Belum genap satu bulan negara ini melaksanakan hajatan besar. Pesta demokrasi lima tahunan tersebut masih menyisakan kenangan hangat disetiap benak masyarakat. Pada hari Rabu, tepatnya 9 April 2014 seluruh rakyat Indonesia memegang negeri ini sepenuhnya. Lanjutan kekuasaan atas pembangunan negeri ini ditentukan dalam satu hari, yaitu ketika seluruh rakyat yang memenuhi syarat turut mencoblos calon legislatif dari berbagai latar belakang, kalangan, dan kepentingan.
Namun sangat ironis jika kita menengok ke belakang, dari sejarah Pemilu yang sudah dilaksanakan sejak 1955 hingga 2014 ini tidak lepas dari hambatan-hambatan dari berbagai hal. Terutama sejak Pemilu tahun 1971, ketika rezim orde baru membatasi demokrasi, muncullah paham yang selalu menyelimuti Pemilu setelahnya, yakni Golput (golongan putih). Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman. Sepanjang Orde Baru, ia dianggap pembangkang dan sulit mendapatkan pekerjaan walau ia seorang doktor lulusan Harvard. Namun, pencetus istilah “Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo. Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih pada kertas atau surat suara, dengan kata lain pemilih tetap mencoblos, namun tidak berkontribusi pada Pemilu yang dilaksanakan.
Dari sekian banyak pemilihan yang digelar, tingkat partisipasi yang golput semakin meningkat. Hal ini terlihat dari Pemilu 1977 golput sebesar 8,40%, 9,61% (1982), 8,39% (1987), 9,05% (1992), 10,07% (1997), 10.40% (1999), 23,34% (Pemilu Legislatif 2004), 23,47% (Pilpres 2004 putaran I), 24,95% (Pilpres 2004 putaran II). Pada Pilpres putaran II setara dengan 37.985.424 pemilih. Adapun pada Pemilu Legislatif 2009 jumlah golput 30% bila dikalikan dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sesuai dengan Perpu No. I/2009 sebesar 171.265.442 jiwa. Jadi, jumlah golput setara dengan 51.379.633 pemilih.
Seharusnya kita malu melihat fakta tersebut. Pemilu yang sudah dipersiapkan sejak lama dan menelan dana yang sangat besar, seperti disia-siakan begitu saja. Pada dasarnya Pemilu merupakan aktualisasi dari praktik demokrasi di Indonesia, namun praktik golput ini seperti noda yang sulit hilang.
Sebenarnya dalam permasalahan ini tidak ada pihak yang patut disalahkan. Terdapat beberapa faktor yang sebenarnya membuat praktik golput semakin marak. Pada dasarnya, golput bisa terjadi karena dua faktor, yakni golput by accident dan golput karena tidak ada interest untuk memilih calon yang diusung partai. Namun sebenarnya faktor utamanya adalah tidak adanya ketertarikan dalam mengikuti Pemilu. Masyarakat saat ini tampaknya sedang mengalami krisis kepercayaan terhadap kader-kader politik dengan munculnya stereotip tentang janji-janji dan bualan politisnya sehingga memunculkan dilema antara tidak memilih dan asal memilih.
Hal ini menyebabkan masyarakat akhirnya cenderung untuk tidak memilih dan lepas tangan begitu saja terhadapa proses penentuan masa depan bangsa. Namun sebenarnya hal itu merupakan tindakan dari seorang “pengecut negara”. Coba kita renungkan, pasal 1 ayat 1 UUD 1945 menjelaskan bahwa kedaulatan negara ini berada sepenuhnya di tangan rakyat. Akan tetapi sangat tidak mungkin setiap orang di negara ini ikut mengatur jalannya negara, sehingga diperlukan perpanjangan tangan untuk mewakili kepentingan dan aspirasi dari seluruh rakyat, bisa dalam bentuk lembaga legislatif baik DPR, DPD, dan DPRD. Jika masyarakat sendiri tidak memilih wakilnya, lantas siapa yang akan mewaikili aspirasi-aspirasinya? Pada akhirnya roda pembangunan pun tidak mampu berjalan sesuai tujuan dan kepentingan nasional.
Banyak juga kalangan yang menyebutkan bahwa dana Pemilu terlalu besar sehingga menghabiskan uang negara. Tetapi jika praktik golput yang justru marak terjadi, apakah tidak membuat uang negara itu terbuang sia-sia? Memang dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan Pemilu cukup besar, namun mari kita anggap Pemilu ini sebagai investasi negara yang nantinya akan mendatangkan kemajuan bagi negara ini. Sehingga mari kita tanamkan dalam benak kita bahwa Pemilu hanya menghabis-habiskan uang negara itu salah besar.
Pemilu ini pada hakikatnya merupakan sebuah pemberian hak bagi kita sebagai warga negara, yakni kebebasan kita untuk berpendapat dan menyuarakan aspirasi kita. Jika praktik golput yang justru kita lakukan, maka dapat dikatakan bahwa kita tidak menghargai hak kita sendiri. Apakah sistem demokrasi yang sudah dibentuk tidak sesuai? Apakah justru sistem otoriter yang seharusnya berlaku di Indonesia? Saya yakin bahwa seluruh rakyat akan berkata “TIDAK”. Oleh karena itu mengapa kita harus menyianyiakan hak yang sudah dipenuhi oleh negara ini. Ketika setiap orang yang memenuhi syarat diberikan satu suara dengan bobot yang sama antara yang berpendidikan tinggi maupun rendah, yang kaya atau yang miskin, yang muda atau yang tua, dan sebagainya. Ini kesempatan kita untuk memberikan kontribusi kepada negara dan turut memajukan negara, jadi jangan sampai menyianyiakan kesempatan yang sangat berharga ini.
Ada juga kalangan yang menyebutkan bahwa Pemilu hanya sebagai alat untuk legitimasi kekuasaan rezim yang berkuasa. Sebagai warga negara yang cerdas, seharusnya kita mampu untuk menganalisis dan melihat kapasitas dari calon yang ada. Apabila diharuskan ada perubahan yang akan membawa negara ini lebih baik, maka lakukan perubahan. Namun jika perubahan tersebut justru akan membuat negara menjadi kacau, untuk apa perubahan harus dilakukan. Sehingga sebaiknya kita kembalikan pada diri kita masing-masing, apa yang kita inginkan, apa yang terbaik bagi diri kita, itu yang menjadi tolok ukur untuk menentukan perubahan.
Oleh karena itu, kita bisa simpulkan bahwa Golput hanya akan membawa kerugian bagi diri kita dan negara kita. Sebagai warga negara yang arif dan bijak, tentunya kita bisa berfikir bahwa Golput justru akan mencederai negara kita sampai hak-hak pribadi kita. Mengenai salah atau benar seorang wakil rakyat, itu semua akan selalu diawasi oleh lembaga yang berwenang, jadi jangan pernah takut salah dalam memilih wakil rakyat ataupun calon presiden dan wakil presiden yang akan memimpin di kemudian hari. Karena pada dasarnya manusia tak pernah lepas dari kesalahan, namun satu hal yang pasti dan perlu kita tekankan dalam benak kita semua, bahwa Golput bukanlah jaminan kita terlepas dari belenggu keterpurukan yang selama ini kita alami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H