Mohon tunggu...
Sukron  Makmun
Sukron Makmun Mohon Tunggu... Editor - Peneliti, penulis

I'm a go-lucky-man, just free me from all these rules from needing to find an explanation from everything, from doing only what others approve of...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tips untuk Muslim yang Tinggal di Negeri Mayoritas Non-muslim

31 Mei 2020   11:39 Diperbarui: 31 Mei 2020   13:26 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minoritas bisa berarti seorang muslim tinggal (stay) di negeri nonmuslim seperti di Jepang, Korea, Tiongkok dan lain sebagainya. Bisa berarti juga, seorang muslim yang tinggal di negara berpenduduk mayoritas muslim, namun nilai-nilai, atau ritual keagamaan tidak dijalankan secara masif oleh masyarakatnya.

Ketika seorang muslim berada di negara-negara tersebut, tentunya membutuhkan seni untuk mempertahankan diri dari godaan-godaan yang memberi dampak psikologis maupun ideologis. Meskipun tekanan psiko-sosial di negara yang masuk kategori pertama tentunya lebih besar.

Seseoarang ketika dalam situasi tersebut ada dua kemungkinan. Pertama, semakin kuat imannya. Semakin tinggi tekanan, semakin tinggi pula daya untuk bertahan. Kedua, melemah imannya; terpengaruh oleh keadaan dan terseret arus.

Agar dapat bertahan (survive), berikut adalah beberapa tips ketika muslim pada posisi sebagai minoritas:

1. Menjaga shalat. Meskipun di negeri orang ---yang mayoritas penduduknya adalah non-muslim---, shalat tetap kewajiban yang tak bisa ditawar. Shalat bisa menjadi penglipur lara, sekaligus sarana untuk mengundang pertolongan Allah. Ia harus selalu ingat bahwa di antara cirri-ciri orang baik adalah, ketika ia dikasih kekuasaan (kesempatan baik), ia mengerjakan shalat dan menunaikan zakat.

(yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; dan kepada Allahlah kembali segala urusan. (QS. al-Hajj [22]: 41).

Bekerja di negeri orang (ekspatriat) adalah salah satu kesempatan baik yang perlu disyukuri.

2. Menahan diri untuk tidak mengomentari dinamika kehidupan beragama penduduk lokal. Juga tidak terlibat dalam kegiatan, atau mencampuri urusan politiknya. Sebagai tamu ia tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga sang pemilik rumah.

Ketika melihat sesuatu yang janggal dilakukan oleh penduduk setempat ---yang menurut kita bertentangan dengan agama--- maka tidak semerta-merta kita harus melakukan amar ma'ruf nahi mungkar (AMNM). AMNM selalu berkaitan dengan ruang dan waktu. Jangan sampai AMNM menggunakan kekerasan fisik maupun verbal. Kontra produktif dan justru akan menambah masalah baru. 

Secara umum kekerasan tidak mengundang simpati, tapi menjadikan banyak orang yang antipati. Kita perlu tahu bahwa dosa/ kemaksiatan biasanya dilakukan karena ketidaktahuan. Al-unfu yunaffiruhu 'ani at-taallum wal amal (Syajaratu al-Ma'arif, hal. 199).

Ibnu Khaldun, seorang sosiolog muslim kenamaan, mengatakan bahwa kata "amr" berarti urusan; "ma'ruf" adalah sesuatu yang sesuai fitrah manusia dianggap lazim, baik dan wajar. 

"Munkar" adalah lawan (opposite) dari kata ma'ruf: sesuatu yang tidak lazim secara agama maupun norma (adat-istiadat). Sehingga untuk mengetahui mana yang ma'ruf  dan mana yang mungkar? Tidak perlu Syari'at untuk menjelaskannya. Karena fithrah yang sehat sudah dapat mendeteksi mana baik dan mana yang buruk.

Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa ada syarat-syarat tertentu untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Pertama: adna al-mal (kemampuan ekonomi/ finansial); Kedua, adna al-Jah (pengaruh/ posisi). Artinya, kewajiban tersebut sangat bergantung pada sejauh mana kekuatan ekonomi dan posisi sosio-politik seseroang. 

Seorang muslim harus memiliki bargaining power. Standar minimalnya adalah adna al-mal wa adna al-jah yutahasshanu bihi dinuhu. "La budda min rujulin min malin au adna jahin yutahasshanu bihi dinuhu", lanjutnya. Seorang harus memiliki harta/ kedudukan yang dengannya ia bisa menjaga agamanya.

Itulah sebabnya, kenapa Allah tidak mengutus seorang  nabi, kecuali ia berasal dari klan/ keluarga terpandang. "ma baatsallahu nabiyyan illa min mana'atin min qaumihi". Hikmahnya adalah, agar para nabi tidak mengalami kekerasan sosial yang lazimnya menjadi resiko para penyeru kebenaran yang melawan arus dan melawan status quo. 

Penyeru kebenaran perlu kuat secara finansial; atau memiliki kedudukan sosial yang diperhitungkan. Kisah para rasul sebelumnya juga demikian. Nabi Shaleh a.s. juga dari keluarga ningrat. Dialognya dengan kaumnya telah diabadikan dalam al-Qur'an (QS. Hud [11]: 62).  Demikian juga nabi Syuaib as. ia adalah keturunan darah biru, keluarga aristokrat

 "...kalau tidak karena keluargamu, tentu kami telah merajam mu, sedang kamu pun bukan seorang yang berpengaruh di lingkungan kami". Ia menjawab, "wahai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut kalian dari pada Allah, bahkan Dia kalian abaikan?..." (QS. Hud: 91-92).

AMNM ketika tidak memenuhi syarat, sangat berpotensi untuk membawa bahaya, seperti pembunuhan dan kekerasan sosial yang lain. Sejarah telah mencatat, pada masa dinasti Abbasiyah, ada kelompok oposan yang berani melawan penguasa, karena tidak memiliki kekuatan yang memadai, maka para pembangkang tersebut akhirnya dihukum gantung, mati sia-sia.

Di Indonesia, muslim menjadi leluasa, dan ritual-ritual keagamaan dengan semarak diadakan, karena kita adalah mayoritas. Secara politik kita memiliki daya tawar. Itulah sebabnya, sejak zaman Walisongo kaum muslimin telah berpolitik dan bahkan berlanjut sampai sekarang. Dengan kekuatan politik AMNM lebih mudah untuk diterapkan.

3. Ketika seorang muslim berada di negeri orang ---sebagai minoritas, hendaknya ia memposisikan dirinya sebagai duta Islam (brand ambassador), merepresentasikan Islam, sebagai cerminan Islam yang indah, toleran dan damai. Berakhlak luhur (very manners) serta memiliki kepribadian yang kuat (strong personality). Ia harus ingat bahwa keberadaannya di negeri orang (Cq. Jepang), adalah sebagai bentuk kesaksian atas kebenaran bacaan i'tidal, "rabbana laka al-hamdu mil'ussamawati wa mil'ul ardhi..." bahwa di negeri atheis, komunis, paganis sekalipun, tetap ada orang-orang yang selalu memuji Allah. Islam bisa terus eksis dan berkembang melalui tangan siapa saja, tidak peduli status sosial pembawanya. Islam masuk ke tanah air melalui tangan para pedagang ---yang mencari uang. 

Tentunya, pekerja yang di negeri orang ini juga memiliki tujuan yang sama dengan para pedagan tersebut, yaitu sama-sama bekerja untuk mencari uang. Islam adalah agama yang sesuai fitrah, dan mudah dipahami oleh siapapun. Kebenarannya bersifat absolut, sehingga siapapun yang bawa, siapapun yang menerima, tidak akan jadi masalah. Islam tetap akan eksis.

4. Tidak boros. Selain hal ini dilarang agama, juga menjadikan orang yang sudah bekerja bertahun-tahun di negeri orang, berpotensi pulang dengan tangan kosong. Bekerja di luar negeri ---sebagai profesional, semi pro, maupun pekerja migran biasa--- seharusnya mampu memberikan nilai tambah, dapat merobah nasib ke arah yang lebih baik. 

Boros dapat menjadi faktor di mana syarat yutahassanu bihi dinuhu menjadi terhalang. Ia pangkal kemiskinan dan ketidakberdayaan. Kemiskinan pangkal kekufuran "kada al-faqru an-yakuna kufran".  

Hemat agar dapat menabung dalam rangka ikhtiar untuk menjaga agama, agar kita mudah mendirikan shalat karena kita tidak bergantung secara ekonomi kepada orang yang bisa saja melarang kita untuk menjalankan syariat. Menabung bukan dalam rangka menumpuk kekayaan, bermegah-megahan.

5. Toleransi. Ketika kita tinggal atau bekerja di negeri orang, maka kita harus toleran terhadap perilaku warga lokal, maupun kepada teman-teman kita. Karena kita sedang berada dalam perantauan. 

Toleransi ini sudah dipraktikkan sejak zaman Nabi. Tugas kita hanya menyampaikan dan mengajak. Tidak ada hak memaksa orang lain untuk mengikuti pandangan, selera bahkan keyakinan kita. La ikraha fiddin. 

Jika kebaikan dan kebenaran telah kita sampaikan, maka "lakum dinukum waliyadin". Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Kita tidak boleh menghina agama/ kepercayaan orang lain. Lebih-lebih menghina agama penduduk setempat. Kita adalah tamu, harus menjaga etika. 

Dahulu, sahabat Nabi pada waktu masih baru-baru Islam di Makkah, ada beberapa yang menghina (mengumpat) berhala-berhala yang masih tersimpan di area masjidil haram dan sekitarnya. Sehingga turun ayat: wala tasubbulladzina yad 'una min dunillahi fa yasubbullaha 'adwan bighairi ilmin (QS. al-An'am [6]: 108). 

Ini sejalan dengan hadits yang menyatakan bahwa seseroang tidak boleh mengumpat ayahnya. Lalu sahabat bertanya, bagaimana seorang bisa mengumpat ayahnya? Yaitu ketika dia menghina ayah orang lain, kemudia orang lain itu membalas mengumpat dengan umpatan yang setimpal. "la yasubbu ar-rajulu abahu. Fakaifa yasubbu ar-rajulu abahu? Yasubbu abarrajuli fa yasubbu ar-rajulu abahu."

Seseorang harus membiasakan diri untuk dapat menerima perbedaan. Dapat menerima orang lain yang berbeda baik berbeda dalam hal kebangsaan, warna kulit, agama, status sosialnya dll, adalah budaya yang baik. Umat ini selalu baik, justru kalau dapat menerima atau membiarkan adanya perbedaan ---untuk tidak mengatakan dipaksakan untuk beda. Karena dalam kehidupan, banyak sekali kebaikan yang lahir justru dari sebuah keragaman maupun perbedaan. 

Perbedaan adalah sunnatullah, sebagai sarana keseimbangan alam, agar saling membutuhkan satu sama lain, agar roda kehidupan tetap berjalan (lihat QS al-Hajj [22]: 40 dan az-Zukhruf[43]: 32). Cinta agama dan ajarannya, harus berdasar pada ilmu. Jika tidak, akan cenderung berlebihan (ekstrem). Dan segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.

Manusia secara umum menjadi anti kepada kemaksiatan atau kejahatan adalah ketika hal itu dilakukan oleh orang lain, bukan dirinya sendiri atau keluarganya. Atau ketika ia berada di lingkungan yang baik. Di lingkungan yang baik, ia akan benci orang maksiat, benci jika ada orang tidak shalat. Tapi ketika ia berada di lingkungan yang mayoritas dari mereka adalah tidak shalat, ahli maksiat, atheis, paganis dlsb., ceritanya akan beda. Ia dalam kondisi tidak memiliki pilihan untuk memilih teman yang baik. 

Sangat sulit untuk tetap bersikeras terhadap sahabat yang tidak shalat atau ahli maksiat ---paling tidak, tidak sekeras, dan sebenci dulu. Karena sahabat tetap sahabat. Tentunya, bukan berarti kita membenarkan kemaksiatan, atau kekufuran seperti ini, tapi ini soal realitas. 

Keadaan terkadang memaksa orang untuk lebih longgar dan toleran. Keadaan sulit dapat menjadikan orang semakin bijak bestari. Dalam akidah Ahlusunnah waljamaah, status keislaman seseorang itu permanen dan melekat, meskipun ia melakukan dosa besar, meskipun ia fasik atau munafik, selama yang bersangkutan masih memegang syahadatain.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat mencerahkan siapapun yang membaca, di manapun ia berada. []

_____

Ini adalah rangkuman materi yang disampaikan penulis pada Islamic Online Courses Dompet Dhuafa Jepang via Zoom, pada 7 Mei 2020/ Ramadhan 1441 H. Versi live-nya bisa ditonton via Youtube Dompet Dhuafa Jepang atau channel CORDOFA TV.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun