Korbannya sungguh fantastis, 300 orang tentara AS tewas dan terluka, 1.000 orang di pihak Vietcong dan lebih dari 3.000 orang sipil tewas dan terluka. Bangunan dan fasilitas kota hancur lebur, mayat bergelimpangan malang melintang, darah bersimbah di mana-mana. Perlu waktu berbulan-bulan untuk memulihkan kondisi seperti semula.
Serangan tersebut memang gagal. Â Dan secara teknis Vietcong dan Utara yang menderita kekalahan. Tapi berhasil menunjukkan pada dunia bahwa mereka masih eksis. Dan efek psikologis yang ditimbulkannya kepada AS sungguh besar. Â Sanggupkah AS terus menerus menahan serangan gerilya kota seperti itu?
Adu ketahanan.
Ternyata memang perang tidak dapat diselesaikan dengan cepat. Di front Utara, kondisi benar-benar stag. Serangan udara AS ke sasaran strategis di Utara karena tidak mendapat dukungan yang memadai dari Infanteri, nyaris tidak berguna. Di Selatan, gerilyawan Vietcong mengembangkan gerilya kota dengan sangat effektif. Dengan terowongan "tikus" (yang kini jadi obyek wisata itu) mereka benar-benar menjelma seperti tikus, bisa muncul dan menghilang dalam sekejap. Dikira sang tikus tidak ada, meleng sedikit dan ikan di piring sudah lenyap di gondol. Ketika ketahuan dan dikejar, begitu saja mereka menghilang ditelan bumi, atau membaur diantara penduduk sipil.
[caption id="attachment_92562" align="aligncenter" width="532" caption="sumber: Google"]
Tentara AS sungguh kewalahan membedakan mana yang sipil mana yang gerilyawan Vietcong. Seluruh penduduk desa dibunuh dan kampungnya dibakar hanya untuk mencari gerilyawan Vietcong yang diduga bersembunyi di situ.
Perubahan Kebijakan.
AS yang kewalahan terpaksa berpikir ulang untuk melanjutkan perang.  Serangan Tet itu membuat AS menyimpulkan sendiri secara ekstrim, bahwa AS tidak mungkin memenangkan perang. Seiring naiknya Richard M. Nixon sebagai Presiden, 1968, AS dibawah desakan masyarakatnya, segera merubah kebijakan politiknya di Vietnam dari semula "bagaimana caranya memenangkan perang" menjadi "bagaimana caranya mundur dari gelanggang tanpa kehilangan muka". Menyetujui desakan dunia internasional untuk menandatangani Perjanjian Perdamaian Paris, 27 Januari 1973. Perjanjian ini antara lain memuat hal seperti: AS yang akan segera menarik bantuan langsungnya di Selatan secara berangsur, batas teritori Utara dan Selatan dikukuhkan ulang dan pemilihan umum akan segera dilangsungkan untuk menyelesaikan masalah Utara-Selatan ini. Tapi perjanjian ini tidak disetujui Selatan yang menuduh AS meninggalkan sekutunya. Kedua belah pihak kelihatannya tidak benar-benar bermaksud mematuhinya sampai krisis minyak melanda dunia, Oktober 1973.
Embargo minyak Iran atas AS membuat harga minyak melambung tak terkendali, pundi-pundi AS menyusut dengan cepat. Perang Vietnam hanyalah pemborosan anggaran. AS yang secara serius terancam bangkrut, segera mematuhi perjanjian Paris dengan menarik tentaranya keluar dari Vietnam.
Antiklimaks
Tanpa dukungan dana dan kekuatan militer AS, kejatuhan rezim Selatan dapat dihitung dengan hari. Â Secara berangsur satu-persatu wilayah Selatan jatuh ke pihak Utara. Dan Utara bersiap untuk memberikan pukulan terakhir ke Selatan dibawah sandi Kampanye 275 yang mengumumkan pernyataan Ho Chi Minh bahwa "pembebasan" seluruh Selatan akan diselesaikan sebelum hujan turun Mei1975. Serangan besar-besaran dan pernyataan itu membuat efek psikologis yang luar biasa.
[caption id="attachment_92571" align="alignleft" width="433" caption="Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Panik! Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â sumber : Google"]
Epilog.
[caption id="attachment_92564" align="alignleft" width="413" caption="semburan napalm sumber: Google"]