Mohon tunggu...
Semar Kuncung
Semar Kuncung Mohon Tunggu... wiraswasta -

marhaen yang bercita-cita sederhana, senang mencari ilmu yang bermanfaat, hoby naik gunung dan menjelajah alam bebas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keunikan Tradisi Jumatan di Purwakarta

7 November 2015   22:16 Diperbarui: 7 November 2015   22:35 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Entah sudah berapa kali saya jumatan di Masjid sekitar daerah Purwakarta, baik dalam rangka kerja, sambil lewat ke daerah lain, atau berkunjung kepada saudara dan kenalan di sana.
Mulanya saya tidak terlalu memperhatikan tradisi dalam jumatan di daerah Purwakarta dan sekitarnya ini. Berhubung telah beberapa kali singgah dan jumatan di Masjid-masjid yang berbeda di sekitar wilayah Purwakarta, maka saya menemukan suatu keunikan dalam tradisi Jumatannya.

ADZAN AWAL JUMAT DIGANTI SUARA BEDUK
Keunikan tersebut adalah, yakni adzan Jumatnya tidak seperti sebagian besar Masjid di Jawa Barat, atau Pulau Jawa dan di Indonesia pada umumnya yang biasanya adzannya sebanyak dua kali sebelum Khatib naik mimbar, nah di Purwakarta ini, sebagian besar Masjid-masjidnya, terutama dimulai dari Masjid Agung Kabupaten Purwakarta, hingga Masjid-masjid Besar tingkat Kecamatan, hingga ke pelosok-pelosok Desa dan Kampung,

adzan Jumatnya hanya satu kali saja, tetapi sebagai penanda masuknya waktu dzuhur, adzan pertamanya digantikan oleh pemukulan beduk. Setelah beduk dipukul sebagai penanda waktu, maka jama’ah sebagian besarnya melaksanakan shalat qobla jum’at. Setelah jama’ah melaksanakan shalat sunat qobla jum’at, khatib naik mimbar dan mengucap salam, lalu bilal mengumandangkan adzan.
Jadi suara beduk menggantikan adzan awal jum’at, sekaligus sebagai aba-aba bahwa shalat qobla jum’at dimulai bagi jama’ah yang biasa melaksanakannya.

KHOTBAH JUMAT BAHASA ARAB

Selain itu, saya menemukan pula bahwa di beberapa wilayah Purwakarta, terutama di pedesaannya, khotbah jum’at yang disampaikan hanya dalam bahasa arab, tapi terbatas hanya rukun khotbahnya saja sehingga khotbah jum’atnya sangat pendek.
Ada Masjid yang secara kontinyu setiap Jum’at khotbahnya hanya dalam bahasa Arab, biasanya Masjid-masjid di tingkat Desa atau Masjid Kampung. Namun ada juga Masjid yang khotbah Jum’atnya tergantung kepada khotib yang menyampaikannya,

adakalanya khotib menyampaikan khotbahnya dalam bahasa arab dan pada jum’at lainnya khotib yang berbeda menyampaikan khotbahnya dengan terjemah Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah (Sunda), biasanya yang demikian terjadi di Masjid Besar tingkat Kecamatan, contohnya pengalaman saya ketika suatu kali Jum’atan di Masjid Besar Maniis, khotbahnya bahasa arab, tapi kali yang lain di Masjid yang sama, ketika khotibnya lain orang, khotbahnya dalam Bahasa Indonesia.

KEMUNGKINAN PERNAH ADA SEMACAM INTSRUKSI ATAU HIMBAUAN AGAR MENGGANTI ADZAN JUMAT DENGAN BEDUK
Peran beduk sebagai pengganti adzan awal ketika jumatan, memang tidak hanya di Purwakarta saja. Hal serupa pernah saya temui ketika saya Jumatan di beberapa daerah di Cianjur, Subang, dan Bandung, tetapi hanya sedikit Masjid saja. Berbeda dengan di Purwakarta, peran beduk yang menggantikan adzan awal Jum’at, kompak terjadi di sebagian besar Masjid-masjidnya, meski ada juga sedikit Masjid di Purwakarta yang mempertahankan adzan Jumat dua kali, contohnya di masjid ICG Garokgek.
Saya menduga, mungkin dulunya ada semacam surat edaran atau himbauan, entah dari MUI tingkat Kabupaten Purwakarta, atau bisa juga dari Ulama yang terpandang di daerah Purwakarta, yang menginstruksikan atau menghimbau agar Masjid-masjid di daerah Purwakarta menggantikan adzan awal Jumat dengan suara beduk saja.

Dugaan saya bahwa mungkin saja kekompakkan Masjid-masjid di Purwakarta yang menggantikan adzan awal jumat dengan beduk karena istruksi atau himbauan, adalah berdasarkan pengalaman yang serupa. Yaitu, dulu di sekitar leuwigajah Cimahi, semua Masjid yang ada disana, khotbah Jumatnya berbahasa Arab, tapi semenjak ada himbauan dari MUI Cimahi sekitar tahun 1980 an, agar khotbah jumat diterjemahkan, maka kini sebagian besar Masjid disana khotbah Jumatnya diterjemahkan, meski ada beberapa Masjid yang tetap mempertahankan khotbah berbahasa Arab.

Nah, hal serupa yang terjadi di Cimahi itu, saya duga terjadi pula di daerah Purwakarta, meski berbeda essensinya. Bisa saja dulunya Masjid-masjid yang sekarang meniadakan adzan awal Jumat dan hanya menggunakan suara tabuhan beduk saja sebagai penanda waktu dzuhur itu dulunya menggunakan adzan awal Jumat, tidak hanya dengan suara beduk, lalu mungkin ada inisiatif dari MUI atau dari Ulama setempat yang menghimbau agar adzan awal Jumat tersebut ditiadakan dan diganti oleh bunyi tabuhan beduk, sehingga terjadi seperti saat ini.

TIDAK ADA MUROQI

Sepanjang pengalaman saya beberapa kali jumatan di Masjid yang berbeda-beda di Purwakarta, saya tidak pernah menemukan ada Masjid yang memakai Muroqi yang biasa bertugas menaikkan khotib (ngunggahkeun : Bhs. Sunda) dan mengumandangkan adzan kedua, baik di Masjid yang adzan awalnya diganti beduk, maupun yang adzan jumatnya dua kali, sama-sama tidak memakai Muroqi. Mungkin ada juga sedikit Masjid di Purwakarta yang memakai Muroqi ketika Jumatan, tetapi saya belum menemukannya.

BEDUK ADA DI HAMPIR SETIAP MASJID DI PURWAKARTA

Sisi lain yang saya senangi dari kekompakkan sebagian besar Masjid-masjid di Purwakarta tersebut yang menggantikan adzan awal dengan bunyi pukulan beduk (kebanyakan beduk dan kentongan, ada pula yang beduk saja), adalah terpeliharanya tradisi yang telah membudaya semenjak ratusan tahun lalu, yakni di Purwakarta hampir semua Masjid-masjidnya memiliki beduk. Meski beduk tersebut di sebagian besar Masjidnya hanya ditabuh ketika jumatan saja, tidak ditabuh setiap hari sebagai penanda waktu shalat lima waktu.

Hal yang sama, yakni beduk di hampir setiap Masjid seperti di Purwakarta, tidak lagi saya temukan di daerah saya di Bandung. Hanya satu –dua saja yang masih menggunakan beduk, meski begitu di Masjid Agung Bandung (Masjid Raya Propinsi Jabar), beduk masih ada dan ditabuh setiap hari setiap masuk waktu shalat.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun