Mohon tunggu...
M Rosyid J
M Rosyid J Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti

Researcher di Paramadina Public Policy Institute

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Office Boy dan Bahasa Inggris dalam Lingkaran #AksiBarengLazismu

18 November 2014   21:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:29 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada setiap pertemuan, setiap anggota kelompok ini semakin aktif untuk memberikan komentar dan sekedar pandangan singkat tentang pertanyaan presenter. Situasi makin lama makin cair. Padahal, banyak orang seperti Jamal yang canggung karena menghadapi mahasiswa yang dianggap ‘berbeda kelas’.

Lalu mengapa ia bisa nyaman untuk bergabung dalam kelompok ini?

Jawabannya ada pada Bahasa Inggris itu sendiri. Dalam ilmu psikologi, Bahasa merupakan salah satu produk, kalau bukan bagian, dari sebuah budaya. Bahasa merupakan cerminan dari budaya para penuturnya. Lee Whorf (1956) menulis bahwa bahasa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi penuturnya baik bahasa itu adalah bahasa ibunya atau bukan. Inilah yang dinamakan linguistic determinism (Myers, 2014).

Sederhananya, jika sebuah bahasa berjenjang, banyak memiliki ungkapan dan ‘meliuk-liuk’, maka penuturnya pun bersifat demikian, banyak basa-basi dan tidak mau mengatakan sesuatu secara langsung. Sebaliknya, jika sebuah bahasa tidak atau kurang berjenjang dan ‘to the point’ maka penuturnya pun demikian sifatnya.

Berbeda dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris punya sifat yang relatif jauh lebih egaliter. Artinya, tidak ada jenjang yang harus digunakan oleh penuturnya untuk berbicara kepada siapapun. Contohnya, dalam Bahasa Inggris, kata ‘You’ digunakan jika anda ingin memanggil presiden, kepala sekolah, orang tua kita, teman kita, anak-anak kita dan siapapun lainnya. Semua sama saja. Dalam Bahasa Indonesia, kita sama sekali tidak bisa melakukan hal itu.

Kita harus pintar-pintar menggunakan kata: Tuan, Anda, Saudara, Kamu, Kau, Lu, dll yang dalam Bahasa Inggris hanya ‘You’.

Bagaimana dengan seserang yang bukan penutur aslinya? Apakah akan terpengaruh budaya dari Bahasa itu? Jawabnya ya. Linguistic determinism membuat kita akan merasa lebih setara dengan siapapun lawan bicaranya ketika berbicara dengan Bahasa Inggris.

Inilah yang juga terjadi pada Jamal. Meski berhadapan dengan mahasiswa, dirinya tidak merasa canggung. Sebab dengan mamakai Bahasa Inggris, dia merasa lebih egaliter. Ini juga meningkatkan kepercayaan dirinya untuk terus mengasah ketrampilan Bahasa Inggrisnya.

Namun ini tiak berlaku hanya untuk Jamal dan teman-teman OB lainnya yang bergabung dengan CEC. Egalitarienisme Bahasa Inggris tentu dirasakan mahasiswa yang ikut bergabung dan belajar di CEC. Mereka juga merasa setara dengan siapapun teman diskusinya sehingga mudah bagi mereka untuk ‘trial and error’ dalam berbahasa.

Anies Baswedan, Meteri Pendidikan RI dalam beberapa kali mengatakan bahwa “In the same time, we are not only our nations citizen, but we are also global citizens. So, we have to be able to express our ideas in a global expression!”

Kita tentu paham maksud global expression itu, yakni bahasa internasional dan tentunya salah satu dan yang ‘paling harus’ dikuasai adalah Bahasa Inggris. Inilah yang menjadi penyemangat teman-teman di CEC dan saya untuk terus menghidupkan kelompok ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun