Beberapa film laga Jean Claude van Damme dan Arnold Schwasanaseggar,eh......Arnold Schwarzenegger juga mempertontonkan adegan kekerasan, tapi tidaklah terlalu menonjol, termasuk kategori yang bisa kita sebut dengan 'apa-boleh-buat-dah'.
Film bergenre thriller dan suspence juga bisa saja kebablasan jadi film kekerasan.
Sutradara kondang macam Alfred Hitchcock yang spesialis film suspence itu tahu benar ada batas yang sesungguhnya kabur itu. Meskipun sebenarnya dia secara jail beberapakali dia menyerempet batas itu. Adegan pembunuhan di kamar mandi oleh Norman Bates (diperankan oleh Anthony Perkins) dalam ”Psycho (1960)” memancing debat berkepanjangan. Meskipun adegan itu diperlukan dalam konteks cerita. Tapi, sebagai sutradara, dia bisa membuat adegan kekerasan yang lebih vulgar, karena ceritanya memungkinkan untuk itu.
Tokoh Hannibal Lechter (Anthony Hopkins) dalam ”The Silence of The Lambs (1991)” gak perlu menunjukkan caranya memakan manusia yang jadi korbannya. Dia hanya duduk membelakangi kamera dan menoleh....... Ekspresi wajah dan mulutnya yang belepotan darah sudah cukup membuat penonton tercekam terror. Dan untuk peran ’indah’ itulah Hopkins diganjar Oscar 1991.
Lalu... ”Lipstick (1976)” karya sutradara Lamont Johnson sebenarnya juga berpotensi menjadi film kekerasan. Film yang dibintangi kakak-beradik Margaux dan Mariel Hemingway (cucu penulis kondang Ernest Hemingway) itu ’hanya’ bercerita tentang perkosaan...... perkosaan, penyiksaan dan pembalasan dendam hampir sepanjang film. Tapi tidak ada adegan yang bisa dinilai sebagai ’mengumbar kekerasan’. Padahal sebenarnya potensi untuk itu sangatlah besar.
Beberapa dekade lalu, kita mengenal sosok Sam Peckinpah. Sutradara kondang yang dijuluki sebagai ’maestro’ dalam hal membuat filem bergenre kekerasan. Filmnya yang paling kondang (kondang karena banyak dikritik, maksudnya), ”Straw-Dogs (1971)” yang dibintangi Dustin Hoffman itu berhamburan adegan perkosaan dan kekerasan. Lantas ada sutradara spesialis film koboi-spaghetti, Sergio Leone, pembuat film klasik ’Trilogi-Dollar” (Fistfull of Dollars-1964, For A Few Dollar More-1965 dan The Good The Bad and The Ugly-1966). Sergio Leone juga dijuluki sebagai ’violence-master’. Trilogi koboinya itu di jamannya tergolong film ’yang mengumbar kekerasan’ abis-abisan. Puluhan orang dibantai. Berjatuhan dari atap. Ditembak kakinya hingga merintih-rintih ..... dan seterusnya, dan selanjutnya.
Tapi kini, dalam pusingan waktu, adegan yang dikategorikan sebagai ’adegan kekerasan’ dalam film-film tersebut di atas cuma jadi bahan guyonan. Makin lama adegan kekerasan dalam film menjadi lebih realistik dan lebih detil. Film Straw Dogs yang di-remake tahun 2011 menjadi lebih ganas, meskipun gaungnya gak sekencang film aslinya.
Quentin Tarantino.
Jelas bukan sutradara ecek-ecek. Karyanya, “Pulp Fiction (1994)” memperoleh 9 nominasi Academy Awards, di antaranya untuk kategori Film, Aktor (John Travolta), Aktris (Uma Thurman), Aktor Pembantu (Samuel L. Jackson). Meskipun piala Oscar yang diterimanya cuma untuk Screenplay. Sutradara ini adalah salahsatu icon film kekerasan yang paling sukses meneruskan pendahulunya.
Marilah tengok salah satu karyanya yang sangat sukses secara komersial, “Django Unchained (2012)”. Di film ini Tarantino juga memboyong piala Oscar kategori Best Original Screenplay. Film sukses ini menuai kritik akan banyaknya adegan kekerasan. Misalnya di adegan puncak, ketika Django (Jamie Foxx) menuntut balas, sang jagoan membantai puluhan lawannya. Meskipun adegan bantai-bantaian dan maki-makian itu sama joroknya dengan film koboi masa lalu, tapi ada lanjutannya. Tokoh yang ditembak lututnya oleh Django itu lantas di close up dan secara realistik terlihat kalau lututnya meledak kena tembak dan menyemburkan darah. Detil yang tidak ditampilkan dalam film koboi spaghetti milik Sergio Leone.
Lantas sang Django berlindung di balik sesosok mayat sebagai perisai. Sang perisai diberondong peluru lawannya, daaaaan...... serpihan daging dan darah yang muncrat berhamburan dari mayat itu bisa jelas dilihat secara detil. Aula besar tempat peristiwa terjadi, dindingnya lantas saja dihiasi bercak darah seperti mural. Mural kekerasan, karena..... “Kekerasan adalah seni” (Itu kata Tarantino loh!)