Kekerasan seksual di dunia pendidikan saat ini sangatlah miris. Banyak korban pelecehan kekerasan seksual yang tidak dapat haknya sebelum kebijakan menteri pendidikan ada. Bagaimana bisa seorang mahasiswi dilecehkan oleh dosennya hanya karena nilai mata kuliah mendapatkan hasil yang memadai. Dengan adanya Permendikbudristek No.30 Tahun 2021 banyak menuai konroversial terkait pasal-pasal yang dapat menyebabkan pelaku kekerasan seksual dapat semena-mena dengan perbuatannya.
Dikutip melalui Kontan.co.id , Sabtu (20/11/2021) , menurut Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Lincolin Arssyad menilai aturan tersebut cacat secara formil karena prosesnya tidak melibatkan banyak pihak dan cacat materil karena berpotensi melegalkan zina yakni dalam pasal 5 yang memuat consent dalam frasa “tanpa persetujuan korban”. Salah satu redaksi di pasal 5 point 2b tertulis “memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban”. Maksud dari frasa “tanpa persetujuan korban” disini yaitu korban tidak mengizinkan perbuatan yang tertera di aturan tersebut. Ada juga masyarakat menilai aturan Permendikbudristek ini sangat progresif dalam pencegahan atau pun penanganan kekerasan seksual dengan sudut pandang korban, salah satunya dengan mengatur adanya persetujuan.
Dari masing-masing pendapat yang pro maupun kontra dengan adanya permendikbudristek ini, masyarakat menjalakan kebijakan yang sesuai dengan aturan yang ada. Hanya saja perlu adanya revisi redaksi yang berfrasa “tanpa persetujuan korban” dengan redaksi tanpa menuai kontroversial. Banyak juga mahasiswa yang tak paham isi dari permendikbudristek ini, hanya beranggapan “Katanya” saja. Sebagai mahasiswa perlu adanya pemahaman yang terkait hal-hal baru yang ada di negeri ini. Karena masa yang akan datang nantinya mahasiswa/i lah yang melanjutkan estafet kehidupan kedepannya. Adanya pembentukan satuan tugas untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi langkah yang progresif. Akan tetapi perlu dukungan dari semua sektor yang terlibat di perguruan tinggi tersebut.
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi (permen PPKS ) merupakan langkah yang Reel/ nyata untuk memutuskan rantai kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Namun seringkali kasus-kasus pelecehan seksual ini seringkali dibiarkan begitu saja dan berakhir dengan tanpa kejelasan. Bahkan Intimidasi dan ancaman seringkali dialami bagi penyintas atau korban dan juga pembela yang berani speak up atas pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Kasus berakhir dengan damai dan dibiarkan bebas begitu saja .Sementara korban harus menanggung akibat dari kekerasan dan juga mengalami trauma atas kejadian tersebut.
Salah satu kasus yang sedang viral di Indonesia yaitu pencoretan mahasiswa Unsri dari daftar yusidium karna melaporkan pelaku pelecehan seksual dan kasus bunuh diri Novia widyasari. Kasus yang menimpa Novia Widyasari tersebut tidak hanya dengan oknum aparat kepolisian, tetapi juga dengan kakak tingkat di Universitasnya. Pencoretan nama mahasiswa Unsri dari daftar yudisium dibantah keras oleh Keluarga Besar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unsri. Pihak kampus menolak adanya pencoretan mahasiswa dari daftar yudisium karena keterlibatan kasus pelecehan seksual. Akan tetapi pencoretan mahasiswa dari daftar yudisium karena kondisi yang masih pandemic dan diikut sertakan ke dalam sesi kedua yudisium. Dengan adanya contoh kasus maka perlu ditingkatkan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dengan berlandasan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Sanksi yang di terima kepada pelaku harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H