"Pengalaman adalah Guru Terbaik" sepertinya makna pepatah ini kurang tampak pada pertunjukan Exam Concert 2nd Semester yang diselenggarakan pada Sabtu 18 Juni 2016 Pukul 16.00 WIB di Auditorium Vihara. Bagaimana tidak, jika dilihat dari durasi waktu persiapan yang telah diberikan, proses produksi pertunjukan yang diberikan masih jauh bila dibandingkan dengan konser perdana yang lalu. Padahal konser perdana yang lalu hanya memiliki waktu kurang dari 5 hari saja. Bahkan terciptanya ide program ini terjadi secara spontan. Namun, jika melihat proses produksi konser kali kedua ini masih perlu banyak 'belajar' dan 'mengalami'. Jika kita dapat menilai situasi tersebut lebih jauh, tampaknya ide spontanitas lebih menarik dari sekedar sebuah pengalaman berarti.
'Classical Romance' menjadi tema yang terpilih pada konser kedua ini, mungkin karena pertunjukan kali ini juga dimeriahkan oleh Prodi Seni Tari sebagai prasyarat ujian mata kuliah tertentu mereka. Dalam suatu pertunjukan, sebuah Tema harus dapat disesuaikan dengan pilihan repertoar yang ada, atau sebaliknnya. Tidak hanya itu, bahkan hampir seluruh aspek pertunjukan pun harus dapat merefleksikan dan mengusung tema yang ada. Tema yang dipilih pada konser kedua ini sebenarnya berasal dari dua periode Musik Barat, yakni Era Klasik yang berasal dari abad 18 dan Era Romantik pada abad 19. Namun, kata 'romance' disini tampaknya tidak hanya mengagambarkan periode musik Romantik saja, tapi juga mengambil unsur 'roman atau asmara' yang terlihat jelas pada konsep sajian akhir kolaborasinya. Periode Musik Romantik dapat dibuktikan dengan pilihan repertoar karya Beethoven yakni 'Fur Elise' yang disajikan oleh instrumen Piano. Sedangkan untuk repertoar Klasik terdapat 'Sonatina' karya Muzio Clementi. 'Ave Maria' dan 'Minuet in G' malah merupakan repertoar dari jaman Barok. Secara tema yang diusung, pemilihan repertoar yang ditentukan sudah merupakan titik awal yang baik untuk memulai sebuah pertunjukan Musik Klasik yang sebenarnya. Namun sangat disayangkan, ketidaksiapan para penyaji mengurangi estetik musikal beberapa repertoar tersebut untuk waktu dua semester yang telah mereka miliki dan lalui.
Gedung pertunjukan yang digunakan para penyaji sebenarnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konser yang pertama. Fasilitas tempat dan panggung yang ada rasanya kurang dimanfaatkan untuk memaksimalkan unsur visual artistik yang tidak mereka dapatkan dikonser yang lalu. Layar hitam polos menjadi dasar yang sangat mendukung pemilihan properti latar visual panggung . Hal ini sangat membantu untuk menghidupkan atmosfir panggung melalui penyalaan lighting yang variatif. Karpet merah yang berada diatas dan dibawah panggung serta penutup layar panggung yang berwarna merah semakin mendramatisir tema yang dibawakan. Menghadirkan visual artistik dan nuansa malam 'romance' di waktu terang adalah sesuatu yang tidak mudah untuk diwujudkan, tetapi mereka berhasil melakukannya, walau dengan properti yang sederhana. Dengan demikian visual artistik romance - minimalis menjadi penanda konser tersebut.
Begitu pun dengan kostum yang mereka kenakan, layak untuk merefleksikan estetik panggung 'romance' yang sesuai dengan tema. Tujuh repertoar mandiri dari prodi Musik dan tiga koreografi dari prodi Tari, serta satu pertunjukan 'Kolaborasi' dengan durasi waktu konser selama satu setengah jam sudah merupakan penyajian ideal untuk sebuah pertunjukan. Namun sayang sekali, sepertinya kemampuan mereka untuk menghidupkan karya -- karya tersebut belum mendapatkan Standing Applause, jika dilihat dari kesiapan latihan, produksi dan mental serta respon penonton kala itu.
Beginilah rupa sebuah hasil dengan proses 'belajar' & 'mengalami' yang seadanya. Apakah kuantitas mempengaruhi kualitas? Pertanyaan inilah yang terlintas dibenak penulis ketika menilik persoalan tersebut. Bagaimanapun program Exam Concert ini tetaplah sebuah 'Proses Studi' bagi mereka yang masih buta terhadap esensi dan eksistensi suatu pertunjukan seni. Alangkah baiknya jika tidak hanya mengukur nilai itu dari 'Standar Profesi' saja, tetapi juga dari 'Standar Proses', yang keduanya pun tidak terlepas dari proses yang biasa kita sebut sebagai 'Pengalaman Belajar'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H