Mohon tunggu...
Ahmad Jayakardi
Ahmad Jayakardi Mohon Tunggu... pensiunan -

Kakek2 yang sudah males nulis..............

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Film Kekerasan dalam Pusingan Sang Waktu

8 Maret 2016   07:54 Diperbarui: 8 Maret 2016   08:16 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Deadpool (2016)”.

Meskipun nyaris tanpa semburan darah, tapi adegan menusuk lawan dengan 2 samurai dan mengangkatnya ke udara seperti sate itu rasanya cukup membuat pias muka. Pun adegan memotong pergelangan tangan sendiri yg detilnya diperlihatkan, membuat yang nonton tercekam. Dan banyak adegan lain, yang......... gak perlu lagi ditulis karena ini memang filem dengan kategori  “violence” dengan cetak tebal.

Masih kurang?

Film nominee Academy Awards tahun 2016 ini, “The Revenant”, juga lumayan banyak menampilkan adegan dengan atribut "kekerasan yang berseni". Adegan ketika sang jagoan (Hugh Glass-Leonardo Di Caprio) dicabik, dimakan dan diewer-ewer beruang adalah contohnya. Adegan klimaksnya  adalah contoh yang lain, ketika sang jagoan dipantek tangannya dengan pisau ke tanah oleh lawannya, dan dibalas dengan menyabetkan tomahawk kepunggung lawannya. Realistik, bung! Dahsyat! Darah muncrat kemana-mana!

Sekali lagi, ....... adegan kekerasan dalam film sejak dulu memang sudah ada. Gak perlu jadi polemik. Tapi dibandingkan saja. Dan rasanya semua setuju kalo film-film dengan bumbu kekerasan masa kini rasanya lebih realistik daripada dulu. Bahkan sekarang bukan lagi jadi bumbu, tapi sudah menjadi sajian utama!. Gak usah pulak bicara tentang gunting sensor segala. Karena saat ini semua film bisa diakses oleh semua orang lewat internet.

Apakah si Kakek ini sudah gak mampu lagi mengikuti jaman? Atau standar tentang kekerasan (violence) yang sudah makin sayup tak terdengar?. 

Oke, kan gak layak untuk melarang-larang kebebasan ber-ekspresi dan selera orang toh?

Oke, oke, kan penontonnya bisa melakukan ‘self-censorship’ dan menentukan pilihan film yang akan ditontonnya? Seperti kata mbak Indri-Landak, yang gak tahan gak usah nonton.

Oke, oke, oke, kan ini cuma sekadar hiburan? Sekadar film? Gak ngaruh buat saya dan anda kan?

Tapi apakah tetangga anda atau bukan tetangga saya, yang notabene kita gak tau siapa dia, juga gak terpengaruh atau malah lantas terpicu untuk mencobanya di dunia nyata?

Pertanyaan retorik ini, si Kakek yang nulis ini juga bingung mau jawab apa........

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun