Mohon tunggu...
Sukron  Makmun
Sukron Makmun Mohon Tunggu... Editor - Peneliti, penulis

I'm a go-lucky-man, just free me from all these rules from needing to find an explanation from everything, from doing only what others approve of...

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Covid 19; Psikoterapi Haji Gengsi

7 Juni 2020   08:20 Diperbarui: 7 Juni 2020   08:40 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa (2/6/20) kemarin, pemerintah melalui Kementerian Agama RI, secara resmi memutuskan untuk tidak memberangkatkan calon jamaah haji pada tahun ini (1441 H). Kabar buruk bagi sebagian orang sekaligus kabar baik bagi mereka yang bersabar. Peristiwa Covid 19 ini melatih kita untuk berpikir jernih, sekaligus menyadarkan kita, bahwa betapa kita ini bukan siapa-siapa, terlalu kecil jika dihadapkan pada kekuasaan Tuhan yang Mahadahsyat itu.

Banyak di antara kita yang ingin tiap tahun berangkat haji, 1-3 kali berangkat umroh. Padahal Nabi ---yang tinggal di Madinah--- dalam catatan sejarah melakukan haji hanya sekali. Apakah ibadah kita ini wujud (implementasi) dari sebuah hadits yang mengatakan bahwa antara umroh satu dengan umroh yang lain adalah pelebur dosa? Atau bentuk lain dari pengumbaran nafsu, menyembah setan dengan kedok menyembah Allah di rumah-Nya? New normal adalah kembali pada kenormalan yang sesungguhnya. Back to normal. Karena bisa jadi, kehidupan kita selama ini, tidak normal (abnormal) atau normal semu.

Di antara ketidaknormalan adalah, ketika kita menaikkan citra kesalehan di depan masyarakat dengan segala gelar dan aksesoris duniawi. Gelar 'haji' adalah di antara simbol yang dibeli untuk itu. Untuk mendongkrak citra, dan status keagamaan seseorang. Kita dipaksa seolah harus menuruti ekspektasi orang lain tentang diri kita, untuk sibuk mencitrakan diri sedemikian rupa. Umroh sesering mungkin, meskipun di dekat rumah kita masih banyak tetangga yang kesusahan; susah makan, susah sekolah dlsb. Kalaupun menyantuni anak yatim dan membantu sesama, ujung-ujungnya juga demi citra kesalehan tadi, sekadar pantas-pantas, atau alih-alih membuang uang sial. Bukan khalishan li wajhillah.

Bukan kah di antara kita ada yang berobat harus ke Singapura. Padahal penyakit yang sama dapat diobati RS. Sari Asih atau RSUD? Bukankah di antara kita banyak yang latah, memakan kepiting yang biasanya 40-89 k, demi gengsi, rela merogoh kocek lebih dalam: S$ 80 (1 juta) untuk seporsi yang sama di dekat Mirlion, atau Chatsworth? Betulkah, cari suasana atau citra (status sosial) baru?

Minum kopi yang bisa dinikmati dengan harga 3-7 k, harus dibayar 40-100k di kafe semacam Starbucks, Gloria's Jean & Hard Rock. Kenapa segelas kopi menjadi mahal, berlipat-lipat dari harga dasar kopi yang sesungguhnya? Karena, selain kita yang harus bayar pajak, juga bayar harga sofa, outlet, dan yang lebih mahal lagi adalah harga simbolnya. Harga sebuah imajinasi tentang gengsi, bukan subtansi. Prestise, bukan prestasi. Citra, bukan cita-rasa. Fenomena hiperrealitas (HR) ini, menjadi semakin dahsyat setelah ditemukan media sosial, seperti FB, Twitter, dan IG.

Hikmah adanya pandemic Covid 19 ini, kita semua takut keluar, takut berkerumun, dan bersosialita. PSBB mengajarkan kita hanya keluar rumah, untuk sesuatu yang kita perlukan saja. Tidak lebih, tidak kurang. Seolah kita dipaksa oleh keadaan untuk tidak mengunggah imej-imej kita di depan outlet-outlet pendongkrak citra diri itu. Minimal sampai vaksin ditemukan. Syukur-syukur pandemi ini bisa menyadarkan kita tentang realitas yang terlampau over tadi. Menyembuhkan kita dari gangguan psikis akibat kebutuhan-kebutuhan eksistensi (aktualisasi diri) yang serba imajiner itu. Semoga kita sadar, bahwa yang kita butuhkan sebenarnya hanyalah sepiring nasi, segelas minuman untuk menyambung nyawa, untuk bekal ibadah ...that's all! Kebutuhan diri sesungguhnya adalah kebutuhan primer yang sangat simple. Korupsi dan kejahatan lain, hanyalah akibat dari ketamakan. Keinginan-keinginan yang sifatnya tersier, yang sebenarnya tidak relevan.

Sewaktu Umar r.a. dinobatkan sebagai khalifah. Amirul mukminin itu memberi sambutan jauh dari ekspektasi yang diasumsikan para sahabat yang hadir. Beliau hanya mengatakan, bahwa semasa kecilnya, beliau ikut bibinya dan bekerja hanya untuk dua tiga butir kurma. Dari kurma-kurma itu beliau menyambung hidup sampai beliau diangkat menjadi orang nomor satu, pemimpinnya kaum Muslimin.

Nabi Muhammad Saw., semasa hidupnya lebih dahsyat lagi. Beliau hidup dengan sangat sederhana. Dikisahkan bahwa, jika Aisyah r.a. ditanya, apakah ada makanan? Jika ada, beliau akan makan dan berhenti sebelum kenyang. Jika tidak, beliau lanjut puasa. Artinya, sang manusia agung itu berhenti pada kebutuhan dasar tadi. Tidak lebih.  Luxury, prestige & status tidak pernah ada dalam kamus beliau. Karena ketiganya itu adalah pernak-pernik duniawi sementara. Dunia sesungguhnya kesempatan untuk bersujud (status penghambaan), tempat awal untuk menyaksikan kekuasaan Yang Mahaagung. Prioritas dan tujuan utama adalah akhirat. Di sanalah kedudukan manusia yang sesungguhnya. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun