Mohon tunggu...
M Rosyid J
M Rosyid J Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti

Researcher di Paramadina Public Policy Institute

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Office Boy dan Bahasa Inggris dalam Lingkaran #AksiBarengLazismu

18 November 2014   21:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:29 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_376296" align="aligncenter" width="490" caption="Jamal "][/caption]

“I like to music. I sing Qasidah and I playing guitar…”

Kata-kata tersebut sedikit terbata-bata diucapkan oleh seorang office boy (OB). Sedikit canggung ia mengungkapkannya di hadapan beberapa mahasiswa dari kampus tempat ia bekerja, yang duduk bersamanya dalam posisi melingkar.

Meski canggung, dengan jumlah lawan diskusi yang terbatas dan berada dalam lingkaran membuat Jamal, nama sang OB, nampak tak peduli dengan rasa canggungnya. Dengan lancar ia deskripsikan jenis musik apa ia sukai dan mengapa ia menyukainya.

Meski hanya berpendidikan SMA, ia ‘tak peduli’ meski yang menjadi teman diskusinya adalah para mahasiswa. Ia terlihat nyaman menggunakan Bahasa Inggrisnya yang belum sempurna. Berbahasa Inggris bagi orang berpendidikan tinggi dan mapan secara ekonomi tentu wajar, tapi bagi seorang Jamal, ini adalah kisah tentang keberanian dan kemauan belajar yang tinggi.

***

Conversational English Circle (CEC) at Paramadina. Itu adalah nama kelompok belajar Bahasa Inggris yang saya bentuk dua tahun lalu. Waktu itu saya masih menjadi mahasiswa di universitas Paramadina. Sejak pertemuan pertamanya, CEC mengajak siapapun untuk bergabung. Nama dan konsep CEC saya adopsi dari tempat saya belajar di Amerika Serikat beberapa tahun lalu. Dan, Paramadina, itu nama kampus tempat CEC ini berada.

Pada awalnya, saya membentuk kelompok ini ketika masih mahasiswa. Waktu itu hanya beberapa mahasiswa yang mau datang dan belajar. Namun setahun ini, anggota kelompok ini mulai bervariasi dan bertambah banyak.

Setelah saya sudah menjadi alumni dan bekerja, kawan saya yang masih mahasiswa memimpin kelompok ini. Kini, tak hanya mahasiswa, beberapa orang yang bekerja di kampus pun ikut serta: staf, driver, OB, dll. Jamal adalah salah satunya.

Pada setiap pertemuannya, seminggu sekali, anggota kelompok duduk melingkar. Jumlah lingkarannya menyesuaikan jumlah yang datang, tapi paling tidak satu lingkaran tidak lebih dari 10 orang di dalamnya. Lebih dari itu, diskusi bisa tidak efektif dan tidak memakan waktu lama. Selain itu, siapapun yang akan bicara akan merasa lebih percaya diri.

Apa yang disebutkan Jamal pada awal tulisan ini adalah jawaban ia untuk sebuah pertanyaan diskusi, “What kinds of music do you like? Why?” Waktu itu presentasinya bertemakan musik.

“I like to sing Shalawat because I love Nabi Muhammad… I can fly…” sontak ini mengundang tawa teman-teman di dalam kelompok diskusinya.

Bagi mereka yang baru mulai belajar, berbicara dalam Bahasa Inggris dalam kelompok kecil relatif meningkatkan keberanian mereka. Ia tidak harus menghadapi situasi yang terbuka yang bisa membuat mereka malu jika membuat kesalahan. Penelitian juga menunjukkan bahwa belajar dalam kelompok kecil terbukti meingkatkan motivasi belajar.

[caption id="attachment_376299" align="aligncenter" width="504" caption="Suasana CEC"]

14162959331174461186
14162959331174461186
[/caption]

Di sinilah kunci pentingnya menggunakan kelompok kecil dalam belajar bahasa, khususnya Bahasa Inggris. Dalam melaksanakannya, tentu di dalam tiap kelompok harus ada minimal seorang yang telah mahir sehingga memudahkan siapapun membutuhkan bantuan.

Setiap pertemuan berbeda-beda topiknya. Salah satu anggota diminta untuk presentasi apapun yang menjadi keinginannya. Topik beragam mulai dari kebudayaan, pendidikan, pekerjaan, film, musik, info beasiswa, dll.

***

Dalam CEC, siapapun boleh datang tentunya. Meski kebanyakan mahasiswa, beberapa OB kampus dan driver juga bergabung, ikut serta belajar Bahasa Inggris. Mereka datang atas keinginan sendiri? Tidak.

“Ayo datang nanti ya…” ajak saya pada Jamal minggu pertama CEC dimulai.

“Aduuuh, malu ane. Kagak bisa Bahasa Inggris. Ntar diketawain. Pingin sih, tapi… takut ngga bisa…” jawabnya waktu itu.

Saya melihat banyak sebenarnya banyak orang yang ingin belajar bahasa asing khususnya Inggris, namun mereka sulit dan takut untuk memulai. Bukan hanya Jamal, sulit juga rupanya mengajak mahasiswa untuk bergabung dan belajar bersama. Alasannya sama: malu, nanti ditertawakan, tidak bisa, dll.

Saya beruntung bisa, akhirnya, memaksa mereka untuk datang. Ketika pertama kali diminta bicara, Jamal memang malu-malu, demikian juga siapapun yang ikut dalam kelompok ini termasuk mahasiswa. Namun setelah satu demi satu kalimat diucapkan dalam Bahasa Inggris, beban ketakutan rupanya menghilang.

Pada setiap pertemuan, setiap anggota kelompok ini semakin aktif untuk memberikan komentar dan sekedar pandangan singkat tentang pertanyaan presenter. Situasi makin lama makin cair. Padahal, banyak orang seperti Jamal yang canggung karena menghadapi mahasiswa yang dianggap ‘berbeda kelas’.

Lalu mengapa ia bisa nyaman untuk bergabung dalam kelompok ini?

Jawabannya ada pada Bahasa Inggris itu sendiri. Dalam ilmu psikologi, Bahasa merupakan salah satu produk, kalau bukan bagian, dari sebuah budaya. Bahasa merupakan cerminan dari budaya para penuturnya. Lee Whorf (1956) menulis bahwa bahasa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi penuturnya baik bahasa itu adalah bahasa ibunya atau bukan. Inilah yang dinamakan linguistic determinism (Myers, 2014).

Sederhananya, jika sebuah bahasa berjenjang, banyak memiliki ungkapan dan ‘meliuk-liuk’, maka penuturnya pun bersifat demikian, banyak basa-basi dan tidak mau mengatakan sesuatu secara langsung. Sebaliknya, jika sebuah bahasa tidak atau kurang berjenjang dan ‘to the point’ maka penuturnya pun demikian sifatnya.

Berbeda dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris punya sifat yang relatif jauh lebih egaliter. Artinya, tidak ada jenjang yang harus digunakan oleh penuturnya untuk berbicara kepada siapapun. Contohnya, dalam Bahasa Inggris, kata ‘You’ digunakan jika anda ingin memanggil presiden, kepala sekolah, orang tua kita, teman kita, anak-anak kita dan siapapun lainnya. Semua sama saja. Dalam Bahasa Indonesia, kita sama sekali tidak bisa melakukan hal itu.

Kita harus pintar-pintar menggunakan kata: Tuan, Anda, Saudara, Kamu, Kau, Lu, dll yang dalam Bahasa Inggris hanya ‘You’.

Bagaimana dengan seserang yang bukan penutur aslinya? Apakah akan terpengaruh budaya dari Bahasa itu? Jawabnya ya. Linguistic determinism membuat kita akan merasa lebih setara dengan siapapun lawan bicaranya ketika berbicara dengan Bahasa Inggris.

Inilah yang juga terjadi pada Jamal. Meski berhadapan dengan mahasiswa, dirinya tidak merasa canggung. Sebab dengan mamakai Bahasa Inggris, dia merasa lebih egaliter. Ini juga meningkatkan kepercayaan dirinya untuk terus mengasah ketrampilan Bahasa Inggrisnya.

Namun ini tiak berlaku hanya untuk Jamal dan teman-teman OB lainnya yang bergabung dengan CEC. Egalitarienisme Bahasa Inggris tentu dirasakan mahasiswa yang ikut bergabung dan belajar di CEC. Mereka juga merasa setara dengan siapapun teman diskusinya sehingga mudah bagi mereka untuk ‘trial and error’ dalam berbahasa.

Anies Baswedan, Meteri Pendidikan RI dalam beberapa kali mengatakan bahwa “In the same time, we are not only our nations citizen, but we are also global citizens. So, we have to be able to express our ideas in a global expression!”

Kita tentu paham maksud global expression itu, yakni bahasa internasional dan tentunya salah satu dan yang ‘paling harus’ dikuasai adalah Bahasa Inggris. Inilah yang menjadi penyemangat teman-teman di CEC dan saya untuk terus menghidupkan kelompok ini.

***

Di Paramadina, CEC dijalankan dibawah organisasi bernama DKM atau Dewan Keluarga Masjid. Ini merupakan satu-satunya organisasi keagamaan yang berada di dalam kampus yang didirikan oleh alm. Nurcholish Madjid tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan Bahasa Inggris? Bukannya ini tidak sinkron? Jika kita melihat dengan standar yang ekstrim, tentu seharusnya DKM mendukung pembelajaran Bahasa Arab, bukan? Namun bukan begitu jalan yang diyakin oleh DKM di Paramadina.

Sebenarnya DKM juga memiliki program belajar Bahasa Arab, tapi pertanyaannya mengapa juga mendukung Bahasa Inggris?

Di kampus Paramadina, kami belajar bahwa kemajuan dan kemodernan adalah bagian dari ajaran agama. Menjadi beragama atau relijus juga berarti maju dan modern. Inspirasi ini sebenarnya bukanlah hal baru.

Pada zaman keemasan islam (Islamic Golden Age), menjadi seorang yang beragama juga berarti berilmu pengetahuan. Salah satu yang menjadi penyemangat DKM adalah sejarah badan ilmu pengetahuan yang dimiliki umat Muslim pada masa Abbasyyah di Baghdad, yakni Bayt al-Hikmah. Pada masanya, organisasi tersebut menjadi symbol kemajuan dan kemodernan yang melahirkan banyak ilmuan seperti Al Kindi dan Al Khawarizmi.

Pada masa itu banyak sekali transfer ilmu pengetahuan ke dalam dunia Islam yang diawali dengan penerjemahan ilmu-ilmu dan manuskripmanuskrip dari Yunani dan berbagai sumber lainnya. Kunci awalnya adalah pemahaman bahasa asing yang pada masa itu adalah Bahasa Latin.

Dari semangat itulah DKM mendukung kegiatan CEC ini. Saat ini, dunia modern banyak menggunakan Bahasa Inggris. Banyak seminar-seminar dan ilmu pengetahuan yang menarik dan penting disampaikan dan dituliskan dalam Bahasa Inggris. Karena itu, DKM meyakini menguasai Bahasa Inggris pun penting bagi umat, juga kegiatan CEC ini.

***

Metode duduk melingkar atau ‘sitting in circles’ telah memberikan bukti bahwa pembelajaran bahasa khususnya Inggris menjadi mudah. Setiap yang ingin belajar Bahasa Inggris akan diuntungkan dengan dua hal.

Pertama, Bahasa Inggris akan membuat dirinya  merasa ‘selevel’ dengan siapapun lawan bicaranya. Ini penting karena akan mempermudah proses belajar selanjutnya. Kedua, duduk melingkar dalam eklompok kecil menjadikannya lebih percaya diri karena tidak harus berbicara pada forum terbuka.

Dalam beberapa diskusi dengan presiden CEC dan pengurus DKM, kami ingin metode belajar seperti ini bisa diterapkan pada kelompok-kelompok belajar lainnya. Kalau memang perlu, ini bisai diterapkan di sekolah khususnya bagi mereka yang masih berusia dini.

Dalam waktu dekat, CEC akan mencoba untuk melebarkan jangkaunnya untuk berbagi manfaat tersebut. CEC ingin memulainya dengan bekerja sama dengan sekolah-sekolah dasar di sekitar kampus. Kegiatan sosial berupa permainan dan pembelajaran bahasa Inggris yang menyenangkan telah direncanakan. Kami yakin kegembiraan dan kesenangan yang kami dapat di CEC bisa juga didapat oleh anak-anak muda di tempat lain.

Tentu ini akan lebih berdampak ketika pembelajaran dimulai sejak dini yakni usia sekolah dasar, dengan catatan dijalankan dengan cara yang menyenangkan. Topik-topiknya tentu menyesuaikan. Peelitian juga menunjukkan pembelajaran bahasa sejak dini tentu lebih mudah dalam pemahaman dan praktiknya.

Kami yakin akan banyak pemuda kita yang mahir berbahasa Inggris nantinya. Yang sebenarnya jauh lebih penting adalah, ini juga akan memungkinkan makin banyak transfer ilmu pengetahuan bagi anak-anak muda kita.

***

Di setiap pertemuan, Jamal dan semua mahasiswa yang mengikuti CEC nampak rajin mencatat dan berbicara. Dua hal itu memang yang selalu kami tekankan jika ingin terus meningkatkan kemampuan berbahasa.

[caption id="attachment_376300" align="aligncenter" width="510" caption="Jamal dan segenap anggota CEC "]

1416296057243742717
1416296057243742717
[/caption]

Catatan sangat penting utnuk mencatat bukan hanya hal baru apa yang di dapat dalam setiap pembicaraan, tapi juga apa yang belum bisa terungkapkan. Dengan mencatat, mereka juga lebih mudah mengingat apa yang baru dan apa yang belum mereka kuasai.

“Ane semangat-lah! Kali aja ada rejeki di masa depan kan? Tapi yang ane pingin, my son can speak English. I want he have bright future…” kata Jamal tentang harapannya.

Di CEC kami punya keyakinan bahwa apa yang dikatakan Anies Baswedan bukanlah isapan jempol belaka. Menjadi berbeda dengan mengusi ekspresi internasional (dalam hal ini adalah Bahasa Inggris) sepertinya memang menjanjikan masa depan yang lebih baik. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun