Mohon tunggu...
Sukron  Makmun
Sukron Makmun Mohon Tunggu... Editor - Peneliti, penulis

I'm a go-lucky-man, just free me from all these rules from needing to find an explanation from everything, from doing only what others approve of...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tolak RUU-KUHP, Aksi Mahasiswa Minus Filosofi dan Literasi

1 Oktober 2019   20:24 Diperbarui: 2 Oktober 2019   06:40 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Muhammad Abduh, seorang cendekiawan Muslim tersohor dari Mesir, dulu pernah mengkritik hasil-hasil negatif dari tujuan pendidikan yang pragmatis seperti itu. Rupanya kritikan Abduh belum pernah didengar dan dibaca oleh adik-adik mahasiswa di tanah air. Sehingga gerakan-gerakan yang sifatnya politis, pragmatis dan oportunis terulang kembali.

Hendaknya setiap aksi itu terkonsep dengan matang. Punya filosofi yang jelas. Membaca berbagai literasi sebelum mengkritisi yang lain. Jangan asal 'waton ngomong'. Akibat dari aksi kalian, banyak kerugian fisik maupun non fisik.

Meskipun demo itu hak konstitusional setiap warga negara, tapi harusnya dipertimbangkan terlebih dahulu dampaknya. Untung ruginya (maslahat-mafsadat). Dalam kaidah Ushul Fiqh, Dar'u al-Mafasid Muqaddamun 'ala jalbi al-Mashalih (Mengantisipasi terjadinya kerusakan harus diprioritaskan lebih dahulu meskipun ada potensi maslahat di situ).

Pengerahan masa sangat berpotensi menimbulkan kerusakan, karena masa dengan sekala besar umumnya sangat mudah tersulut, terprovokasi sehingga kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan akan lebih besar. Sehingga melihat kaidah tadi, kebolehan berdemo yang awalnya boleh (mubah) sejatinya mubah lidzatihi.

Tapi jika dilihat dari dampak yang ditimbulkan, maka mubah menjadi daur baina al-halal wa al-Haram. Dalam konteks ini karena potensi mafsadatnya lebih besar, maka potensi keharamannya juga lebih besar. Kepentingan dan ketertiban umum harusnya diperhatikan.

Seandainya pemimpin itu zalim, menasehatinya juga perlu tatakrama, sebagaimana Musa saat menasehati Fir'aun. Apalagi pemimpin negeri ini bukan Fir'aun, yang tega membunuh anak-anak dan perempuan, ia belum terbukti despotik atau hobi koleksi harem.

Selain itu, kewajiban menghormati dan mentaati pemimpin adalah suatu kewajiban yang disinggung dalam kitab suci umat Islam. Kewajiban taat tidak terbatas hanya kepada pemimpin yang cocok dengan selera. Karena jika demikian, berarti itu menuruti hawa nafsu, ada kepentingan like and dislike di situ.

Itulah sebabnya, terma pendidikan kurang pas jika diterjemahkan at-Tarbiyah (Arab) karena kata ini lebih pada orientasi fisik. Yang lebih pas jika disepadankan dengan Adab (manners) sehingga terpelajar itu juga penuh keadaban (civilized) dalam andilnya menciptakan peradaban. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun