Gedung salah satu lembaga pemerintahan ini nampaknya lebih baik dari yang lain. Tentu saja, lembaga ini punya banyak urusan dengan perdagangan, penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri. Minggu lalu, langkah kaki saya semangat menuju gedung megah di bilangan Jl Gatot Subroto Jakarta itu.
Memakai baju bisnis kasual (kemeja lengan pendek, celana bahan dan sepatu semiformal), saya menuju ke sana, ada beberapa surat harus saya antarkan untuk sesuatu urusan. Mobil yang mengantarkanku berhenti di sebuah lobi gedung.
Segera saya berlari kecil menuju beberapa pria-pria yang nampak menjadi tenaga sekuriti gedung. Apabila anda ke beberapa gedung di bilangan SCBD (kebanyakan gedung milik swasta) sebagian besar pegawai ‘garis depan’ seperti ‘mas-mas’ sekuriti dan mba-mba’ front desk akan segera dengan senyum menyapa anda.
Apa yang bisa kami bantu, bapak/ibu ada keperluan apa? Itu kata mereka ramah. Sayang, bukan sambutan seperti yang saya lihat di gedung pemerintah ini. Lari kecil dan raut riang saya rupanya tak mendapat sambutan. Heran saya dibuatnya. Sampai saya mendekat, beberapa mas-mas sekuriti hanya memandangi diri saya. Tak ada senyum tak ada tanya.
Diam sejenak memandang aneh lalu ketika saya mendekat, masih tak ada sambutan. Saya pun membuka (pada fase ini sesorang duduk memandangi saya sambil memangkukan kepalanya pada tangannya), “Pak, saya membawa surat undangan untuk kepala lembaga ini. Kemana saya harus menghadap dan siapa…”
Belum selesai kalimat saya, salah seorang pria sekuriti berambut kriting memotong, “Mas mau antar surat tidak di sini. Ke TU Mas..”
“Baik Pak. Kemana saya ke TU Pak? Saya pertama kali ke sini. Bisa mohon bantuannya Pak saya diarahkan ke mana?”
Mendengar jawaban atau sekedar klarifikasi kecil itu, ia naik nada bicaranya,
“Kalau antar surat bukan di sini! Di TU sana! Mas keluar dari lobi ini jalan terus lalu ke kanan!!!”
Mendengarnya membuat sontak saya kaget. Mengapa tiba-tiba nadanya naik begini. Saya katakan, baik pak, baik pak. Bukannya mengantarkan saya kemana saya harus berjalan, mereka tetap memandangi saya, memastikan saya segera enyah dari muka mereka. Tak habis pikir saya dibuat mereka. Heran saya, mengapa begini sikap mereka? Apa tak ada standar pelayanan yang lebih baik?