Namun jika dibiarkan politik praktis bercadar agama ini maka dikhawatirkan menjadi momok besar pemecah belah persatuan dan kesatuan umat yang bakalan mencederai ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa).
Padahal Allah Swt sudah jauh sebelumnya menegur manusia dengan berfirman dalam surat Al-Hujarat ayat 13 "Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal".
Bagi analisa kaca mata penulis ayat ini sangat cocok dan mantap menjawab tudingan pahaman radikalisme (pahaman keras) yang anti pluralisme (pahaman keberagaman) yang memang secara kontekstual memiliki relevansi dengan Indonesia yang memiliki keanekaragaman suku, budaya, agama dan bangsa.
Demikian halnya sudah menjadi kewajiban manusia untuk memurnikan nilai-nilai ketuhanan agar manusia diharapkan mampu menempatkan agama secara proporsional sehingga memberi ketenangan jiwa, menguatkan batiniyah dan menyadarkan akal bagi setiap insan.
Manusia sepatutnya sadar menjadikan Tuhan sebagai tujuan murni untuk beribadah bukan sebaliknya menjadikan Tuhan sebagai alat politik mencapai tujuan kekuasaan duniawi.
Inilah pencemaran manusiawi yang hadir di era moderen digitalisasi dalam kepungan materialisme, sekularisme, liberalisme dan akibat pengaruh globalisasi yang menimbulkan manusia teralienisasi (keterasingan) dari nilai-nilai kerohanian.
Maka dari itu umat manusia terkhususnya (especially) kaum politisi  sebagai kaum yang beragama hendaknya kembali pada pilar agama yaitu Amar ma'ruf nahi munkar (menyuruh pada kebaikan dan mencegah perbuatan  mungkar) untuk lebih mengenal Tuhan (ma'rifatullah) dan mencintai-Nya. Sebab atas landasan sifat-sifat kemuliaan tersebut sehingga Tuhan bisa kembali bersemayam di hati manusia sebagai rumah Tuhan yang paling suci, paling bersih dan jauh dari kata noda.
Sebagaimana dikutip dalam Hadits qudsi "Qolbu (hati) orang yang beriman itu adalah rumah Allah" dan ditegaskan pula pada sebuah hadits qudsi terkait kedudukan hati "Tidak dapat memuat dzat-ku bumi dan langit-ku, kecuali hati hambaku yang mukmin, lunak dan tenang" (HR Abud Dawud).
Nilai esensinya adalah penyucian jiwa atau hati harus dilakukan supaya mengantarkan manusia kepada tujuan mengabdi kepada Tuhan dan bukan sebaliknya mengabdi kepada syahwat dengan mengajak Tuhan bepergian pada arena politik.*
Oleh : Jaya Nug Miharja (Akademikus Pecinta Pluralisme)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H