[caption caption="Kebijakan yang Meleset"][/caption]Rakyat Indonesia selalu mendambakan kebijakan pemerintah yang sesuai dengan kebutuhannya. Kesejahteraan merupakan impian bagi rakyat Indonesia dan hal ini dapat diwujudkan dengan kebijakan pemerintah yang tepat. Namun belakangan, kebijakan yang diwacanakan maupun dilakasanakan oleh pemerintah terkesan tidak sesuai dengan aspirasi rakyat. Apa yang menyebabkan semua hal ini terjadi? Apakah kepentingan golongan tertentu menjadi prioritas para pemangku jabatan karena lebih memberikan keuntungan bagi mereka? Ataukah para teknokrat tidak kritis dalam membuat suatu kebijakan? Apa keduanya merupakan faktor permasalahan ini terjadi?
Mari kita pahami terlebih dahulu faktor apa saja yang memengaruhi proses kebijakan. Seacara umum terdapat empat faktor yag memengaruhi proses kebijakan, yaitu lingkungan, persepsi pembuat kebijakan mengenai lingkungan, aktivitas pemerintah perihal kebijakan dan aktivitas masyarakat perihal kebijakan.[1] Lingkungan di sini terdiri dari dari lingkungan di luar pemerintahan, di dalam pemerintahan dan lingkungan khusus dari kebijakan tertentu. Selain itu terdapat pula faktor yang diperkirakan akan memengaruhi corak serta arah keputusan, yakni ideologi dan konstitusi, latar belakang pribadi pembuat keputusan, informasi yang tersedia, golongan pendukung pembuat keputusan, dan keputusan yang telah ada.[2]
Pembuatan kebijakan pemerintah dengan mengacu pada hasil riset belum sepenuhnya terwujud.[3] Dengan kurangnya riset ini, kebijakan pemerintah menjadi meleset dalam membidik kebutuhan masyarakat. Seorang alumnus Universite Pluridisciplinares Panthenon-Sorbonne bernama Daoed Joesoef pernah berkata bahwa to govern is to foresee.[4] Artinya seorang negarawan sejati adalah pemimpin yang mampu mengatakan kepada rakyat yang dipimpinnya apa saja yang menjadi kebutuhan mereka sebelum mereka menyadarinya sendiri. Pada kenyataannya tidak banyak negarawan Indonesia yang memiliki kompetensi tersebut.
Riset yang lemah akan menghasilkan kebijakan yang tidak sejalan dengan apa yang diinginkan masyarakat. Riset juga tidak hanya sebatas bersumber dari hasil kajian yang dilakukan oleh ilmuwan, akademisi dan lain sebagainya. Pengetahuan lokal perlu diperhitungkan sebagai pengetahuan penting dalam perumusan kebijakan lokal dan nasional.[5] Pengetahuan lokal atau disebut juga sebagai kearifan lokal sangat perlu dipertimbangkan agar adanya keselarasan antara kebijakan dengan kebutuhan masyarakat. Kearifan lokal dapat didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya lokal yang mengandung kebijakan hidup; pandangan hidup (way of life) yang mengakomodasi kebijakan (wisdom) dan kearifan hidup.[6]
Contoh konkret kebijakan yang tidak mempertimbangkan kearifan lokal adalah reklamasi Teluk Benoa yang permasalahannya hingga kini tidak kunjung terselesaikan. Dari perseperktif sosial, proyek reklamasi Teluk Benoa bertentangan dengan aspirasi adat masyarakat Bali, terlihat dari pernyataan 15 desa adat yang menolak reklamasi Teluk Benoa.[7] Penolakan ini merupakan hal yang wajar sebab masyarakat Bali dipandu oleh budaya Tri Hita Karana yang berarti bahwa pembangunan tidak boleh lepas dari hubungan antarmanusia, manusia dan lingkungan, serta manusia dan sang pencipta.[8]
Korban dari dari kebijakan yang meleset adalah rakyat, dengan kata lain rakyat “terpleset” oleh kebijakan tidak sesuai. Menurut saya ini merupakan indikator inkompetensi pemerintahan saat ini dalam melayani rakyat Indonesia. Pemerintah harus kritis dalam membuat suatu kebijakan. Riset bukan hanya perlu dilakukan, namun harus diimplementasikan dan tidak diabaikan. Selain itu pemerintah sudah seyogianya memprioritaskan kepentingan rakyat Indonesia, bukan golongan tertentu demi keuntungan di atas kerugian orang banyak.
Referensi
[1] Randall B. Ripley, Policy Analysis in Political Science, Chicago: Nelson-Hall Publishers,1985, hlm. 34-48.
[2] Uraian pada paragraf ini merupakan perumusan kembali dari penjelasan Ramlan Surbakti pada buku Memahami Ilmu Politik, 2010, hlm. 249.
[3] Kebijakan Pemerintah Belum Berbasis Riset, Koran Harian Kompas, 7 April 2016.
[4] Daoed Joesoef, GBHN dan Konsep Pembangunan, Koran Harian Kompas, 7 April 2016.
[5] Kebijakan Perlu Adopsi Kearifan Lokal, Koran Harian Kompas, 14 April 2016.
[6] Suyono Suyatno, Revitalisasi Kearifan Lokal sebagai Upaya Penguatan Identitas Keindonesiaan, http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1366 diakses pada 15 April 2016 pukul 12:12.
[7] Rony Megawanto, Reklamasi Teluk Benoa, Koran Harian Kompas, 13 April 2016.
[8] Ibid.
Artikel dapat dilihat di blog saya : http://wp.me/p7pA2y-13
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H