Mohon tunggu...
Ahmad Jayakardi
Ahmad Jayakardi Mohon Tunggu... pensiunan -

Kakek2 yang sudah males nulis..............

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

The Legend of Tarzan (2016), Bukan Film untuk Orang Belgia

12 Agustus 2016   14:20 Diperbarui: 12 Agustus 2016   14:29 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tarzan, karakter fiksi ciptaan Edgar Rice Burroughs, seperti juga Dracula (bikinan Bram Stoker, 1897), kita semua kenal (meski Tarzan dan Dracula pasti gak kenal kita). Muncul pertama kali sebagai novel ‘Tarzan of the Apes’ (1912), sekarang bahkan nama ini bisa berarti julukan atau imaji akan seorang manusia yang ‘kluyuran di hutan dan gelayutan dipohon seperti kera’. Bahkan di Indonesia, bisa juga berarti seorang Totok Muryadi yang komedian Srimulat itu ……

Tarsiman, eh… Tarsan, eh…. Tarzan, eh…… (gaya Asmuni) lantas muncul juga di komik dan filem. Muncul sebagai Tarzan bisu gak lama setelah novelnya meledak, filem Tarzan yang patut disebut adalah ketika diperankan oleh Johnny Weismuller (pemegang 5 medali emas cabang renang di Olimpiade Paris 1924). Tarzan yang ini jadi suka berendem, eh……… berenang.

Sampai kini tokoh fiksi ini masih saja terkenal. Tapi semuanya dengan karakter yang sama. Wajah kaku, serius dan gak ada lucu-lucunya babar-blas. Mungkin biar tampak macho gitu. Termasuk Tarzan animasi bikinan Disney (1999), atau Tarzan ‘yang lain’ (1995) yang jagoannya konon bernama Rocco Siffredi dan Rosa Caracciolo itu…… (hush, gak usah diterusin!). Semuanya berwajah kaku, dingin dan beku. Entah memang harus begitu atau cemmana, tak taulah awak. Tarzan yang koplak versi Brendan Fraser bahkan gak berani pasang nama Tarzan (George of The Jungle. 1997). 

The Legend of Tarzan, filem Tarzan paling gres ini juga begitu. Filem yang baru rilis di Amrik 1 Juli 2016 ini konon jadi box office dan konon (juga) bakal segera dibikin sekuelnya. Filem yang (hanya) menyebut ‘based on the Tarzan stories created by’ (Edgar Rice Burroughs). Cerita dan skenarionya yang dibikin Adam Cozad dan Craig Brewer memang gak berani ‘lari jauh-jauh’ dari karakter aslinya. Apalagi David Yates sebagai sutradaranya juga hobby demikian (ingat film Harry Potter yang persis plek ama bukunya?).    

Ceritanya tentunya seputar Tarzan sebagai jagoan. Tapi Tarzan yang ini sudah ogah disebut Tarzan, karena sudah 8 tahun tinggal di London. Dia sudah fasih menyebut dirinya sebagai Lord Greystroke, John Clayton III (eh, bacanya John Clayton ‘the third’ yak bukan Jon Kleiton Ka Tilu). Udah gitu aja, gak usah nanya darimana dia dapet duit untuk memelihara puri Greystroke yang guuueeeedeee itu…..

Sebagai akibat Konperensi Berlin 1885 (konperensi antar Negara Penjajah Eropah untuk bagi kue Afrika), Congo dibagi 2. Sebagian untuk Inggris, sebagian lagi milik Kerajaan Belgia. Nah, diceritakan Belgia sedang bangkrut dan dicurigai mau pake cara kasar buat mengeksploitasi jajahannya. Inggris, yang urus Congo di sebelahnya jadi usil (entah alasan apa jadi usil, padahal sama-sama penjajah) , kebetulan juga didatangi utusan dari Amerika. Gak usah nanya juga, napa Amrik yang baru kelar Perang Sodara, ditahun 1890 itu sudah usil ngurus hal yang bukan urusannya. Juga rasanya sengaja dibikin agar si utusan dalam film itu berkulit hitam.

Ah sudahlah……

Tarsiman, eh….. John Clayton The Third, semula ogah ikut campur. Tapi lantas gak jadi dong filemnya kalo sang jagoan keukeuh seperti itu. Si utusan Amrik, George Washington William (Samuel L. Jackson) lantas nyusul ke kereta-kudanya dan mengingatkan Tarsiman, eh….. John Clayton The Third, kalo Belgia (dicurigai) akan melakukan genosida penduduk asli (eh, bukan genosida ding, tapi menangkapi) dan menjualnya sebagai budak secara besar-besaran. Tarsiman, eh……… lantas saja emosinya tersulut, membayangkan sodara-sodaranya di Congo akan diperlakukan demikian, akhirnya memutuskan pergi.

Dan berangkatlah Tarsiman, eh………. Tentunya gak seru kalo Jane Potter (yang di filem itu sudah dipanggil Lady Jane Clayton) gak ikut. Bumbu penyedap juga disertakan, biar keliatan Amrik itu negara usilan (eh, negara peduli ding), si utusan Amrik itu ikut juga berpetualang. Padahal di sana mereka sudah ditunggu Kepala suku Mbonga (Djimon Hounsou) yang ingin membalas dendam akibat anak tunggalnya dibunuh Tarzan.

Let’s the film begin dah……    

Biar keliatan nyambung dengan kisah Tarzan aslinya, masa lalu Tarzan juga disertakan sebagai klip ‘flash-back’, sepotong demi sepotong. Kisah orangtuanya yang bertahan hidup. Kisah Kerchak dan suku Gorillanya. Kasih sayang dan terbunuhnya ibu gorillanya, Kala. Pertemuan pertama si Manusia kera dengan Jane Potter. Yaaaah, gitulah….

Alexander Skarsgard sebagai Tarzan (dan tentunya juga John Clayton III) menunjukkan wajah bekunya hampir sepanjang film. Nyaris lupa kalo yang diperankannya itu Tarzan, bukan Eric Northman, si Vampir berumur 1000 tahun di pilem seri True Blood punya HBO. Wajah bekunya sama sih.

Lady Clayton alias Jane Potter yang diperankan oleh bintang Australia, Margot Robbie, tampil sebagai pemanis. Hanya sekadar memenuhi syarat agar filemnya bisa disebut sebagai….. ‘ada yang bening-bening’. Samuel L. Jackson aktor tuwa yang sarat pengalaman itu tampil standar. Demikian juga yang lain.

Hanya Christoph Waltz yang pantas diberi nilai lebih. Karakter Leon-Rom yang diperankannya ‘hidup’ dan begitu tengil. Sulit untuk mencari kesamaan dengan tokoh Hans Landa (Inglorious Basterds, 2009) dan Dr. King Schultz (Django Unchained, 2012) yang juga diperankannya. Perannya di 2 film itu memperoleh Oscar untuk Best Supporting Actor.

Film ini rasanya memang untuk konsumsi Amerika-Inggris. Semua orang Amerika-Inggris tampil superior. Penduduk asli jadi obyek yang harus dibela. Belgia?. Jadi bulan-bulanan dan antagonis. Ya Pemerintahannya, ya orang-orangnya. Semuanya orang di Congo-Belgia lebih fasih berbahasa Inggris daripada Perancis, Belanda atau Jerman (gak aneh kan?). Penjajah yang korup dan pengecut. Membunuh gajah dan mengangkut gadingnya, menangkapi orang untuk dijual sebagai budak dan berbagai kelakuan minus sebagai penjajah.

Film gak bagus? Tergantung niatnya juga sih………..

Kalo niatnya hanya menonton film dan mencari hiburan, gak usilan ikut mikir yang macem-macem, film ini bisa masuk kategori layak tonton. Gambarnya, karya Henry Braham (Director of Photography) lumayan indah dan puitik. Adegan Lady Clayton yang nangkring di dahan pohon ek yang besar lantas ngobrol ama doinya, memang puitis. Gaun putihnya sungguh kontras dengan latar belakangnya yang gelap. Tapi kalo ada yang nanya gimana caranya si Lady naik pu’un setinggi itu dengan longdress putih bersih tanpa bekas noda, abaikan saja. Karena otak yang nanya itu memang usil dan jail.   

Efek visual dibawah supervisi Tim Burke juga memukau. Serbuan kawanan Wildebeest ke kota pelabuhan Boma itu bisa dibilang spektakular. Para buaya yang rame-rame potong padi, eh….datang rame-rame mendengar panggilan Tarsiman, eh…. juga asik ditonton. Gak terbayangkan mampu dibuat oleh film bikinan 20 tahun yang lalu. Tata suaranya yang stereo dan pake sistim Dolby juga menggelegar memukau kuping…..

Udahan ah……..

Sekian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun