Mohon tunggu...
M Rosyid J
M Rosyid J Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti

Researcher di Paramadina Public Policy Institute

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Aku dan Kehidupanku (3)

22 Februari 2010   23:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:47 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_79638" align="alignleft" width="300" caption="SMA 1 Blitar"][/caption] Sekedar Kisah SMA Layaknya anak pada umumnya, tentunya aku juga ingin mendapatkan pendidikan yang layak. Bahkan, kalau bisa yang terbaik. Maka dari itu, aku memilih SMA 1 Blitar. Sebuah sekolah yang punya reputasi terbaik di kotaku, Blitar. Sebuah sekolah yang paling digemari oleh setiap anak SMP yang baru lulus. Kalau bisa masuk di sana, prestigious sekali. Syukur, aku bisa masuk. Awalnya aku mengira bangunan SMA ini berkorelasi positif reputasinya. Tapi kenyataannya ironi yang kudapatkan. Sekolah ini dipenuhi bangunan tua. Atap kelas-kelasnya tinggi sekali, persis bangunan peninggalan penjajah. Tak ada kesan sebuah sekolah modern seperti yang aku bayangkan selama ini. Aku kira semua areanya dibalut oleh rumput dan paving untuk tempat berjalan atau taman-taman indah tertata rapi. Tapi bukan itu nyatanya. Area Horor Masih banyak area yang hampa tak berhias sama sekali. Tanahnya kusam. Berpasir. Kalau hujan maka bersiaplah melihat sepatumu basah kuyub plus lumpur gratis yang tanpa diperintah menyasar sepatumu. Dan bila kau masuk dengan sepatu habis disemir, maka jangan harap bisa keluar dengan selamat. Kau akan melihat sepatumu dikerumuni oleh debu sialan yang merusak nan menjengkelkan. Bahkan, satu hal yang tak pernah masuk dalam rangkaian dugaan di otakku, sekolah ini dilengkapi dengan area paling horor. Sebuah lapangan basket tua dan kotor dan dikelilingi pohon-pohon tua nan tinggi. “Teksas” nama daerah itu. Katanya itu singkatan dari “tempat eksis anak smasa (SMA 1)”, tapi bagiku, "Eksis engga, menakutkan iya." Ada 3 kelas dan 1 laboratorium di sana. Horor juga ruang-ruang itu. Sungguh di luar dugaan. Selama ini ternyata hanya reputasinya yang baik, gedungnya sedikit menyedihkan. masih bagus bagunannya SMA 3. Tapi ya sudahlah, terlanjur masuk. Sequence Pertama: Karma Aku mulai sequence hidup di sekolah ini dengan biasa saja. Tak ada yang spesial. Tapi yang sedikit aku sayangkan, ternyata aku memulainya dengan menjadi penghuni Teksas. Sungguh aku tak menyangka. Kalau aku sebut teksas itu sedikit menyedihkan, maka orang-orang yang “terjebak” didalamnya juga sdikit menyedihkan. Aku ini adalah bagian dari orang-orang sedikit menyedihkan itu. Kesannya sedikit termarjinalkan. Aku dimasukan di salah satu kelas di dalam teksas. Kelasnya X-7. Sebuah pelajaran secara sederhana aku simpulkan. Jangan pernah mencibir atau mengumpat sesuatu hal, karena bisa saja kau nanti jadi bagian hal yang kau cibir itu. Inikah karma? Entahlah. Aku lewati masaku pada tahun pertama dengan sungguh tak berima. Datar saja. bahkan sedikit menyebalkan. Aku tak bertaji. Tak ada kontribusi. Padahal usia muda itu kesempatannya banyak. Meski demikian, bagaimanapun gedungnya, SMA-ku ini tetap yang terbaik. Aku berhutang budi pada SMA ini begitu banyak. Aku diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan menengah atas terbaik di kotaku. Aku dihadapkan dengan guru-guru berkualitas meski pembawaannya sedikit menjengkelkan, kadang malah bikin bosan. Dan tentunya, aku dapatkan teman-teman yang sungguh luar biasa. Teman-teman yang menjadi keluarga keduaku. Sequence Kedua: Bunderan HI Setelah menyelesaikan tahun pertamaku dengan begitu membosankan, aku akhirnya juga bisa melarikan diri dari cengkeraman teksas yang selalu membuatku tak nyaman. Akhirnya aku hengkang dari rumah hantu sialan itu. Aku akhirnya naik kelas dua. Aku dapatkan kelas yang jauh lebih lumayan. Kelas XI-IA 6. Tempatnya terang. Di depannya ada taman tua yang dibatasi kolam melingkar. Tak ada airnya nan terkesan kotor. Itu adalah area yang sering disebut bunderan HI (Hotel Indonesia). Aku tak yakin setiap anak di SMA itu pernah melihat bunderan HI yang sebenarnya. Tapi mengapa mereka sebut bunderan HI? Misteri. Berharap mendapatkan suasana kelas yang lebih baik, ternyata aku dimasukkan dalam kelas yang anak-anaknya super-individual. Tak mau tahu urusan orang lain. Ini bencana keduaku. Setelah lama aku menghuni “rumah hantu”, kini aku menghadapi anak-anak yang menyebalkan. Sampai-sampai beberapa guru bilang kalau kami ini meski sekelas, tapi punya gab. Kelas yang berlagak akur tapi menyimpan keretakan yang sangat potensial di dalam. Semu nan membahayakan. Memang beberapa teman telah bisa menyatu, tapi tetap berkelompok-kelompok. Tak ada sinkronisasi dan harmonisasi. Aku sendiri tak paham apa yang jadi sebabnya. Terasa saja. Kau pasti pernah merasa di mana suatu suasana yang tak ada kosa kata untuk menjelaskannya. Kelas yang membosankan. Bagaimana tidak? Hampir satu tahun tak ada kesamaan visi dan persepsi. Sequence Ketiga: Integrasi Rolasipasiji Ketika naik kelas tiga, aku dikejutkan oleh keputusan dewan guru yang tak mengacak kelas layaknya tahun sebelumnya. Kau tahu kan maksudnya? Aku akan melanjutkan masa terakhirku, di kelas yang paling membosankan itu. memang namanya berubah. Menjadi XII-IA 1. Tapi tetap saja isinya. Aku tak bisa apa-apa. Ya sudahlah, jalani saja. Sambil aku berdoa agar kelas ini berubah. Dan ternyata tuhan menjawab doaku. Aku tak paham kenapa Ia mengabulkannya. Maklum, aku ini bukan anak yang relijius-relijius amat. Perlahan ternyata keraguanku terkonfirmasi. Salah ternyata keraguanku. Dengan komposisi yang sama, ternyata kelas ini mulai berintegrasi. Mulai muncul keharmonisan antar anggota kelasnya. Mungkin juga karena kami mendapatkan wali kelas yang cukup tegas tapi sedikit membuat kami sekelas mencekam. Apa mungkin karena kesamaan rasa tercekam itu kelas kami jadi harmonis? Entahlah. Kami mulai familiar dengan jalan-jalan bersama. Kami sekelas sempat bersepeda bersama ke candi terkenal di kotaku. Kami semakin akur saja. Semuanya jadi kompak. Ketika bulan ramadhan, kami sekelas mengadakan buka puasa bersma, meski tak semua muslim. Ketua kelas kami pun bukan muslim. Kami kemudian mndeklarasikan diri menjadi sebuah kelompok massa yang sedikit konyol. Kami menyebut diri “Rolasipasiji”. Itu gabungan dari Rolas Ipa Siji. Bahasa jawa dari dua belas ipa satu (XII-IA 1). Main Kartu Tapi jangan dikira kekompakan itu selalu positif. Kekompakan kelasku juga punya sisi negatif. Inilah dunia, segalanya seimbang. Ada yang positif dan negatif. Yang baik dan yang buruk. Kami sekelas sering berkomplot untuk menciptakan cara-cara jitu ngrepek alias menyontek. Jangan salah. Solidaritas kelas kami sangat kuat, tapi mungkin sedikit kebablasan. Puncak kegilaan kelas kami adalah saat UAN. Saat pra UAN, kami sekelas malah menghabiskan waktu dengan main kartu. Kami main dua kartu. Poker dan UNO. Kami sering membuat forum kecil-kecilan. Bukan berdiskusi, tapi main kartu. Dan puncak solidaritas gila ini adalah terciptanya sistem kerjasama bersama sukses UAN. Namanya bagus, tapi hakikatnya adalah sistem contekan masal. Anak yang pintar bertugas menyebarkan jawaban pada yang lain. Ketika satu siswa telah mendapat jawaban, maka ia bertugas menyebarkan ke yang lain. Apa medianya? SMS. Karena soalnya multiple choice, maka sangat mudah untuk eksekusi program underground ini. Hanya cukup satu sms buat seluruh jawaban tiap pelajaran. Memang ini tak baik, tapi kami tak punya pilihan lain. UAN yang hanya 3 hari itu menentukan proses belajar kami selama 3 tahun. Pilihannya cuma dua saat itu. Lulus atau tidak. Tak ada kompromi macam-macam. Kalau lulus ya jalan terus, kalau tidak ya kalau tetep ingin lulus terhormat berarti mengulang satu tahun atau ambil paket C. Dilematis bukan? Tuhan Bersabar Kami dihadapkan oleh pilihan sulit. Maka, kami bertekad, kalau lulus, ya harus semuanya. Tak boleh ada yang tertinggal. Memang kami akui itu tak baik dan sungguh tak pantas dicontoh. Itu idealnya. Tapi kami terbentur keadaan. Kalau Kau bilang kami ini tak tahu aturan, maka kami akan jawab terima kasih mengingatkan. Kali itu mungkin Tuhan masih bersabar. Dia menitipkan sedikit nikmatnnya pada kami. Dua tahun silam, 2008, kami sekelas lulus semua. Juga seluruh siswa SMA, sekolahku lulus 100%. Aku kini telah hengkang dari SMA-ku itu. Aku juga tak lagi di kotaku itu. Aku merantau ke sebuah tempat di mana bunderan HI berada. Akhirnya aku melihat sendiri bunderan HI itu seperti apa. Tapi aku tak akan pernah lupa akan masaku yang kulalui di sana, di SMA itu. Karena masa itulah, aku jadi seperti saat ini. Beberapa hari lalu aku menilik sekolahku itu. Mumpung lagi libur kuliah. Aku tak dapati lagi gedung itu seperti dulu. Ia sekarang lebih baik. Tanah-tanahnya mulai tertata. Beberapa bagian telah dipaving. Taman-taman juga tertata rapi. Sudah nampak modern. Kelas-kelas tua yang dulu, kini sudah berubah. Sekolah itu membuka program enris (enrichment) dan aksel (acceleration) yang membatasi jumlah siswa perkelasnya. Jumlahnya lebih sedikit dari yang reguler. Kelas itu dilengkapi AC dan proyektor. Yang jelas mahal tentu biayanya. Aku dikasih tahu kalau biayanya lima kali lipat dari yang aku dulu bayar. Bagiku program ini sedikit mendikotomi, antara reguler dan program khusus. Hanya anak orang mampu yang bisa masuk. Pada kenyataannya memang demikian. Prestasi anak-anak "kelas khusus" itu, aku dengar, juga tak bagus-bagus amat. Tapi entahlah, aku tak terlalu mempedulikannya. Toh itu juga yang membuat sekolahku itu jadi lebih baik. Sementara bunderan HI tetap kering. Taman tuanya tetap tua. Bagaimana dengan teksas? Sudah lebih baik. Tanah daerah itu sudah di-paving. Tak ada lagi debu-debu sialan itu lagi. Sepatuku yang bersemir terbukti selamat. Lapangan basket telah dicat kembali, begitu juga ruang-ruang kelasnya. Sudah agak terang sekarang. Tapi aku tak tahu, masih ada aroma horor. Tak mau aku berlama-lama di sana. Ah, sekolahku, sudah lebih baik. Apa jadinya tahun-tahun selanjutnya ya? Baca juga tulisan ini di blogku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun