Mohon tunggu...
Jay Akbar
Jay Akbar Mohon Tunggu... profesional -

Alumni Sejarah Universitas Diponegoro Semarang. Saat ini bekerja sebagai wartawan di salah satu media nasional. Meminati kajian sejarah, budaya, dan militer. @wijayakbar http://jayakbar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Ada Roti untuk Bung Karno

8 Oktober 2013   01:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:51 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu pagi Bung Karno merasa lapar. Seperti biasa dia memanggil pelayan di Istana Merdeka untuk dibuatkan sarapan roti bakar. Alih-alih memenuhi permintaan presiden, pelayan itu malah menolak dengan mengatakan, "Tidak ada roti!"

Mendengar jawaban si pelayan, Bung Karno berusaha sabar. Dia lantas meminta si pelayan mengambilkan pisang sebagai menu sarapan. "Kalau tidak ada roti saya minta pisang saja," kata Bung Karno.

Lagi-lagi si pelayan tidak memenuhi permintaan Bung Karno. Dia beralasan tidak ada pisang di istana. "Itu pun tidak ada," kata si pelayan.

Bung Karno yang sudah merasa lapar akhirnya hanya meminta si pelayan menyediakan menu sarapan berupa nasi dan kecap. Sayang, apa yang diminta Bung Karno kembali tidak dipenuhi si pelayan.

"Nasi dengan kecap saja saya mau," pinta Bung Karno.

"Nasinya tidak ada," jawab pelayan.

Cerita di atas disampaikan anggota Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Presiden, Letnan Satu/ Peltu Suwarto untuk menggambarkan betapa buruknya pelayanan yang diterima Bung Karno pascapembubaran Cakrabirawa.

Ya, kala itu pasca dibubarkannya Cakrabirawa, Angkatan Darat membentuk Satuan Tugas Polisi Militer Angkatan Darat (Satgas Pomad) untuk membantu menjaga Bung Karno. Alih-alih menjaga dan melindungi, Satgas Pomad malah lebih sering bertindak sebagai pasukan teror untuk menjatuhkan kesehatan fisik dan psikologis Bung Karno. Menurutnya meskipun Angkatan Darat masih membolehkan DKP dari kepolisian menjaga Bung Karno, namun tugas DKP sangat dibatasi dan sarat intervensi Satgas Pomad.

"Akhirnya Bung Karno berangkat ke Bogor untuk mendapatkan sarapan pagi di sana, di rumah Ibu Hartini," kenang Suwarto sebagaimana terdapat dalam buku Maulwi Saelan Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66.

Perlakuan buruk terhadap Bung Karno juga pernah terjadi di Istana Bogor.

Suwarto menceritakan suatu hari Bung Karno melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Istana Bogor. Setibanya di Istana Bogor, anggota DKP yang ikut mengawal Bung Karno bermaksud membukakan pintu mobil Bung Karno. Namun keinginannya itu dicegah seorang perwira Satgas Pomad yang saat itu hadir.

"Biar dia buka sendiri. Kamu kultus!" Hardiknya.

Cerita lain terjadi ketika Bung Karno membesuk sakitnya mantan Komandan Resimen II Polisi Militer Kolonel CPM (Purn) Sunario di Gadog, Ciawi, Bogor. Suwarto mengatakan, Bung Karno sempat bertanya kepada Sunario  perihal sikap rakyat yang menghindar dan merasa takut ketika ingin berdekatan atau didekatinya.

“Kemarin Bung Karno mampir ke sini dalam perjalanan dari Cimacan. Bung Karno menceritakan, ketika ia singgah di rumah perkebunan rakyat di tempat sekitar situ, semua menutup pintu dan menjauhi Bung Karno. Mereka ketakutan. Bung Karno heran dan menanyakan kenapa hal ini bisa terjadi?" kata Suwarto seperti diceritakan Sunario.

Mendengar pertanyaan Bung Karno, Sunario menyarankan agar tidak menemui rakyat dahulu. Menurutnya rakyat enggan berdekatan dengan Bung Karno karena takut ditangkap aparat militer. Sunario mencontohkan sesudah Bung Karno menikmati sate di bilangan Ciawi, pada pagi harinya si pejual sate ditangkap petugas Komando Distrik Militer (Kodim).
“Terimakasih atas nasihatmu,” kata Bung Karno kepada Sunario.

Pengalaman berikutnya datang dari anggota DKP Ajun Inspektur Polisi Tingkat I (AIP I), Sogol Djauhari. Ketika itu Agustus 1967, Sogol diperintah Komandan DKP, Mangil Martowidjojo menyampaikan surat Jendral Soeharto kepada Bung Karno. Surat itu berisi perintah agar Bung Karno segera meninggalkan Istana Merdeka sebelum hari kemerdekaan 17 Agustus 1967. Sogol langsung langsung berangkat menuju Istana Bogor tempat Bung Karno tinggal.

Sesampainya di Istana Bogor Sogol langsung menuju paviliun yang ditinggali Hartini. Dia meminta Hartini menyampaikan surat Soeharto. Membaca surat Soeharto Bung Karno langsung memerintahkan agar anak-anaknya tidak dibawa ke guesthouse yang sudah disediakan. Bung Karno ingin anak-anaknya dibawa ke rumah ibunya (Fatmawati) di Kebayoran Baru.

Sogol mengenang Bung Karno menekankan kepadanya agar anak-anak tidak membawa barang-barang yang ada di Istana Merdeka. “Semua anak-anak kalau meninggalkan Istana tidak boleh membawa apa-apa kecuali:  buku-buku pelajaran, perhiasan sendiri, dan pakaian sendiri. Barang-barang lain seperti radio, televisi dan lain-lain tidak boleh dibawa,” kata Bung Karno kepada Sogol.

Hari itu juga Sogol langsung menuju Istana Merdeka. Di sana ternyata  sudah ada anak buah Soeharto Letnan Kolonel Soedharmono dan lima stafnya. Secara kebetulan saat itu anak-anak Bung Karno dan para pengasuhnya juga sedang berkumpul di Istana Merdeka. Sogol pun meyampaikan pesan Bung Karno. Mendengar penjelasan Sogol, Guntur Soekarno Putera yang sudah menggulung antena televisi langsung kecewa. Tak ayal kejadian ini membuat mereka yang ada di Istana Merdeka terharu.

“Yang hadir pada saat itu semua mengeluarkan sapu tangan dan menyapu air mata karena menangis. Termasuk Sudharmono juga menyapukan sapu tangan ke matanya. Mungkin karena ikut menangis atau matanya kelilipan, tidak jelas,” ujar Sogol.

Lantas bagaimana Bung Karno meninggalkan istana? Sogol menceritakan Bung Karno pergi meninggalkan Istana sebelum 16 Agustus 1967. Ketika itu Bung Karno hanya memakai celana piyama warna krem, kaos oblong cap cabe, dan sandal cap bata yang sudah usang. Sogol memastikann tidak ada benda-benda logam mulia Istana seperti emas murni balokan, perhiasan emas, uang asing dan cek yang dibawa Bung Karno.

“Baju piyamanya disampirkan dipundak. Memakai sandal cap bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas Koran yang digulung agak besar isinya Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih,” Sogol mengenang.

Tulisan saya ini pernah dipublikasikan di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun