Mohon tunggu...
Ahmad Jayakardi
Ahmad Jayakardi Mohon Tunggu... pensiunan -

Kakek2 yang sudah males nulis..............

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kisah Dewa Ruci, Perjalanan Tassawuf Cara Orang Jawa

18 April 2011   04:33 Diperbarui: 4 April 2017   16:29 37561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terinspirasi oleh perjalanan tassawuf teman Kompasioner saya, teh Erna Suminar tentang Jiwa tua yang terperangkap di Dunia, di sini. Dan menyadari kalau perjalanan bathin mencari jati diri ini diajarkan oleh hampir semua agama, saya kemudian teringat akan sebuah "lakon" dalam Wayang yang mengisahkan tentang hal ini.

Kisah Dewa Ruci.

Seperti diketahui, wayang yang berkembang 5-6 abad yang lalu di wilayah yang kita sebut Nusantara ini, mengadaptasi cerita Ramayana dan Mahabharata dari India, dan mengolahnya, meng-improvisasi dan menambah di sana sini agar sesuai dengan kondisi kita. Selain berfungsi sebagai hiburan, lakon wayang juga membawa serta pesan, pitutur dan petuah dari leluhur untuk menjalani hidup benar.

Pesan ini biasa dititipkan dalam lakon-lakon sisipan atau yang lazim disebut carangan. Biasanya penyampaiannya amat halus dan tersamar. (Tidak seperti sinetron atau filem kita sekarang, petuah biasanya datang secara verbal, jelas dan kasar).

Lakon Dewa Ruci ini adalah lakon carangan dari Mahabharata yang boleh dibilang penting dan "berat". Seperti lakon lainnya yang kelas "berat", (Lahirnya Kurawa, Pandhawa Moksha, Kumbakarna Gugur), lakon ini jarang dipentaskan. Tidak semua dalang mau dan mampu mementaskannya secara sembarangan. Meskipun demikian, dan juga meskipun ceritanya sangat sederhana dan tidak menarik, lakon ini menjadi cerita favorit para orang tua yang bercerita kepada anaknya, Guru kepada muridnya, dan............aliran kebathinan yang disebut Kejawen. (yang dulu di jaman Soeharto disebut Aliran Kepercayaan itu).

Lakon ini menjadi berat, karena cerita di dalamnya mengandung jalan kontemplasi tentang asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi), menyingkap kerinduan akan Tuhan dan perjalanan rohani untuk mencapaiNya (manunggaling kawula Gusti).

Karena terhitung favorit, lakon ini banyak sekali variasinya, tergantung siapa yang menuturkannya dan siapa dhalang yang memainkannya. Menurut Poerbatjaraka, doktor Antropologi itu (1940), paling tidak ada 40 naskah lakon yang juga disebut sebagai Bima Suci ini. 19 naskah diantaranya tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Yang paling terkenal, adalah gubahan pujangga keraton Surakarta Yosodipuro berjudul "Serat Kidung Dewa Ruci", yang disampaikan dalam bentuk tembang macapat, dengan bahasa Kawi-Sansekerta dan Jawa Kuno.

[caption id="attachment_102296" align="aligncenter" width="448" caption="sumber: wayang.wordpress.com"][/caption] Ringkasan Cerita

Cerita ini terjadi saat Pandhawa bersama saudara-saudara sepupunya, Kurawa sedang bersama menimba ilmu pada guru yang sama Resi Durna atau Kumbayana. Kurawa yang amat menyadari bahwa tahta kerajaan Astina yang saat itu diduduki ayah mereka, Destrarastra, adalah sekadar titipan dari ayah Pandhawa, Pandu Dewanata yang mati muda. Kalaulah nanti Pandhawa telah dewasa, tahta itu harus dikembalikan kepada mereka. Dan para saudara Kurawa yang berjumlah seratus itu, bakal lontang-lantung jadi preman. Karena itu, sejak awal, Kurawa dengan berbagai jalan berusaha keras untuk melenyapkan Pandhawa, halus ataupun kasar. Sebenarnya juga para Kurawa yang muda, berangasan  dan pendek akal itu tidak mampu merancang tindakan yang kebanyakan jenius itu, tanpa bantuan sang pemikir, Harya Sangkuni, atau Arya Suman, adik ibunya Gendari, yang diangkat jadi Patih kerajaan Astina  Wajar saja, sang Paman juga sangat berkepentingan akan kelangsungan kekuasaan keponakannya kan? Kalau saja Pandhawa dapat menguasai kerajaan, apa iya dia gak jadi kere?. Dengan akal jenius, Patih Sangkuni berhasil membujuk Resi Durna untuk membantu program Kurawa itu. Melenyapkan Pandhawa! Sasaran utamanya adalah Pandhawa si nomer 2, Raden Wrekudara alias Arya Bimasena dan si nomer 3 Raden Janaka alias Harjuna, 2 orang Pandhawa yang kesaktiannya menyundul langit itu. Kalau 2 orang itu sudah "game over", yang lain cemen saja. Untuk saat ini, skala prioritasnya adalah Sang Bimasena, yang punya posisi strategis di Pandhawa, sebagai Palang Pintu, seperti posisi Carles Puyol di Barcelona FC.

Sang Puyol, eh salah........ sang Bima yang memang sudah menyelesaikan sesi latihan ragawinya kemudian diutus sang Guru Resi Durna untuk mencari "Tirta Prawitasari", air kehidupan, guna menyucikan bathinnya demi kesempurnaan hidupnya. Benda itu, harus dicari di hutan Tibaksara di gunung Reksamuka. Ketika menghadap ibunya, Dewi Kunthi, saudara-saudaranya yang lain mengingatkan bahwa mungkin ini hanya jebakan Sangkuni  Karena hutan itu sudah terkenal sebagai  "alas gung liwang liwung, sato mara, sato mati" (hutan raya tak tertembus, mahluk yang mencoba masuk 99,99% is dead).

Tapi Bima ngotot dan pede abis, perintah Guru tidak mungkin ditolaknya meskipun karena itu dia harus menyerahkan jiwanya. Melihat keteguhan hati anaknya, sang Ibu akhirnya merestuinya. Sang Bima pun akhirnya berangkat menjalankan tugas gurunya.

Seluruh hutan sudah dijelajahinya, tapi yang dicari tak ada, malah membangunkan 2 raksasa penunggu hutan Rukmuka dan Rukmakala yang lagi enak-enak tidur. Perkelahian segera terjadi dan 2 raksasa itu terbunuh oleh Sang Bima.

Menyadari bahwa yang dicarinya tidak ada, Sang Bima kembali menghadap gurunya. Gurunya yang semula kaget, kokbisa-bisanya ada mahluk yang keluar hidup-hidup dari hutan Tibaksara itu, lalu menyuruh untuk melakukan yang lebih sulit. Tirta Prawitasari itu harus dicari di kedalaman lautan! Tanpa banyak bertanya apalagi meragukan perintah sang Guru, Sang Bimasena pun langsung berangkat.

Seisi lautan diaduknya, seekor Naga yang menghalangi jalannya disingkirkannya, tapi yang dicarinya tidak juga ketemu. Ditengah kebingungannya, dia menemukan mahluk serupa dirinya dalam ukuran yang lebih kecil, yang meniti ombak lautan, mendekati dirinya. Mahluk itu memperkenalkan dirinya sebagai Sang Dewa Ruci,  sang suksma sejatinya, dirinya yang sebenarnya. Pembicaraan antara 2 mahluk inilah yang menjadi inti cerita ini, sayang sekali saya tidak mampu menguraikannya secara tepat karena ilmu saya yang terbatas. Akhirnya Sang Bimasena masuk ke dalam wadag Sang Dewa Ruci melalui kuping kirinya, dan mendapat penjelasan tentang hidup sejatinya.

Cerita selesai sampai disini.

Kalaupun ada lanjutannya, paling itu bunganya saja,  yakni para Kurawa yang tunggang langgang dihajar dan tarian kemenangan Sang Bima Sena.

Lambang, pitutur, petuah, esensi cerita

Untuk mendapatkan "inti pengetahuan sejati" (Tirta Prawitasari) Sang Bima harus menempuh ujian fisik dan mental sangat berat, (Hutan Tibaksara "tajamnya cipta"; Gunung Reksamuka, "pemahaman mendalam"). Sang Bimasena tidak akan mampu menuntaskannya tanpa membunuh raksasa Rukmaka "kamukten, kekayaan" dan Rukmakala "kemuliaan" . Tanpa mengendalikan nafsu dunianya dalam batas maksimum.

Perjalanannya menyelam ke dasar laut diartikan dengan "samodra pangaksami" pengampunan. Membunuh Naga yang mengganggu jalannya simbol dari melenyapkan kejahatan dan keburukan diri.

Pertemuannya dengan Sang Dewa Ruci melambangkan bertemunya Sang Wadag dengan Sang Suksma Sejati. Masuknya wadag Bima kedalam Dewa Ruci dan menerima Wahyu Sejati bisa diartikan dengan "Manunggaling Kawula-Gusti", bersatunya jati diri manusia yang terdalam dengan Penciptanya. Kemanunggalan ini mampu menjadikan manusia untuk melihat hidupnya yang sejati. Dalam istilah Kejawen "Mati sajroning urip, urip sajroning mati". (Mati di dalam Hidup, dan Hidup di dalam Mati). Ini adalah esensi dari Kawruh Kejawen. Perjalanan tasawuf untuk menukik ke dalam dirinya sendiri.

Beuh, berat nih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun