[caption id="attachment_394616" align="aligncenter" width="461" caption="(espn.go.com)"][/caption]
Apa masalah di dunia olahraga kita, khususnya sepakbola? Tentu banyak sekali kalau mau merinci satu per satu. Tapi alangkah menarik menilik komentar seorang mantan wasit FIFA asal Indonesia Jimmy Napitupulu:
“Saya melihat dari laga AFF ini, terlihat sekali kalau pemain Indonesia itu bodoh-bodoh. Mereka tidak paham aturan permainan. Karena tidak ada suporter, wasitnya asing, jadi mereka cuma bisa menunduk saja.” (Detikcom, 2014)
Komentar Jimmy ini keluar setelah secara tidak mengejutkan ketika Indonesia kalah dari Filipina di Piala AFF Suzuki Cup pada 2014 silam. Pada gol yang ketiga, bukannya menyadari kesalahan mereka, pemain Indonesia sibuk memprotes wasit. Yang lebih memalukan adalah kipper Kurnia Meiga yang jelas-jelas membuat kesalahan dengan menangkap backpass, ikut memprotes dan tak segera kembali ke gawang.
Kalau bicara contoh secara umum, sudah menjadi pemandangan umum di setiap pertandingan sepakbola kita bahwa wasit jadi bulan-bulanan. Bukan hanya oleh pemain, tapi juga supporter.
Dari sisi taktik dan fisik, pemain Indonesia memang sudah membuat kemajuan. Cara bermain pemain Indonesia memang baik. Akan tetapi, tingkah laku dan kepatuhan pada peraturan, pemain-pemain Indonesia tak bisa diandalkan.
Dalam semua bidang olahraga, peraturan menjadi hal yang krusial dan pokok. Mengapa? Karena dengan peraturan, keadilan dan keamanan bisa diciptakan dalam setiap pertandingan. Peraturan memastikan bahwa yang bertanding memiliki kekuatan yang relatif sebanding. Selain itu, juga yang perlu diperhatikan adalah keamanan tiap pemain juga dipastikan. Itulah fungsi peraturan.
Wasit itu sakral
Di negara-negara yang olahraganya telah menjadi industri besar, posisi peraturan atau rule of the game ini seperti konstitusi dalam negara. Sudah jelas, pada siapapun yang melanggar, sanksi siap dijatuhkan. Siapa yang menjatuhkan? Di atas lapangan pertandingan, setiap cabang olahraga (resmi) memiliki wasit. Di pundaknyalah peraturan ditaruh. Karena itu, posisi wasit sangat sakral!
Di luar pertandingan, tentu ada pihak lain yang juga memantau keadilan dalam olahraga. Banyak bentuknya. Biasanya ada komite atau komisi etik yang menampung banding siapapun yang tidak puas dengan keputusan wasit.
Tentang kesakralan wasit ini, di negara industri olahraga, hal ini sangat dijunjung. Apapun kata wasit, itu yang akan diikuti oleh pemain. Apakah bisa protes? Tentu bisa! Tapi tentu dengan cara yang baik dan ‘resmi’, artinya mengikuti aturan banding yang ditentukan.
Dalam situasi protes, pemain sering kali meneriaki, berdebat bahkan ada yang merengek meminta perubahan keputusan. Itu semua sah dilakukan. Namun yang perlu diperhatikan adalah dalam setiap banding dan perdebatan, pemain dilarang keras berkontak fisik dengan wasit!
Jika kita melihat English Premier League (EPL) di Inggris dan National Football League (NFL) di Amerika Serikat, wasit benar-benar seperti dewa! Sering terjadi debat antara wasit dengan pemain, tapi pada akhirnya, pemain harus menerima. Bagaimana untuk menjaga netralitas wasit?
Kalau kita perhatikan, hampir di semua olahraga, wasit tidak berjumlah satu. Di sepakbola setidaknya ada 5 wasit yang memimpin. Di NFL juga demikian. Karena itu jika harus mengambil keputusan yang sulit, mereka harus saling berkonsultasi. Bahkan, di NFL, dikenal namanya official review yang memungkinkan sebuah tim meminta penangguhan keputusan wasit dengan melihat rekaman pertandingan. Pengadil bukan lagi hanya manusia, tapi juga teknologi.
Kembali ke kasus olahraga di Indonesia, kita tentu bisa memilai jika apa yang terjadi dengan timnas Indonesia pada Piala AFF saat ini adalah tragedi memalukan yang didalangi pemain Indonesia sendiri. Betapa tidak? Sudah jelas-jelas melakukan kesalahan, bukannya segera mempersiapkan diri untuk menerima tendangan bebas dari lawan, pemain Indonesia malah sibuk mengerubungi wasit.
Dalam setiap pertandingan sepakbola di tanah air, tak jarang bahkan mereka tanpa segan-segan mendorong-dorong tubuh wasit. Bahkan ada yang memukulnya! Ini tentu memalukan sekali! Artinya, sebagai atlet, mereka tidak paham apa yang menjadi semangat olahraga dan setinggi apa posisi wasit itu.
Apa yang membedakan atlet profesional dengan pemain bola liga kampung? Yang pertama, mereka tahu kalau mereka adalah seorang professional yang tentu menjunjung tinggi peraturan. Mereka bermain dengan lawan yang sebanding dan mematuhi segala peraturan dan keputusan wasit.
Sementara yang kedua, mereka asal main saja. Tak ada aturan ketat soal umur, fisik dan sebagainya. Tapi di luar stereotip ini, tentu ada beberapa liga kampung yang bermain secara profesional.
Melihat cara bertingkah (behave), bukan bermain, pemain Indonesia, kita harus katakan bahwa mereka belum bisa disebut profesional. Sikap mereka yang tak punya penghormatan pada peraturan harus menjadi perhatian serius jika olahraga Indonesia ingin terus berkembang.
Bendera fairplay yang dibawa masuk setiap sebelum pertandingan dimulai jangan dianggap kain hiasan saja. Sebab sebenarnya, itulah pokok inti setiap pertandingan.
Tulisan ini juga telah diposting di Indonesia Sport Network
FYI: Indonesia Sport Network atau ISN dibentuk oleh beberapa anak muda dari latar berbeda yang peduli pada olahraga di negeri ini dan meyakini bahwa Indonesia bisa punya system kompetisi, karir dan rekor olahraga yang lebih baik. Melalui riset-riset dan rekomendasinya, ISN ingin menciptakan industry olahraga dalam negeri yang menjadi pilar ekonomi bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H