Partai politik merupakan salah satu pilar penting dalam demokrasi. Tanpa partai politik, mustahil terbentuk pemerintahan dan juga parlemen yang merupakan bagian vital dari bangsa kita, instrumen negara yang sangat berpengaruh atas baik atau buruknya bangsa kita ke depan.
Karena beratnya peran yang harus dimainkan oleh pemerintah dan parlemen, maka penyatuan berbagai kepentingan dan idealisme partai politik sebagai penopang pemerintah dan parlemen merupakan hal yang tidak mudah. Lihat saja betapa alotnya proses koalisi atau kerja sama politik sampai saat ini.
Lalu pada tataran capres dan cawapres, menjadi sorotan publik yang terus menerus dimonitor media. Dinamikanya selau diperbincangkan dimana-mana.
Kondisi inilah yang sedang kita saksikan sekarang ini. Semoga dengan akses informasi yang sudah sedemikian terbuka luas, dan pemahaman politik yang sudah makin dewasa, kita bisa ikut mengawal proses ini, hasil akhirnya tentu rakyat yang harus paling diuntungkan.
Poros Jokowi
Dengan kepala jernih, kita dapat belajar banyak atas proses koalisi dua poros utama kekuatan politik saat ini. Poros Jokowi yang merupakan representasi dari partai pemenang Pemilu ternyata juga tidak gampang dalam mengandeng partner politik. Dari 3 partai lain yang sudah resmi mendukung Jokowi, tercatat hanya Nasdem yang dengan mudah “diluluhkan” oleh Jokowi dan Mega. Sedangkan koalisi dengan PKB, walaupun berakhir indah, namun proses ini tidak gampang. Dimulai dengan luluhnya Muhaimin Iskandar untuk tidak mencapreskan Mahfud MD, Jusuf Kalla, atau bahkan Rhoma Irama serta tidak meminta jatah menteri ke Capres Jokowi. Dilanjutkan adanya sedikit gesekan internal di PKB, terutama oleh pendukung Rhoma Irama yang jagoannya tidak dicalokan sebagai presiden oleh PKB. Sementara itu, Partai Golkar yang awalnya bersedia bertemu dengan Jokowi dan membawa harapan akan terbentuknya koalisi dengan mudah ternyata dalam perjalanannya terbentang jalan terjal, walaupun akhirnya harapan yang pada waktu awal sempat singgah akhirnya benar - benar berlabuh.
Poros Prabowo
Pada poros berikutnya, Prabowo yang sudah mendeklarasikan diri sebagai Capres beberapa tahun silam dan didukung oleh meroketnya perolehan suara Partai Gerindra ternyata juga tidak mudah dan cepat dalam membangun koalisi. PPP yang pada masa kampanye PIleg terlihat secara resmi mendukung Prabowo sebagai Capres dengan sinyal Suryadharma Ali datang di kampanye Partai Gerindra, ternyata juga tidak cepat dan mudah proses terbentuknya koalisi. Justru polemik dan konflik internal terjadi di PPP atas proses pembentukan koalisi. Namun kembali lagi dengan mereduksi ego dan kepentingan kelompok akhirnya PPP kembali lagi ke Partai Gerindra. Sementara itu, PAN dengan Amien Rais yang pada awal masa penjajakan koalisi mencoba membentuk poros politik baru dengan basis masa Islam ternyata juga mengalami jalan terjal. Namun mempertimbangkan kepentingan membangun bangsa ke depan yang tidak hanya bisa dilakukan oleh Capres, maka PAN akhirnya berjuang membangun bangsa menggabungkan diri pada poros politik milik Prabowo.
Sementara itu, PKS, Partai Demokrat, dan Partai Hanura menjadi contoh nyata bagaimana terjalnya proses membangun koalisi. Walaupun proses koalisi dalam Piplres ini relatif terjal, sebagai Bangsa Indonesia kita wajib berbangga bahwa proses demokrasi dan koalisi ini berjalan lancar dan damai. Tidak banyak negara - negara lain yang bisa melakukan hal ini. Sekali lagi kita layak mengapresiasi bangsa dan kita sendiri atas proses demokrasi ini.
Setelah Koalisi, Apa?
Tanpa bisa dipungkiri bahwa banyak opini di masyarakat yang bernada negatif dalam memaknai koalisi. Koalisi lebih diidentikkan dengan kompromi berbagai kepentingan, bagi-bagi kekuasaan, dan sebagainya. Inilah realitas di masyarakat dan tidak bisa dihindari. Namun pada titik inilah, partai politik justru harus berjuang menunjukkan tujuan mulia membangun bangsa ke depan. Koalisi bagi partai politik ialah proses pengamanan kepentingan saat poros kekuatan politik tertentu berada di pemerintahan dan di parlemen. Untuk siapa kepentingan tersebut? Banyak pihak, namun rakyat seharusnya yang paling utama.
Mempertimbangkan hal di atas, maka kita bisa melihat bagaimana koalisi yang telah terbentuk akan memberikan manfaat ke rakyat. Dari sisi partai politik, koalisi sudah hampir selesai, namun dari pasangan capres dan cawapres yang sudah pasti terlihat ialah pasangan Prabowo - Hatta Rajasa, dan pasangan lainnya kita abaikan sementara karena belum definitif.
[caption id="attachment_336106" align="aligncenter" width="519" caption="Ilustrasi Prabowo-Hatta (dok pri)"][/caption]
Berpijak pada perkembangan terakhir, kita coba melihat apakah duet Prabowo dan Hatta Rajasa bisa mewujudkan tujuan kemerdekaan bangsa ini, yakni kesejahteraan bagi setiap masyarakat.
Prabowo dengan latar belakang militer dan pengusaha memposisikan dia sebagai capres yang memiliki karakter yang tegas dan realistis. Sementara itu, Hatta Rajasa dengan background teknokrat memiliki karakter yang menguasai hal - hal detil dan pengayom. Karakter - karakter dari pasangan ini ketika digabungkan akan menjadi tegas, realistis, penguasaan detil, dan pengayom.
Karakter tersebut ketika direlasikan ke persoalan - persoalan mendasar bangsa kita saat ini akan terlihat sebagai solusi. Mengutip risalah dari seorang Guru Besar Filsafat di salah satu universitas di Indonesia bahwa masalah utama Indonesia saat ini setidaknya ada empat, yakni (i) penegakan hukum, (ii) reformasi birokrasi, (iii) kesenjangan kesejahteraan, dan (iv) dominasi asing.
Karakter Prabowo yang tegas akan menyelesaikan masalah bangsa yang nomor satu, yakni penegakan hukum, baik terkait dengan korupsi maupun penegakan hukum non korupsi. Sedangkan masalah nomor dua, yakni reformasi birokrasi juga terkait dengan ketegasan, sehingga kombinasi ketegasan dari Prabowo dan penguasaan hal – hal detil dan mengayomi oleh Hatta Rajasa akan terlihat efektif dalam reformasi birokrasi pemerintahan ke depan.
Kesenjangan kesejahteraan bersumber dari mazab ekonomi yang dianut oleh sebuah pemerintahan, sehingga Prabowo dan Partai Gerindra yang dari awal sudah mengusung konsep ekonomi kerakyatan diprediksi dapat mengurangi secara drastis masalah kesejangan kesejahteraan ini. Beberapa kritik muncul atas konsep ekonomi kerakyatan yang diusung oleh Prabowo karena dinilai terlalu melangit, namun pada titik inilah Hatta Rajasa hadir sebagai penyeimbang.
Kebijakan ekonomi perlu keberlanjutan dan diturunkan dari konsep melangit ke yang lebih membumi. Hatta Rajasa sebagai cawapres yang pernah menjadi Menko Perekonomian tentu tidak perlu diragukan lagi atas peran ini.
Dominasi asing tentu memerlukan ketegasan dan disesuaikan dengan keperluan pembangunan bangsa kita. Untuk tujuan inilah, karakter tegas dari Prabowo dan menguasai hal - hal detil oleh Hatta Rajasa sesuai dengan yang dibutuhkan oleh Bangsa ini. Ketika masalah - masalah utama ini dapat diurai, dikurangi, dan diselesaikan oleh putra - putra bangsa Indonesia, maka tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia, yakni kesejahteraan bagi setiap warga negara akan mulai terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H