jauh-jauh dengan semangat Islam akan tawhid yang sejati.(*) Muhamad Rosyid Jazuli pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU), mahasiswa Penerima Adaro Paramadina Fellowship 2008

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun