Mohon tunggu...
Diesa Callista
Diesa Callista Mohon Tunggu... -

Hanya Seorang Anak Bangsa yang ingin melihat kejayaan, kemajuan, dan keberhasilan Bangsa dan Negaranya. Indonesia Bisa Jadi Negara Besar Dengan Berbagai Kebesarannya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golput Bukan Solusi Untuk Indonesia

26 Maret 2014   17:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:26 1578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_300686" align="aligncenter" width="488" caption="Jangan Golput"][/caption]

Menjamurnya anggapan bahwa tidak menggunakan hak pilih (golput) pada pemilu merupakan solusi yang terbaik untuk Indonesia yang lebih baik merupakan suatu hal yang disesalkan. Golput bukan solusi untuk menciptakan perubahan ke arah lebih baik bagi bangsa ini. Sebaliknya, Golput justru akan membawa bangsa ini pada kehancuran, karena bagaimana mungkin pemerintahan dan pembangunan bisa berjalan kalau warga negara tidak mau memilih wakil atau pemimpinnya yang akan melaksanakan pemerintahan dan pembangunan dan hanya bisa mengeluh ketika pemimpin yang terpilih bermental buruk dan tidak berkualitas.

Dalam setiap pelaksanaan pemilu tingkat partisipasi masyarakat secara nasional terus mengalami penurunan, hal ini terbukti pada 1999 tingkat partisipasi sekitar 80 %  kemudian pada 2004 menjadi 70 % dan pada 2009 turun lagi hingga di bawah 70 %. Turunnya persentase partisipasi masyarakat tersebut dipengaruhi beberapa hal seperti kesadaran politik dan tingkat kepercayaan kepada pemerintah yang juga terus merosot yang dalam hal ini adalah kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara untuk ikut menentukan kebijakan pembangunan ke depan, dimana saat ini kesadaran itu sudah menurun drastis.

Disadari maupun tidak disadari hiruk-pikuk politik menjelang pemilu selalu membawa dampak negatif bagi kepercayaan masyarakat pada partai politik, ditambah akumulasi kekecewaan atas sikap partai politik yang cenderung mengabaikan aspirasi pemilihnya serta sikap dan tingkah laku para politisi yang mengecewakan rakyat. Akumulasi kekecewaan ini tentunya mengakibatkan terdegradasinya kepercayaan masyarakat pada partai politik bahkan perpolitikan itu sendiri. Kondisi ini makin diperparah dengan ulah banyaknya oknum partai yang terjerat kasus korupsi. Tidak hanya itu saja, ditengah gencarnya pemerintah dan partai politik untuk memulihkan citranya ada sebagian golongan yang justru membangun kampanye negatif untuk mendiskreditkan pemerintah dan partai politik dengan tujuan mengacaukan pikiran pemilih hingga pada akhirnya memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.

Delegitimasi terhadap partai politik bukan hanya didengungkan pada proses pemilu saja, namun pada setiap waktu dan kesempatan, bahkan dalam skala lokal sekalipun melalui pemilukada disetiap daerah. Kita bisa melihat dengan jelas kampanye dari sebagian kalangan yg menyerukan ketidak percayaan pada partai politik ditengah apatisnya para pemilih. Berdasarkan penilaian itu aja kita sudah bisa memprediksi apa yang akan terjadi jika hal itu terus dilakukan. Hal itu sudah pasti akan meyebabkan tingkat partisipasi politik yang rendah dan pada akhirnya akan menciderai demokrasi itu sendiri karena melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas rendah dan rendah legitimasi.

Hal yang perlu dicermati disini adalah bahwa sesungguhnya yang akan dirugikan dan yang tekena dampak paling besar atas rendahnya partisipasi politik adalah ‘pemilih’ itu sendiri yang notabene adalah ‘rakyat’. Secara defacto memang legitimasi akan sangat rendah namun disisi lain tindakan tidak ikut memilih (golput) telah melegalkan ‘kursi haram’ untuk diduduki oleh legislator/senator yang seharusnya tidak memenuhi syarat minimal perolehan suara. Fenomena semacam inilah yang harus diwaspadai dan menjadi perhatian kita bersama, dimana sisa kursi akibat kurangnya jumlah suara yang masuk akan kembali diperebutkan partai politik melalui perhitungan tahap ke dua, tiga dan seterusnya yang pada akhirnya kursi yang kosong akan tetap diisi oleh kader partai politik yang memperoleh suara minim sekalipun.

Intinya sisa kursi yang seyogianya adalah suara mereka yang tak memilih akan dialihkan dan dikonversikan keseluruh partai yang lolos ke parlemen dan dibagi secara proporsional menurut perolehan suara masing-masing partai politik. Jadi jika kita tidak memilih maka sistem akan memilihkan dengan paksa sebuah pilihan untuk kita, dan yang pasti pilihan itu tidak pernah terbayangkan oleh pemilih itu sendiri sungguh ironis butthat’s the fact”. Perlu diketahui juga bahwa pembagian jatah sisa kursi akibat rendahnya partisisipasi pemilih akan semakin terakumulasi dengan kursi yang ‘ditinggalkan’ oleh peserta/partai yang tak lolos ke parlemen akibat penetapan ambang batas (parliamentary threshold) sebesar 3.5%. Dengan kata lain partai politik yang lolos ke parlemen akan semakin banyak memperoleh kursi ‘gratis’ tanpa bersusah payah berjuang dalam kancah politik sehingga dalam perjalanannya akan berdampak pada psikologis anggota dewan tersebut (corrupt).

Jika kondisi ini terus terjadi, maka tidak perlu heran jika semakin banyak anggota dewan yang tak memperdulikan aspirasi rakyat, dan secara kualitaspun juga patut dipertanyakan, mereka sadar keterpilihannya juga berkat banyaknya yang tak memilih (golput/ suaranya minim). Setelah hal itu terjadi sudah dipastikan akan banyak bermunculan pahlawan kesiangan yang taunya hanya mengeluh namun tidak memberikan kontribusi sama sekali atau Golput dan sebagainya karena pada akhirnya masyarakat jugalah yang akan dirugikan dengan tingkah laku para anggota dewan yang corrupt tersebut. Melalui tulisan ini penulis ingin menghimbau masyarakat yang masih memiliki akal sehat dan logika berpikir yang jernih untuk menggunakan hak pilihnya pada pesta demokrasi 2014, karna sesungguhnya kedaulatan itu ada ditangan kita (rakyat) dan sesungguhnya memilih itu juga dituntut untuk bertanggungjawab, maka tidak memilih adalah sebuah tindakan yang lari dari tanggungjawab, dan lari dari tanggung jawab adalah sebuah tindakan pengecut dan sangat tidak bijak. Jangan jadi masyarakat yang suka mengeluh tapi jadilah masyarakat perintis perubahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun